Dunia Perkomenan

Jagad digital mendorong orang jadi ingin serba tahu. Dengan perputaran informasi yang begitu kencang, para pengguna media sosial agaknya kesulitan melahap secara komprehensif berita yang disajikan. Dalam hitungan menit, berita-berita terbaru bermunculan dan tak jarang isu hangat yang dimuat kemudian menjadi trending topic karena ramai dibicarakan. Lalu, berbondong-bondonglah kita untuk saling berkomentar, berbalas-balasan jarak jauh di alam yang semu.

Sepakat atau tidak, semua orang merasa dirinya tahu dan sudah paham tentang suatu persoalan atau permasalahan yang terjadi saat perdebatan berlangsung di kolom-kolom komentar. Seakan-akan berlagak sebagai ahli, netizen adalah pemegang mutlak kebenaran dewasa ini. Lebih tepatnya, pertarungan di jagat digital adalah pertarungan komentar antara netizen vs netizen.

Saudaraku, di balik sisi positif dan kemanfaatan internet, ternyata kehadirannya secara tidak langsung berdampak pada perubahan perilaku dan sikap masyarakat. Sudah banyak penelitian-penelitian dan jejak pendapat para ilmuwan di mana internet membawa pengaruh negatif bagi kehidupan manusia modern. Kalau kita cermati, masyarakat saat ini lebih suka saling nyinyir dan menggerutu. Meski tak paham bagaimana asal-usul peristiwa dan duduk perkaranya kita ngotot ikut campur untuk mengomentari tanpa mengedepankan keshahihan pendapat. Seperti kata para ahli, hingga kini menuju masa pascaindustri, dunia berorientasi informasi, yang semua warganya percaya bahwa dirinya adalah pakar dalam semau hal.

Bacaan Lainnya

Pada masyarakat kita, fenomena ini seringkali terjadi di saat perhelatan tahun politik. Fanatisme masing-masing kubu menelurkan bias informasi yang massif. Selain dari tahun politik, bias informasi bisa timbul karena kelatahan kita menerima berita-berita dari pers (berita online) dan informasi yang disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak kredibel. Buruknya, masyarakat terlalu mudah dan cepat percaya akan peredaran informasi tersebut.

Kemudian itu dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan stigma atau asumsi-asumsi liar dalam pikirannya.
“Tak hanya membuat kita semua lebih pintar, internet juga membuat kita lebih bodoh. Sebab, internet bukan hanya magnet bagi orang penasaran. Interenet juga merupakan jebakan bagi orang lugu. Internet mengubah semua orang menjadi ahli secara instan. Anda punya gelar? Nah, saya sudah mencari di Google!”, ujar Frank Bruni.

Dalam buku “Matinya Kepakaran”, yang ditulis oleh Tom Nichols, mencoba memberikan perumpamaan bagaimana bias informasi bisa terjadi. Misalnya, jika kita menganggap orang kidal adalah jahat (toh dari anggapan itulah kata sinister berasal), setiap pembunuh kidal akan membuktikan pendapat kita. Kita akan melihat mereka di mana-mana di dalam berita, karena itulah cerita yang kita pilih untuk kita ingat. Betapa pun banyaknya data menunjukkan bahwa pembunuh yang menggunakan tangan kanan lebih banyak, pandangan kita tidak akan goyah. Setiap pembunuh kidal adalah bukti; setiap pembunuh tak kidal adalah pengecualian.

Budaya masyarakat digital dalam memilih informasi hanyalah mencari berita-berita yang memang sepaham dengan streotip-streotip kita sebelumnya. Jika ada informasi yang valid kebenerannya, tapi tak sesuai dengan pandangan, maka informasi tersebut enggan untuk dibaca dan dipercaya atau dengan kata lain kita akan menolaknya dengan keras. Riset yang dilakukan oleh DailySocial.id, mencatat masih banyak orang Indonesia yang tidak dapat mencerna informasi dengan sepenuhnya dan benar, tetapi memiliki keinginan kuat untuk segera membagikannya dengan orang lain. Dari 2.032 responden yang terlibat, bahwa ada 73 persen responden yang membaca seluruh informasi secara utuh. Namun, hanya sekitar 55 persen di antaranya selalu melakukan verifikasi (fact check) atas keakuratan informasi yang mereka baca.

Tidak heran jika mengamati hiruk-pikuk dan keributan yang muncul di berbagai via media sosial, lebih menampakkan arogansi dan sentimen pendapat. Akhir-akhir ini melalui kehiduapan yang maya, seseorang amat sensitif dengan orang lain yang berbeda pemiikiran atau pemahaman dengannya. Status-status yang diposting kebanyakan berisi cercaan, bulian dan hinaan kepada mereka yang bertentangan dengannya.

Padahal seharusnya media sosial adalah ruang untuk mengedarkan narasi yang mencerahkan, agar konsumen bisa lebih terasah nalar analisisnya. Bukan seperti apa yang kita saksikan saat ini, dunia perkomenan yang berwajah suram mengakibatkan percakapan yang tidak sehat semakin marak terjadi. Dunia perkomenan adalah obrolan yang keruh tanpa kejernihan pikiran dan miskinnya literasi masyarakat kita.

Seperti yang diterangkan Goenawan Mohamad, dunia sedang dibentuk kapitlisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya konsumen kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang dan waktu. Kita tatap layar kecil telepon genggam kita. Informasi berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Dialog (pesan “interaktif”) berlangsung tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa saja, orang yang paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di satu arena yang riuh.

Alan Ananami
Ketua Umum HMI Komisariat Lafran Pane Unram

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI