Islam Puritan dan Pengaruhnya bagi Kehidupan Beragama

Islam Puritan
Masjid Nabawi di Kota Madinah, Arab Saudi

Abstrak

Paham puritanisme merupakan paham yang menginginkan pemurnian dalam segala bidang termasuk dalam hal agama, paham pemurnian ini terdapat di setiap agama-agama besar di dunia termasuk salah satunya agama Islam. Puritanisme dalam Islam merupakan paham yang mengklaim bahwasanya praktek ajaran-ajaran Islam saat ini sudah tidak sesuai dengan apa-apa yang disyariatkan Allah dan Rasulullah, sehingga menurut mereka harus adanya pembaharuan atau pemurnian dalam ajaran-ajaran Islam agar agar supaya terhindar dari peraktek-peraktek yang dianggap sebagai amalan bid’ah, syirik, dan khurafat. Paham ini pun tak jarang membuat resah masyarakat dengan dakwah mereka yang keras, kaku, dan intoleran terhadap pendapat yang berbeda dengan mereka. Bahkan tak jarang segala tindakan radikal hingga terorisme berakar dari paham puritan ini, akibatnya masyarakat dunia cenderung menilai Islam dengan pandangan yang negatif, oleh karena itu melalui penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini tulisan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi tentang dampak yang ditimbulkan oleh paham puritan daalam Islam khususnya pada aspek kehidupan beragama.

Kata Kunci: Islam; Puritanisme; Terorisme; Kehidupan beragama

Pendahuluan

Pada dasarnya agama Islam merupakan agama yang Shalih Fi Kulli Zaman Wal Makan, yang artinya agama Islam itu cocok atau relavan dengan setiap perkembangan zaman dan dengan kondisi apapun. Namun pada kenyataannya prinsip ini tidak mudah untuk diterapkan dalam kehidupan kaum muslimin itu sendiri, karena secara umum umat muslim dapat kita kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok moderat dan kelompok puritan. Kedua kelompok ini tentu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memandang suatu permasalahan dalam Islam, akibat dari perbedaan sudut pandang inilah yang kemudian memunculkan perbedaan pemahaman diantara masing-masing kelompok.

Bacaan Lainnya

Kelompok moderat adalah mereka yang menjalankan syariat Islam dan juga meyakini bahwa islam itu sangat pas untuk setiap zaman sehingga mereka tidak melaksanakan agama layaknya suatu monumen yang kaku. Akan tetapi mereka memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif.[1]

Adapun kelompok puritan merupakan kebalikan dari kelompok moderat bila kelompok moderat memandang agama ini sebagai suatu hal yang dinamis, kelompok puritan cenderung memandang agama secara literalis dan absolute sehingga sangat membatasi akal dalam penafsiran al-Qur’an maupun hadits. Akibat dari sudut pandang yang kaku serta literalis inilah yang kemudian memunculkan pemahaman yang cenderung kaku, kuno dan intoleran.

Sebagai buah dari pemahan puritan ini dapat kita lihat contohnya berupa aksi-aksi radikalisme hingga terorisme, seperti kejadian teragis yang kita kenal dengan penyerangan 11 September atau tragedi pembajakan pesawat dan penyerangan terhadap gedung WTC[2] di Amerika yang memakan ratusan hingga ribuan nyawa serta kerugian berupa materi yang tak sedikit jumlahnya dan aksi-aksi terorisme lainnya. Hal tersebut membuktikan pada kita betapa dahsyatnya pengaruh paham puritanisme ini terhadap umat Muslim itu sendiri dan juga seluruh masyarakat dunia.

Permasalahan seperti ini bila dalam jangka waktu pendek mungkin tidak akan menjadi suatu permasalahan yang serius, namun akan menjadi hal yang sangat merusak baik antar sesama Muslim maupun seluruh lapisan masyarakat bila tidak kita hiraukan. Oleh karena itulah melalui tulisan ini penulis ingin menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan paham Islam puritan, dan apa pengaruh paham ini terhadap kehidupan beragama.

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus yang dilakukan terhadap fenomena munculnya paham puritanisme dalam Islam, serta pengaruh yang ditimbulkan dalam aspek kehidupan beragama. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah pendekatan kualitatif yang mana pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena, peristiwa, dinamika sosial, sikap, dan persepsi seseorang atau kelompok terhadap sesuatu.[3] Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini antara lain fakta sejarah yang mengungkap akan munculnya paham puritanisme, beberapa pendapat para ahli serta penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dalam tema pembahasan. Dan adapun teknik pengumpulan data yang digunakan berupa literature review atau studi dokumentasi dengan cara membaca informasi-informasi yang bersumber dari berbagai macam tulisan seperti jurnal, artikel, buku serta berita yang terdapat di dalam internet.

Baca juga: Perpecahan Ummat Islam Menjadi 73 Golongan

Pembahasan

Mengenal Apa Itu Paham Puritanisme

Istilah Puritanisme diambil dari kata “Purify” yang artinya memurnikan atau ”Pure” yang berarti murni. Kata puritan sering kali dipakai oleh para peneliti atau pengamat untuk melabeli seorang individu, atau suatu kelompok yang dalam kehidupan beragama lebih mengedepankan aspek keaslian atau kemurnian[4].

Kemurnian yang dimaksudkan disini yaitu menjalankan agama sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasulullah tidak lebih dan tidak kurang, sehingga segala hal yang tak sesuai dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dianggap sebagai suatu hal yang baru atau bid’ah, kurafat, takhayyul bahkan kekafiran.

Adapun menurut Khaleed Abu el-Fadl Islam Puritanisme adalah “Sekelompok orang Islam yang dalam hal keyakinannya menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi sehingga cenderung tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang, dan memandang realitas pluralis sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.”[5]

Sikap Absolutisme yang ada pada kelompok puritan ini dipengeruhi oleh sudut pandang mereka terhadap teks-teks yang cenderung literalis, dan sangat membatasi kegunaan akal dalam hal menafsirkan Al-qur’an dan hadits. Karena bagi mereka Allah dan Nabi-Nya telah sempurna mengatur dan memberi petunjuk kepada manusia untuk menjalankan hidupnya, oleh larena itu tak dibutuhka lagi peranan akal dalam mengotak-atik nash-nash yang telah sempurna tersebut.

Salah satu ciri dari paham puritanisme ini adalah tidak mempertimbangkan proses asimililasi dan akulturasi adat dan kepercayaan setempat, akibanya paham ini sering menolak apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal[6]. Dengan begitu mereka kerap kali menggaungkan seruan “Kembali kepada Qur’an Hadits” dalam dakwah mereka, dengan tujuan umat Muslim dapat menjalankan agamanya sesuai dengan apa yang telah di perintahkan Allah dan Rasulullah.

Munculnya gerakan pembaruan Islam diawali sejak akhir abad ke-19, ketika saat itu umat Islam sedang berada pada kondisi kritis karena ketertinggalannya dengan barat dalam bidang ilmu pengetahuan maupun budaya. Dalam hal ini umat Islam berpikir bahwa, kemunduran yang mereka alami tersebut diakibatkan karena umat Islam sudah jauh dari ajaran Islam yang murni yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Akan tetapi respon terhadap fenomena tersebut khususnya di Indonesia baru muncul sekitar awal abad ke-20 yang ditandai dengan berdirinya gerakan-gerakan Islam atau organisasi masyarakat (ormas) seperti Jamiat Khaer, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdathul Ulama, hingga PERSIS.[7]

Islam puritan sendiri diketahui masuk ke Indonesia dengan dipelopori oleh Abdurrauf Singkel dan Muhammad Yusuf al-Makasari, potret Islam yang dikenalkan oleh dua orang ulama ini berbasis puritan dengan menganggap bahwa Islam yang paling benar adalah dengan meniru Salaf as-Shalihin. Sehingga adat istiadat, budaya dan tradisi dianggap sebagai suatu hal yang dapat menghilangkan keautentikan dari agama Islam itu sendiri.

Ideologi daripada paham puritanisme berakar kepada kelompok wahabi atau wahabisme yang didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, paham wahabi sendiri merupakan paham yang menklaim bahwa agama Islam yang dipahami saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan apa-apa yang telah diajarkan langsung oleh Allah dan Rasulullah, sehingga mereka merasa memiliki kepentingan untuk meluruskan kembali pemahaman yang dianggap salah tersebut. Sehingga segala bentuk kearifan lokal walaupun dimasukkan kedalamnya unsur-unsur keislaman, seperti selamatan, syukuran, tahlilan dan yang sejenisnya dianggap salah dan melenceng daripada syariah yang telah ditentukan. Ciri-ciri atau karakter daripada kelompok puritan ini antara lain: Pertama, cenderung literalis dalam menafsirkan nash-nash keagamaan seperti Al-qur’an an As-sunnah dan menolak pemahaman kontekstual karena dianggap akan menghilangkan kemurnian agama. Kedua, Sering memonopoli kebenaran atas tafsir agama sehingga menganggap dirinya lah yang paling benar atau Truth Claim, yang berakibat munculnya kesombongan dengan mengatakan yang diluar kelompok mereka adalah sesat, ahli bid’ah, kafir dan pantas masuk neraka. Ketiga, menolak pluralisme dan relativisme karena menurut mereka kedua hal ini merupakan penyimpangan dalam agama.[8]

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa kelompok yang beridiologi puritan diantaranya Majelis Tafsir Al-qur’an (MTA), majelis ini adalah lembaga dakwah yang didirikan oleh seorang mubalig keturunan Pakistan yang berprofesi sebagai pedagang bernama Abdullah Thufail Saputra pada tanggal 19 September 1972. Abdullah Thufail Saputra adalah seorang pedagang batu permata dan dengan profesinya sebagai pedagang, beliau telah mengelilingi Indonesia kecuali Irian Jaya. Beliau seorang pedagang yang berjiwa pendakwah dalam masa perdagangannya beliau sering memanfaatkan waktu untuk membaca buku dan memperhatikan kondisi umat Islam yang semakin jauh dari Al-qur’an , hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari kegiatan dakwahnya dan menetap di Surakarta. Kemudian mulailah ia mendirikan Majelis Tafsir Al-qur’an (MTA) dan memfokuskan kegiatannya pada ide-ide pemurnian Islam yang terkontaminasi dengan budaya-budaya lokal, ada tiga hal utama yang menjadi pokok ajaran dari gerakan MTA ini. Pertama, tauhid dan syirik inti tauhid yang selalu ditekankan oleh MTA adalah sikap ketergatungan kepada Allah dan hanya kepadanya tempat meminta, yang kebalikannnya adalah meminta selain kepada Allah atau syirik. Sehingga guna mencapai kesempuranaan tauhid, MTA beranggapan bahwa satu-satunya sumber tauhid yang bisa diterima adalah Al-qur’an dan sunnah bukan tradisi.

Kedua, Bid’ah menurut MTA yang dimaksudkan bid’ah itu adalah suatu yang baru atau yang dibuat-buat dan merupakan lawan dari sunnah yang artinya tradisi yang hidup, sehingga segala bentuk kegiatan terkhususnya dalam masalah ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam Al-qur’an dan hadits termasuk bidah. Dan dalam persoalan ibadah bid’ah merupakan sebab tertolaknya amal seseorang dan juga dapat merusak ibadah yang lainnya. Bahkan mereka beranggapan bahwa amalan-amalan bid’ah dapat mengandung unsur kemusyrikan  terlebih lagi di masa sekarang, oleh karaena itu ajaran Islam perlu dibersihkan dari segala unsur-unsur bid’ah. Ketiga, Kembali kepada Al-qur’an dan Sunnah hal ini tentu merpakan kesepakatan seluruh umat Islam sebagai prinsip dalam menjalani syariat Islam itu sendiri. Namun paradigma kembali kepada Qur’an Hadits menurut MTA adalah dengan menjadikan dengan menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai pemahaman tunggal dan hanya sebatas pemahaman tekstual semata, sehingga AlQur’an hanya sebatas kitab hukum bagi umat Muslim dan bukan lagi sebagai kumpulan prinsip ajaran Islam yang bersifat universal.[9]

Pandangan Islam Tergadap Paham Puritanisme

Sebagaimana yang telah kita singgung di atas bahwasanya Islam itu merupakan agama yang Shalih fi kulli zaman wal makan yang artinya, sebagai satu-satunya jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat sudah sepatutnya ajaran-ajaran Islam dapat relevan pada situasi apapun dan di zaman apapun itu. Sehingga demikian umat Muslim dapat merasakan kehadiran Islam di setiap sendi kehidupan mereka, dan dapat Up to date terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer yang akan terus berkembang. Bagi Muhammad Syahrur kelompok puritan seperti Wahabi, Salafi dan lainnya adalah sebuah aliran yang mengikuti pemahaman para Salaf as-Shalih dengan tanpa membuka mata terhadap perbedaan realitas konteks yang ada. Mereka disebut sebagai muqallid buta yang tak mampu  membedakan bahwasanya mereka sedang hidup di zaman yang sangat jauh rentangnya dari zaman yang mereka ikuti.[10] Di dalam Al-qur’an surah Al-baqoroh : 143 Allah SWT berfirman.

Dan demikian pula kami telah menjadikanmu (Umat Muslim) umat yang menjadi penengah (Washaton) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)mu….(143)

Dari paparan ayat diatas Allah SWT menyebut umat Islam sebagai umat washaton atau penengah karena mampu memadukan dua kutub agama terdahulu yaitu, sikap keberagamaan kaum Yahudi yang terlalu membumi dan sikap keberagamaan kaum Nasrani yang terlalu melangit.[11] Bila kita korelasikan dengan pembahasan kita kali ini maka sudah seharusnya umat Islam bersikap washaton sebagaimana yang telah dijelaskan alQur’an dengan cara berbudaya tanpa melupakan agama dan beragama tanpa meninggalkan budaya selagi tdak menyimpang dari syariat-syariat Islam, karena bila kita terlalu condong kepada keagamaan maka akan memunculkan pemahaman dan sikap yang kaku dan kuno namun bilaman kita terlal condong kepada hal-hal yang bersifat umum salah satunya adalah budaya maka akan memunculkan sikap dan pemahaman yang cenderung bebas atau liberal.

Dalam menyikapi sikap kaum puritan yang identik dengan aktifitas bid’ah membid’ahkan orang-orang muslim yang di luar golongan mereka, memang ada beberapa hadits-hadits nabi yang berbicara mengenai hal ini dan yang kemudian itu menjadi dalil-dalil andalan mereka dalam meluncurkan tuduhan bid’ah kepada selain mereka. Namun bilamana hadits tersebut dipahami dengan pemahamn yang benar, tentu akan jauh seperti yang mereka pahami. Seperti hadits berikut ini:

“Sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, dan sebaik baiknya peyunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adlah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat di neraka”

Dan juga hadits dari Ummul Mukminin Aisyah RA

“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya maka perkara tersebut terttolak”

Hadits-hadits diatas bilamana dilihat dari bunyi teksnya tentu akan membuat kita sepakat bahwasanya setiap perkara baru itu adalah bid’ah yang berujung kepada kesesatan dan akhirnya neraka, namun pertanyaanya adalah apakah setiap perkara baru itu bid’ah yang mana menurut hadits diatas merupakan seburuk-buruknya perbuatan lagi sesat ? Hal ini dijelaskan Imam as-Syafi’e dalam kitabnya Hasyiyah Lanatut Thalibin Juz.1 Hal. 313

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala.

Begitu juga dengan sikap mereka yang seringkali mengkafirkan muslim di luar mereka yang tidak mau bergabung di dalam barisan mereka, padahal syariat Islam sudah jelas melarang dengan tegas agar tidak asal menuduh seorang muslim dengan tuduhan kafir. Hal ini banyak dibahas oleh hadits-hadits Nabi SAW, dianaranya:

“Janganlah salah seorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan tersebut akan kembali ke dirinya sendiri bilamana orang lain tersebut tidak sebagaimana yang ia tuduhkan” (HR. Bukhari No.6045)

Dan dalam hadits lain, disebutkan:

Siapa yang berkata kepada saudaranya, “Wahai Kafir!” maka bisa jadi tuduhan tersebut kembali kepada salah satu diantara keduanya” (HR. Bukhari No. 6104)

Dari beberapa pemaparan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya memfonis kafir kepada sesama Muslim merupakan hal yang tak dapat dibenarkan, bahkan tergolong perbuatan maksiat. Sejarah mencatatkan bahwa Rasulullah SAW tidak tidak mengkafirkan orang-orang munafik yang telah beberapa kali mendurhakai perintahnya.[12]  Sebagaimana ketika kaum munafik yang enggan berperang bersama Nabi dalam perang Uhud, Rasulullah tetap menghitung mereka sebagai bagian dari orang muslim. Abdullah bin Ubay dan kelompoknya tidak sedikit pun dicap sebagai kafir oleh Rasulullah, meskipun mereka secara terang-terangan menolak seruan untuk berperang membela agama Islam. Oeh sebab itu sudah sepatutnya kita meniru praktek dakwah Rasulullah yang mengedepankan kasih sayang dan akhlaqul karimah, bukan dengan kekerasan dan mengutamakan jawa nafsu.

Pengaruh Islam Puritan Bagi Kehidupan beragama

Setiap pemikiran dapat berpotensi menghasilkan suatu tindakan dan suatu tindakan akan berpotensi menjadi suatu karakter bagi seorang individu maupun kelompok,  begitulah kira-kira gambaran dari dampak yang ditimbulkan oleh paham puritanisme ini. Walaupun secara umum wajah asli dari Islam Islam adalah penganut paham moderat, namun menurut Khaleed al-Fadl kelompok moderat yang menjadi mayoritas ini justru menjadi Silent Mayority karena kelompok ini belum mampu menunjukan eksistensi mereka di mata dunia, alhasil pemikiran-pemikiran puritan lebih mendominasi wajah dari Islam itu sendiri. Sehingga banyak orang di luar Islam yang menganggap bahwasanya Islam itu adalah agama yang keras, kaku, intoleran dan bahkan dicap sebagai teroris.[13] Hal ini tentu sangat merusak citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamiin.\

Selain itu juga penganut paham ini biasanya akan bersikap ekslusif atau tertutup daari dunia luar dan hanya mau bergaul dengan sesama golongannya saja, sehingga menyebabkan komunikasi dan hubungan mereka dengan orang-orang sekitar atau tetangga terjalin tidak harmonis. Padahal Rasulullah SAW sendiri bersabda bahwasanya setip orang Islam itu bersaudara, lantas merupakan hal yang aneh bila kita tidak mau berbaur bahkan membenci saudara-saudara kita sendiri hanya karena berbeda pemahaman.

Baca juga: Westernisasi dan Dampak Negatifnya bagi Umat Islam

Kesimpulan

Islam puritanisme adalah “Sekelompok orang Islam yang dalam hal keyakinan menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi sehingga cenderung tak tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang , dan memeandang realitas pluralis sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.” Kelompok puritan ini dipengaruhi oleh suut pandang mereka terhadapa nash-nash keagamaan yang cenderung leteralis, dan sangat membatassi kegunaan akal dalam hal menafsirkan Al-qur’an dan hadits. Karena bagi mereka Allah dan nabi-Nya telah sembpurna mengatur dan memberi petunjuk kepada manusia untuk menjalani hidupnya, Oleh karena itu tak dibutuhkn lagiperanan akal dalam mengotak-atik nash-nash yang telah sempurna tersebut.

Ideologi puritanisme ini diketahui berakar daripada kelompok wahabi atau wahabisme yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, paham wahabi sendiri merupakan paham yang mengklaim bahwa agama Islam yang dipahami saat ini suddah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah, sehingga mereka merasa memiliki kepentingan untuk meluruskan paham yang dianggap salah tersebut. Sehinga segala bentuk kearifan lokal walaupun dimasukkan kedalamnya unsur-unsur ke-Islaman seperti selamatan, syukuran, tahlilan dan lain sebagainya dianggap suatu amalan yang menyalahi syariah dan merusak aqidah.

Menurut Khaleed Abu el-Fadl secara umum umat Islam dapat dikelompokan ke dua kelompok yakni kelompok moderat dan kelompok puritan, walaupun kelompok moderat ini menjadi mayoritas akan tetapi ia hanya menjadi Silent Mayority yang belum mampu menunjukkan eksistensi mereka di mata dunia. Sehingga kelompok puritan lah yang lebih mendominasi hingga menyebabkan tercorengnya wajah Islam di mata dunia, dengan dikenalnya sebagai agama yang radikal, ekstrim, intoleran bahkan teroris.

Penulis: Iriansyah A. P Harahap
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Daftar Pustaka

Ibnu Farhan, Aliran Puritan Dan Moderat Dalam Islam, Miskiyah Vol.1 No.1 2016

Muhammad Tholhah Al-fayadi, 2016, Nabi Melaang Memfonis Kafir Sesama Umat Islam, https://islam.nu.or.id/ 24 Mei 2022 pukul 1.33

Alif Jabal Kurdi, 2020, Muhammad Syahrur: Salafisme Dan Hakikat Al-qur’an Shalih Lil Kulli Zaman Wal Makan, Muhammad Syahrur dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan (tafsiralquran.id) 23 Mei 2022 pukul 22.33

Muhammad Al-farabi, 2021, Moderasi Beragama Dalam Ajaran Islam, Moderasi Beragama dalam Ajaran Islam – Kemenag Kota Medan 23 Mei 2022 pukul 23.06

Nurul Fatimah, Gerakan Puritanisme Di Kepulauan Sapeken, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017)

 Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana Dan Politisasi Agama, Jurnal Tashwirul Afkar Vol. 13 thn 2002

Ilya Muhsin, Muhammad Gufran, Geliat Puritanisme Islam di Indonesia: Menyibak Tabir Dibalik Gerakan Majelis Tafsir Al-qur’an (MTA) dalam perspektif Sosiologis, Jurnal INFERENSI Vol.12 No.1 2018

Umma Farida, Islam Pribumi Dan Islam Puritan: Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Beradasar Proses Dialektika Pemeluknya Dengan Tradisi Lokal. Fikrah, Vol.3 No. 1, 2015

Dani Ismantoko, 2019 “Puritanisme Islam : “Memurnikan ajaran atau Arabisasi” diakses dari https://geotimes.id/opini/puritanisme-islam-memurnikan-ajaran-atau-arabisasi/ 19 Mei 2022, pukul 13:31

Azhaki Khairuddin, 2020 Post Puritanisme: Pemikiran gerakan Islam modernis. Diakses dari https://s3ppi.umy.ac.id/post-puritanisme-pemikiran-gerakan-islam-modernis-1995-2015-review-buku/ 20 Mei 2022 Pukul: 21.00

Ilham Choirul Anwar, 2021 Mengenal Penelitian Kualitatif : Pengertian Dan Metode Analisis, diakses dari https://tirto.id//mengenal-penelitian-kualitatif-pengertian-dan-metode-analisis-f9vh 19 Mei 2022 Pukul: 23.18


[1] Ibnu Farhan, Aliran puritan dan moderat dalam Islam, Miskiyah, Vol 1 No.1 2016 hal. 110

[2] Dani Ismantoko, “Puritanisme Islam : “Memurnikan ajaran atau Arabisasi” diakses dari https://geotimes.id/opini/puritanisme-islam-memurnikan-ajaran-atau-arabisasi/ Pada 19 Mei 2022, pukul

13:31

[3] Ilham Choirul Anwar, Mengenal Penelitian Kualitatif : Pengertian Dan Metode Analisis, diakses dari https://tirto.id/ pada 19 Mei 2022 Pukul: 23.18

[4] Azhaki Khairuddin, Post Puritanisme:  Pemikiran gerakan Islam modernis. Diakses dari https://s3ppi.umy.ac.id Pada 20 Mei 2022 Pukul: 21.00

[5] Ibnu Farhan, Aliran puritan dan moderat dalam Islam, Miskiyah, Vol 1 No.1 2016 hal. 104

[6] Umma Farida, Islam Pribumi Dan Islam Puritan: Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Beradasar Proses Dialektika Pemeluknya Dengan Tradisi Lokal. Fikrah, Vol.3 No. 1, 2015 hal. 148

[7] Nurul Fatimah, Gerakan Puritanisme Di Kepulauan Sapeken, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017) Hal. 1

[8] Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana Dan Politisasi Agama, Jurnal Tashwirul Afkar Vol. 13 thn 2002, hlm.21

[9] Ilya Muhsin, Muhammad Gufran, Geliat Puritanisme Islam Di Indonesia: Menyibak tabir di balik gerakan Majelis Tafsir Al-qur’an (MTA) dalam perspektif sosiologis, Jurnal INFERENSI Vol. 12 No. 1 2018.Hal. 222

[10] Alif Jabal Kurdi, Muhammad Syahrur: Salafisme dan hakikat Al-qur’an Shalih Fi kulli Zaman Wal Makan. Diakses dari https://tafsiralquran.id/ pada 23 Mei pukul 22.33

[11] Muhammad Al-farabi, Moderasi Beragama Dalam Islam. Diakses dari https://medankota.kemenag.go.id/ pada 23 Mei 2022 pukul 23.06

[12] Muhammad Tholhah al-Fayyadi, Nabi melaran memfonis sesama muslim. Diakses dari https://islam.nu.or.id/ pada 24 Mei 2022 pukul 1.33

[13] Ibnu Farhan, Aliran Puritan Dan Moderat Dalam Islam, Jurnal Miskiyah Vol.1 No.1 2016 hal.103

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI