Diskontinuitas Program Mengundang Kembalinya Banjir di DKI Jakarta

Kata “Banjir” dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa alam di mana suatu wilayah atau dataran yang bersifat kering mendadak terendam oleh air dalam jumlah volume yang tidak seperti biasanya. Banjir termasuk salah satu peristiwa alam yang masuk kategori membahayakan karena berpotensi melumpuhkan akses jalan di kota seperti Jakarta serta menyebabkan pengikisan tanah (Erosi) seperti pengurangan garis bibir pantai. Selain itu, risiko penyakit berbahaya bisa dapat muncul karena banjir tersebut.

​Curah hujan yang terjadi di Provinsi D.K.I Jakarta terhitung meningkat, hal ini dapat dilihat dari prakiraan cuaca yang dapat diakses dari gawai masing-masing seperti yang dapat dilihat pada situs www.weather.com dan banyak situs lainnya. Permasalahan yang muncul pada ranah peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir yang terjadi di kota ini memunculkan sebuah pertanyaan “Upaya apa lagi yang belum dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sekitar untuk mencegah terulangnya banjir?”

Peristiwa banjir tersebut menimbulkan beberapa solusi opini yang sedang diperdebatkan oleh banyak pihak. Apakah banjir diakibatkan karena masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan? Atau pihak pemerintah yang kurang optimal dalam penanggulangan banjir? Atau bahkan karena kedua pihak tersebut? Untuk menganalisa hal tersebut, terdapat beberapa pembahasan untuk menemukan solusi yang paling cocok dalam mengurangi bencana alam banjir di Provinsi D.K.I Jakarta.

Bacaan Lainnya

Bencana alam banjir di Indonesia ada sejak zaman penjajahan Belanda ketika Kota Jakarta masih bernama Kota Batavia. Banjir besar kali pertama terjadi pada tahun 1621 dan berulang lebih dari lima belas kali hingga di tahun 2020 ini. Sudah hampir 400 tahun Indonesia menghadapi bencana alam banjir, namun tidak adakah satupun upaya yang berhasil mencegah banjir? Atau karena adanya diskontinuitas program yang dilakukan pemerintah dalam penanganan banjir?

Di masa penjajahan Belanda, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterszoon Coen menanggulangi bencana alam banjir yang terjadi di Kota Batavia dengan cara membagi aliran sungai Ciliwung melalui pembangunan kanal-kanal. Ia menerapkan solusi yang telah dilakukan di negeri Belanda. Kanal-kanal tersebut dibuat untuk memperlancar aliran sungai Ciliwung menuju Laut Jawa serta digunakan untuk sarana transportasi. Pada tahun 1647 Kanal Ancol, Kalibesar, Mookervaart, Kali Item, Sentiong dan Krukut dibangun.

Solusi dengan cara memecah aliran sungai tersebut sangat efektif untuk mencegah terulangnya banjir besar pada saat itu. Selain membangun kanal-kanal, pemerintah Belanda juga membangun sistem drainase dengan pintu air dan bendungan Katulampa. Sayangnya, sistem drainase yang sempat dibangun oleh pemerintah Belanda sudah tidak ada, ditambah lagi normalisasi sungai Ciliwung serta aliran kanal-kanalnya tidak mengalir maksimal karena semakin banyak penyempitan lahan.

Lalu, apa sebenenarnya penyebab terbesar terjadinya banjir yang kembali terulang di Jakarta? Menurut BMKG, curah hujan yang ekstrem di tahun ini menyebabkan seluruh saluran air meluap dan bahkan jebolnya waduk/tanggul. Pihak BMKG sudah memberi peringatan kepada masyarakat untuk waspada akan cuaca ekstrem tersebut. Selain itu, pemerintah telah memodifikasi cuaca dengan penaburan garam di atas awan. Lantas bagaimana dari pihak masyarakat sendiri?

“Kalau mau mencari data silakan buka data kira-kira 6-7 bulan yang lalu, baik di Jakarta maupun di Bekasi sejumlah sungai yang dipenuhi sampah,” ucap Doni Monardo selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ternyata kebiasaan membuang sampah sembarangan yang dilakukan oleh masyarakat mendarah daging hingga sekarang. Percuma saja jika pihak pemerintah berupaya penuh dalam penanggulangan banjir, namun masyarakatnya belum memiliki kesadaran untuk turut mendukung.

Penurunan permukaan tanah juga memicu kembalinya bencana alam banjir. Seperti yang dilansir dari CNNIndonesia.com, Doni Monardo, kepala BNPB, mengatakan bahwa salah satu penyebab banjir Jakarta adalah akibat pengambilan air tanah yang cukup banyak. Secara geografis, hal ini menyebabkan permukaan tanah semakin menurun di bawah permukaan laut. Ditambah lagi semakin banyak industri yang membuang limbah ke sungai sebagai cara praktis dan murah namun memperburuk keadaan.

Seiring bergantinya tahun, populasi penduduk tentu akan turut meningkat. Keadaan cuaca juga bisa bertambah ekstrem karena semakin banyak populasi penduduk, maka kemungkinan untuk meningkatnya pemanasan global juga ada. Dengan demikian, pihak pemerintah diharapkan bisa lebih tegas dan serius dalam pencegahan bencana alam banjir dengan mengadakan kembali program penanggulangan banjir yang efektif terutama yang tidak dilanjutkan.

Diskontinuitas program yang tidak dilanjutkan secara maksimal oleh pemerintah saat ini seperti sistem drainase dengan pintu air, membuat kanal tambahan seperti yang dilakukan pemerintah Belanda, dan menggunakan rancangan van Breen yang sempat digunakan oleh Presiden Megawati pada Juli 2003 dapat memaksimalkan upaya penanggulangan banjir yang kembali terjadi di awal tahun 2020 kemarin. Bagaimana dengan isu terkait tentang pemerintah yang sekarang bahwa Ahok lebih sukses atasi banjir?

“Gubernur Jakarta yang dianggap paling berhasil adalah Basuki Tjahaja Purnama sebesar 42%. Disusul Joko Widodo 25% dan Anies Baswedan 4,1%,” kata Qodari dalam jumpa pers, Jakarta, Minggu (16/2). Dari presentasi tersebut bisa disimpulkan bahwa penanggulangan yang dilakukan oleh Ahok jauh lebih optimal karena ia menggunakan cara yang sudah didesain oleh pemerintah Belanda, seperti memaksimalkan operasi Cengkareng dan Cakung drain, memasang pompa, pengerukan sungai, dan lain-lain.

Dengan demikian, pemerintah saat ini sangat disarankan untuk kembali mengoptimalkan program penanggulangan banjir yang sudah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Program penanggulangan tersebut cukup efektif untuk mengatasi banjir dari tahun-ke-tahun. Selain itu, pihak masyarakat harusnya sudah sadar bahwa kontribusi mereka untuk menjaga lingkungan sangat berpengaruh terutama ketika cuaca ekstrem (curah hujan tinggi). Kemungkinan kembali terjadinya banjir pun dapat diminimalisir.

Diana Intan Pratiwi
Pengurus BEM KM Sampoerna University

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI