Kecakapan Bahasa Inggris Kian Melemah

“Bahasa daerah adalah bahasa keaneragaman budaya,
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa,
Bahasa Inggris adalah bahasa penakhluk dunia”

–Marsellyna Umi Pratiwi

Alangkah benar adanya jika bahasa Inggris adalah bahasa penakluk dunia, dengan predikatnya sebagai bahasa internasional. Sehingga mau tidak mau negara-negara yang tidak menganut bahasa Inggris sebagai bahasa ibu mereka, harus berlomba-lomba menguasai dan memiliki keterampilan berbahasa Inggris.

Kurikulum 2013 sendiri berorientasi pada kurikulum abad 21. Peserta didik setidaknya diharapkan mampu menguasai aspek 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, dan Creativity).

Bacaan Lainnya

Bahasa adalah salah satu bentuk komunikasi, untuk mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing secara global baik dari segi ekonomis dan akademis yang setidaknya terjadi peningkatan penguasaan berbahasa Inggris terutama peserta didik dalam lingkup nasional.

Apakah kurikulum saat ini sudah berhasil dalam memfasilitasi peguasaan bahasa Inggris peserta didik? Tingkat kesulitan pelajaran bahasa Inggris, tidak bisa disamakan dengan pembelajaran lainnnya di sekolah.

Walaupun sudah mengenal bahasa Inggris dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, nyatanya sebagian besar belum mampu menguasai dan cakap berkomunikasi berbahasa Inggris. Tentu hal ini sangat memprihatinkan.

Hasil survey dari English First English Proficiency Indeks (EF EPI) tahun 2018 memberikan gambaran bahwa kemampuan berbahasa Inggris negara Indonesia termasuk ke dalam kelompok rendah dengan perolehan skor 51,58 skala global.

Bisa dibilang, terjadi penurunan indeks kecakapan bahasa Inggris Indonesia. Turun sebelas peringkat dari tahun lalu, dengan sangat terpaksa di tahun ini, Indonesia berada di posisi ke 51 dari 88 negara yang disurvey secara global. Dalam lingkup Asia, Indonesia hanya mampu bertengger di posisi ke-13 dari 21 negara.

Apa yang Salah?

Jurnal yang dipublikasikan oleh Himpun Panggabean menerangkan bahwa dari segi politik bahasa, posisi bahasa Inggris hanya dipandang sebagai bahasa asing / EFL ( English as a Foreign Language) bahkan tidak disebutkan dalam Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan,.

Selain itu, Penggunaan bahasa Inggris belum digunakan secara luas, hanya sebatas pada event tertentu dan kalangan tertentu dan terkadang hanya sebagai legalitas. Bahasa Inggris hanya dipandang sebagai mata pelajaran dengan dengan dihapuskannya mata pelajaran bahasa Inggris dari Kurikulum 2013 di tingkat SD.

Parahnya lagi, stereotip masyarakat kita yang memandang orang yang sedang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi dicap “kebule-bulean” atau “belagu”, hal inilah yang membuat orang malas berbicara dengan bahasa Inggris.

Seperti halnya negara Korea, Jepang dan Thailand yang memandang bahasa Inggris sebagai bahasa asing, tingkat pengusaan bahasa Inggris Indonesia masih tertinggal. Bahasa Inggris tidak dipandang sebagai bahasa komunikasi.

Dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi, hanya lembaga pendidikan elit tertentu yang mampu memfasilitasi bahasa Inggris sebagai bahasa medium dalam pembelajaran, itupun harus ditebus dengan biaya yang lumayan dalam.

Sedangkan sekolah formal yang memiliki kendala dalam hal tenaga kependidikan, berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan fasilitas pendidikan lainnya.

Dihapuskannya mata pelajaran bahasa Inggris dari Kurikulum 2013 di tingkat SD sejak tahun 2014, alhasil SD terbagi kedalam tiga kubu, yaitu SD yang tetap mempertahankan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, SD yang mengubah bahasa Ingris menjadi ekstrakulikuler, dan SD yang menghapuskan mata pelajaran bahasa Inggris dan tetap mempertahankan muatan lokal daerah masing-masing.

Dalam Hipotesis Umur Krisis (Critical Age Hypothesis) yang dikemukakan Lenneberg (dalam Krashen, 1988: 72) menyatakan bahwa secara biologis elastisitas otak anak masih tinggi sehingga setiap anak sangat mudah untuk menguasai bahasa apapun.

Hal ini tentu saja kontras dengan pembiasaan belajar bahasa sejak usia dini. Padahal, seseorang dapat menguasai suatu bahasa apabila ia sejak dini sudah terbiasa menggunakan bahasa tersebut. Jangan heran, bila anak SD tidak fasih berbahasa Inggris bahkan takut untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Saran kedepannya?

Perlu adanya upaya dari semua unsur. Jangka pendek, pemerintah harus mengkaji ulang kembali kebijakan status pembelajaran bahasa Inggris, sedangkan untuk jangka panjang perlu ditingkatkannya kualifikasi penguasaan bahasa Inggris dalam sertifikasi guru dan tenaga kependidikan.

Perubahan status bahasa Inggris dalam pembelajaran dan di lingkungan masyarakat. Dalam pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris harus dibiasakan menjadi bahasa komunikasi, meningkatkan literatur berbahasa Inggris dalam mencari bahan pembelajaran juga dapat dilakukan, terutama untuk jenjang SMP/Sederajat dan SMA/sederajat.

Bahasa Inggris dalam dunia pendidikan, tidak semata-mata hanya mengetahui grammar melalui ujian tertulis atau membaca, melainkan juga mempraktekkannya.

Pidato Mariana Pascal, dalam acarara TEDx di Penang Road juga memberikan saran kepada negara lain yang masyarakatnya masih kurang mampu menguasai bahasa Inggris, bahwa harus ada perubahan persepsi masyarakat. Bahasa Inggris bukan sesuatu yang harus ditakuti dan dikuasai, melainkan berbicaralah bahasa Inggris sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Marsellyna Umi Pratiwi
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Baca juga:
Benarkah SMK Cetak Lulusan Siap Kerja?
Krisis Kapabilitas dalam Literasi di Era Milenial
Perlunya Ruang Publik yang Dialektis

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI