Budaya Baca, Jernihkan Pemahaman

Selama toko buku ada, selama itu pula kepustakaan bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, makanan dan pakaian di kurangi (Madilog, 1946;14). Bagi kita yang hidup di tengah peradaban modern, pengetahuan sangatlah penting dalam memahami setiap gerak dan fase peralihan. Kehadiran teknologi menjadi satu kebutuhan penting dalam menunjang aktifitas, baik berinteraksi maupun menambah khazanah pengetahuan.

Setiap orang dapat dengan mudah memperoleh nutrisi pengetahuan, namun tidak banyak yang mampu memanfaatkan sumber tersebut dalam memajukan kepustakaan. Tidak mengherankan jika keterbatasan pustaka pada diri setiap orang akhirnya berimplikasi pada pemahaman yang begitu kompleks dan nyaris basa-basi. Kita dengan mudah mengendepankan dan bersikap pura-pura pada nilai-nilai penting dari pendidikan, yaitu, membaca.     

Budaya literasi saat ini tengah memprihatinkan. Sumber Republik, dilansir melalui data statistik UNESCO 2012, menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka United Nations Development Programme (UNDP), juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5%  saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4%. Itu artinya bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga serta negara lainnya.

Aspek kognisi tengah mengalami keburaman dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Budaya membaca seolah menjadi kegiatan yang langkah sekaligus tidak terhiraukan. Budaya baca kian terpinggirkan dari zona pendidikan, seperti sedang mengalami pancaroba, karena keteledoran dan kealpaan kita memahami esensi dari membaca. Kita sedang larut dalam euforia teknologi sehingga berimbas pada semakin menguatnya rasa ketidapedulian pada hal-hal yang substantif (membaca). Kita sedang terjebak dalam lingkungan yang lebih mementingkan sensasionalitas diri. Muara dari alienasi pada membaca, berakibat fatal pada tidak mengakar kuatnya budaya baca dalam dunia pendidikan. Alhasil produk dari pendidikan tidak mampu mematahkan persoalan yang ada dan malah membiarkan itu terjadi sebagai akibat dari gejala alam. Inilah kebusukan yang tengah dirawat oleh kita semua (tidak hanya lembaga pendidikan). 

Bukan Program
Membaca harus menjadi suatu aktivitas yang dilakukan secara terus-menerus oleh setiap orang. Seperti yang dikatakan oleh duta baca Indonesia Najwa Shihab, minat baca harus menjadi gerakan bukan program. Kerapkali masyarakat kita sering memahami secara linear arti dari membaca. Seolah membaca hanya urusan ketika seseorang sedang mengenyam pendidikan, tidak lain, ialah, menyelesaikan studi. Pemahaman seperti ini sebenarnya boleh dibilang telah membudaya dalam diri masyarakat, sehingga kecenderungan orang untuk membaca setelah proses studi sangat kecil. Di sisi lain, masyarakat kita bahkan memiliki suatu persepsi yang tidak umum, yaitu, membaca hanya sekedar bagaimana mencapai hasil yang maksimal dalam studinya. Sehingga di sini terjadi suatu pengendapan pada budaya baca, yang semula dilakukan secara terus menerus, menjadi sekedar program saja.

Iklim pendidikan nyaris kehilangan gerakan membaca. Pada tempat ini, kita harus mengakui bahwa dunia baca telah mengalami erosi, dan setiap waktu bisa saja tidak terhiraukan. Apalagi ketika budaya baca hanya dipahami sebagai sebuah program, tidak menutup kemungkinan proses menuju pembaharuan pola pikir hampir-hampir tidak mendapatkan tempat. Pembaharuan pola pikir seperti sedang dirasuki dengan pikiran-pikiran sempit yang tidak laku, yaitu, hanya mampu menggendor minat baca pada tataran kognisi, setelah itu dibuang ke tong sampah. Buku dan bahan bacaan lainnya hanya dipergunakan di saat proses studi, di luar itu, hanya sebagai barang yang tidak lagi ternilai. Saya masih ingat betul, ketika dosen yang mengampuh mata kuliah teori kebijakan publik, menyampaikan pesan kepada kami mahasiswa bimbingannya, “jangan pernah bosan dengan membaca. Bacalah terus sampai kalian sudah bekerja nanti, baca, baca dan baca, sampai kalian tidak mampu lagi melihat”.  

Usaha Mengembalikan Minat Baca
Lembaga pendidikan menjadi sangat sentral bagi terbukanya minat baca. Peran yang dimainkan dalam membentuk kesadaran membaca, merupakan, usaha yang harus digetol secara serius. Paling tidak harus didorong dengan pemahaman yang mampu membentuk kesadaran minat membaca. Keseriusan lembaga pendidikan dalam menciptakan iklim yang berwawasan luas, sepatutnya lebih dioptimalkan. Pengoptimalan bagi terbentuknya kesadaran pada literasi menjadi tanggung jawab yang harus diaktifkan sembari terus membuka diri bagi lingkungan sosial kemasyarakatan. Lembaga pendidikan tidak sekedar menjadi basis bagi terbentuknya minat baca pada siswa, tetapi perlu melihat dan melakukan suatu kesadaran pada lingkungan masyarakat.

Tumbuh kembangnya minat baca, tidak melulu harus diserahkan pada urusan lembaga pendidikan, melainkan juga dimulai dari keluarga. Organisasi yang paling menentukan bagi terbentuknya karakter (character building), ialah, salah satunya keluarga. Dalam hal ini keluarga menjadi begitu proaktif membangun kesadaran bagi anak-anaknya untuk selalu berupaya bergaul dengan bahan bacaan. Kelemahan yang paling dirasakan oleh orang tua, ialah, selalu disibukan dengan urusan pekerjaan, sehingga melupakan tanggung jawab bagi terbentuknya pribadi anak. Seolah orang tua hanya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dalam pembentukan minat baca hanya pada lembaga pendidikan.

Di sinilah lembaga pendidikan dan keluarga harus mampu menyoroti masalah ini. Kerja sama kedua elemen ini pada pokoknya menjadi sangat urgen dalam membentuk kesadaran membaca. Komunikasi menjadi saluran yang harus dilakukan secara berangsur-angsur jika ingin minat baca betul-betul terlaksana dengan baik. Di sisi lain, lembaga pendidikan dan keluarga tidak boleh memaksa secara otoriter, melainkan melalui cara bertahap. Dengan ini kemauan sekaligus dorongan untuk membaca menjadi kian mendaptkan tempat. Paling tidak inilah yang harus dikedepankan.

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenilla
Mahasiswa prodi Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang

Baca juga:
Calistung: Baca, Tulis, Berhitung Merupakan Upaya untuk Mencerdaskan Anak atau Sebaliknya?
Kurangnya Minat Baca, Salah Siapa?
Membaca Pertarungan Pilpres 2019

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI