Perubahan Kebijakan: Upaya Menjaga Kelestarian Sumber Daya Alam

Alam

Salah satu penyebab terjadi degradasi SDA dan lingkungan adalah undervalue  SDA (harga SDA yang rendah). Terjadi peningkatan konsumsi terhadap SDA (eksplotasi yang berlebihan) dan terjadi degradasi lingkungan. Nilai non ekstraksi (yang justru lebih tinggi) belum/ tidak diperhitungkan.

Instrumen valuasi ekonomi SDA sudah saatnya diterapkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Paper ini membahas bagaimana mewujudkan proses usulan perubahan kebijakan pengelolaan SDA.

Undervalue SDA

Menjelang pemilihan Presiden dan Legeslatif  2024 (Pilpres dan Pilleg 2024), semakin banyak pihak yang mengkampanyekan: keberlanjutan pengelolaan SDA untuk kesejahteran masyarakat. Sesungguhnya sudah menjadi kewajiban bagi negara menjamin kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state).

Bacaan Lainnya

Janji NKRI untuk melindungi dan mensejahterankan rakyat termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 (ayat 1-4). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebagai wakil negara, saat ini pemerintah lebih memprioritas kebijakan ekonomi ekstraktif (eksploitasi sumber daya tambang dan migas), dibandingkan merawat sumber daya alam hayati untuk masa depan.

Pada kenyataannya sebagain masyarakat di pedesaan belum merasakan peningkatan kesejahteran, meski di wilayah ada eksploitasi SDA. Masyarakat kita dihantui kutukan “negara kaya SDA”.

Resource curse merupakan sebuah fenomena di mana daerah-daerah atau negara-negara yang kaya sumber daya alam mengalami sebuah kondisi di mana pertumbuhan perekonomian mereka tidak sepesat daerah atau negara yang tidak memiliki kekayaan alam. Teori Dutch Disease, teori yang menunjukkan trade off peningkatan eksploitasi SDA dan kesejahteraan masyarakat.

Merujuk Fauzi (2021), salah satu penyebab terjadi degradasi SDA dan lingkungan (ekternalitas, biaya ekonomi yang menjadi tanggungan publik dan/atau pemerintah) adalah undervalue  terhadap SDA dan lingkungan. Nilai non ekstraksi (yang justru lebih tinggi) belum atau tidak dihitung.

Kurangnya informasi tentang nilai total manfaat SDA menyebabkan kegagalan pasar, karena jasa ekosistem yang dihasilkan oleh SDA & lingkungan tidak sepenuh terpasarkan (unpriced). Harga SDA  di pasar yang rendah ini, menyebabkan peningkatan konsumsi terhadap SDA (eksplotasi yang berlebihan) dan terjadi degradasi lingkungan.

Metode ekonomi SDA semestinya menggunakan mahzab valuasi ekonomi SDA. Valuasi ekonomi adalah sebuah upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungan hidup (SDAL), terlepas dari apakah nilai pasar tersedia bagi barang dan jasa tersebut. Valuasi ekonomi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menilai secara riil harga dari suatu barang dan jasa.

Perkembangan valuasi SDA di Indonesia secara nasional setidaknya dimulai sejak tahun 1990. Saat itu pemerintahan Indonesia melalui Badan Informasi Geospasail (dahulu Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) bersama stakeholder merintis  penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Daerah (Lahan, Kehutanan, Air dan Mineral) Daerah dan Nasional.

Setelah 30 tahun berjalan, instrument valuation ekonomi semakin canggih dan detail karena perkembangan teknokogi informasi. Penghitungan valuasi ekonomi berkembang dengan cepat. Valuasi ekonomi dan neraca sumber daya alam serta lingkungan diperlukan untuk dapat memasukkan potensi SDA terukur dan belum terukur serta tingkat kerusakan dalam proses eksplorasinya ke dalam Gross National Product (GNP).

Bagaimana wewujudkan instrumen valuasi SDA ini menjadi salah satu kebijakan dalam pengelolaan SDA. Paper ini membahas usulan perubahan kebijakan berdasarkan Institute of Development Studies (IDS)  2006.

Perlu Perubahan Kebijakan

Di tengah carut marut pengelolaan SDA, salah satunya masalah pengelolaan SDA adalah penguasaan SDA secara oligarki. Oligarki dalam pengelolaan SDA selalu dimulai dengan pemberian izin, kemudian akan mengakar menjadi penguasaan yang didominasi oleh segelintir orang (grup) dan berakhir pada terbentuknya kartel yang memonopoli harga.

Merujuk Hariadi (2023), kebijakan hadir tatkala terdapat penyimpangan yang merupakan sesuatu yang terjadi (masalah) di luar harapan yang diinginkan/ diprediksi. Adanya pergantian para aktor dan jaringan aktor pengelolaan sumber daya alam diharapkan akan mempercepat perwujudan welfare state.

Pilpres dan Pilleg 2024 akan melahirkan para pemimpin bangsa dan anggota legistatif yang baru (meski mungkin mereka merupakan wajah lama). Momentum yang tepat untuk mengusulkan kebijakan baru.

Merujuk Krott et al. (2014) bahwa peran dan partisipasi para aktor sangat ditentukan oleh posisi aktor dalam hubungan sosial baik sebagai penguasa atau bawahan. Kekuasaan seorang aktor adalah hubungan sosial di mana aktor A mengubah perilaku aktor B tanpa mengakui kehendak aktor B. Kekuasaan secara langsung berkaitan dengan aktor tertentu, dan kekuatan itu adalah kemampuan aktor untuk mempengaruhi aktor lain.

Dalam banyak penelitian, aktor dilihat sebagai entitas yang cenderung mempengaruhi proses untuk mencapai tujuan mereka. Kepentingan aktor terkait dengan program dan cara ia berperilaku. Aktor sebagai entitas dapat mempengaruhi hasil berdasarkan kepentingan dan kekuasaan (Maryudi: 2011). Itu sebabnya dapat dipahami mengapa kebijakan pengelolaan SDA lebih berpihak kepada para pengusaha dari pada mensejahterakan masyarakat.

Merujuk (IDS, 2006) dalam (Hariadi, 2023), narasi dan argumen lainnya digunakan dari hasil jaringan aktor untuk perubahan kebijakan secara kuat membawa counter-discource dalam perdebatan perubahan kebijakan. Perumusan kebijakan sangat jauh dari sekadar isu teknis, jawaban dari persoalan yang diidentifikasi, melainkan melibatkan pertentangan aktor-aktor yang terlibat.

Perumusan kebijakan lebih merupakan kontestasi dari kepentigan politik, pengetahuan, dan kekuasaan. Perubahan-perubahan kebijakan sangat tergantung pada kemampuan suatu diskursus tertentu apakah dapat membangkitkan ide-ide baru dan diterima berbagai aktor atau tidak.

Pada kasus instrumen valuasi SDA sebagai salah satu kebijakan dalam pengelolaan SDA, dapat dibangun oleh peran aktif dari berbagai aktor: akademisi, lembaga donor, politisi, LSM, dan lain-lain,serta jaringan yang dapat mereka bangun, sehingga dapat memanfaatkan ruang yang tersedia dalam konteks, situasi, dan waktu tertentu.

Dalam upaya mewujudkan perubahan kebijakan, tiga faktor yang digunakan untuk melakukan analisis proses  kebijakan, yaitu:

  1. Pengetahuan dan diskursus. Perlu diketahui apa narasi kebijakan (policy narrative) yang berkembang atau  terbangun dalam ilmu pengetahuan, hasil penelitian, dan lain-lain;
  2. Siapa aktor dan jaringan, bagaimana mereka terhubung satu sama lain;
  3. Politik dan kepentingan yang mendasari terjadinya dinamika.

Strategi untuk percepatan perubahan kebijakan yang dapat dilakukan adalah membangun jaringan dan menentukan champions of  change (Valuasi ekonomi SDA). Pendekatan dan pertemuan dengan para aktor secara informal (melalui pendekatan individu) akan memberikan efektifitas dibanding jika melalui jalur birokasi yang berlaku. Jalur informal akan mempercepat dan langsung didengar oleh para aktor.

Proses penciptaan ruang-ruang kebijakan baru dimulai. Penyampaian ide konseptual valuasi ekonomi SDA sebagai indikator keberhasilan pengelolan SDA (sebagai ide baru) ditawarkan, diperkenalkan kepada para aktor yang kontra. Proses selanjutnya adalah: diuji, diperdebatkan, dan disirkulasi melalui berbagai bentuk media masa. Aktor yang pro dan kontra akan melahirkan ide yang baik.

  1. Penyampaian ide ke ruang pembuatan kebijakan, baik melalui DPR maupun Kementerian Lembaga (KL) terkait.
  2. Adanya ruang yang diciptakan (konsultasi dengan penentu kebijakan, menyertakan pihak-pihak tertentu secara selektif).
  3. Adanya ruang populer (protes, demonstrasi oleh gerakan sosial, membuat tekanan pada proses pembuatan kebijakan)
  4. Adanya ruang praktis (menyediakan kesempatan bagi penentu kebijakan untuk menyaksikan sendiri. Kunjungan ke negara-negara; Case studies-Study tours merupakan pilihan utama para anggota DPR).

Sedangkan (Cerna, 2013) menyatakan proses perubahan kebijakan dimulai dari:

  1. Mengklarifikasi jenis perubahan yang diusulkan kepada terutama kepada para aktor kontra;
  2. Membangun koalisi berbasis luas. Perubahan kebijakan yang efektif seringkali memerlukan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi, inisiatif akar rumput, kelompok profesional, dan individu. Membentuk koalisi dapat membantu memperkuat pesan dan meningkatkan peluang keberhasilan;
  3. Identifikasi momen-momen strategis untuk perubahan. Carilah peluang ketika sesuatu yang penting dipertaruhkan bagi para pembuat kebijakan atau ketika opini publik menguntungkan Anda. Pilpres dan Pileg 2024 merupakan momentum  yang tepat;
  4. Mengembangkan strategi manajemen perubahan. Elemen strategi mencakup proses manajemen perubahan secara keseluruhan, rencana manajemen perubahan, dan rencana komunikasi untuk pemangku kepentingan dan manajemen.

Penutup

Merujuk (IDS, 2006) dan (Cerna, 2013), merupakan momentum yang tepat untuk mengusulkan instrument valuasi SDA menjadi salah satu kebijakan dalam pengelolaan SDA. Semoga lahirnya kebijakan baru akan mempercepat terwujudnya pelestarian SDA dan lingkungan dan peningkatan kesejahteran masyarakat.

Penulis:

Ir. Irmad Nahib, M.Si.
Mahasiswa S3  Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SPS IPB. Ahli Peneliti Utama Bidang Geospatial, Pusat Riset Geospasial, ORKM BRIN.

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Cerna, L. (2013). The nature of policy change and implementation: A review of different theoretical approaches. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) report, 492-502.

Fauzi, A. (2004). Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan: Teori dan aplikasi. Gramedia Pustaka Utama.

Fauzi, A. (2021). Valuasi ekonomi dan penilaian kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. PT Penerbit IPB Press.

Kartodihardjo, H. Analisis Kebijakan Tata Kelola Sumberdaya Aklam. LP3ES. 2023

Krott M, Bader A, Schusser C, Devkota R, Maryudi A, Giessen L, Aurenhammer H. 2014. Actor- centred power: The driving force in decentralized community based forest governance. Forest Policy and Economics. 49:34-42

Maryudi A. 2011. The contesting aspirations in the forest. Actors Interests and Power in Community Forestry in Java, Indonesia [dissertation]. Jerman: Universitatsverlag Goettingen.

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI