Bagaimana Film (Gambar Bergerak) Terus Berevolusi dari Masa ke Masa

Film (Gambar Bergerak) Terus Berevolusi
Ilustrasi Film (Sumber: Kompas.com)

Secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa disebut dengan Kamera.

Bagaimana Perkembangan Teknologi (Kamera) dengan Gambar yang Bergerak?

Thomas Edison menemukan sebagian besar komponen utama kamera, dan Lumière bersaudara dari Perancis menemukan prinsip proyeksi cahaya melalui strip film transparan. Film ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah frame atau frame per detik, membuat gambar lebih lebar, dan menambahkan warna.

Efek khusus yang dikembangkan dari model mekanis, seperti yang ada pada film klasik King Kong tahun 1933, disempurnakan dan akhirnya digantikan dengan citra yang dihasilkan komputer.

Bacaan Lainnya

Gambar yang tumpang tindih dan penggunaan latar belakang matte juga menjadi lebih canggih dengan munculnya komputer. Digitalisasi tidak hanya mengubah efek, tetapi juga perekaman (kamera), pengeditan, dan proyeksi.

Apa Saja Perkembangan Utama dalam Bentuk dan Genre Film?

Pada tahun 1915, sutradara film D.W. Griffith mengeksplorasi penggunaan layar besar, dengan ahli memproduksi adegan pertempuran luar ruangan, gambar bergerak, film layar lebar, dan close-up. Genre film bisu meliputi film barat, film perang, fiksi ilmiah, novel roman, komedi fisik, dan drama kostum sejarah. Gambar yang bisa berbicara membawa perubahan mendadak, dimulai dengan The Jazz Singer tahun 1927.

Akting menjadi tidak terlalu berlebihan dan bergaya, dan penggunaan suara aktor, efek suara, dan musik menjadi lebih penting. Film Talkie membutuhkan masuknya talenta baru, yang sebagian besar berasal dari Vaudeville dan Broadway.

Banyak genre baru seperti musikal dan film noir memanfaatkan kemungkinan teknologi dan sistem studio. Genre dasar saat ini adalah komedi, drama, aksi, horor, fiksi ilmiah, klasik, keluarga, barat, anime, asing, dan jenis kategori yang dapat Anda temukan di toko video.

Film bisu membentuk formula genre klasik untuk penceritaan film yang masih diikuti hingga saat ini. Film-film ini berorientasi pada aksi dan memiliki latar yang mewah, karena pembuat film bisu harus mengandalkan elemen visual, dengan gambar diam yang diselingi hanya dialog pendek.

“The Great Train Robbery” menawarkan aksi dan ketegangan, sedangkan “Birth of a Nation” menawarkan pertempuran, kejar-kejaran, dan adegan sejarah. Genre yang mereka gambarkan masih hidup dan berkembang hingga saat ini sebagai aksi-petualangan (Iron Man 2) dan drama kostum sejarah (Young Victoria).

Dampak budaya film terhadap Amerika dan dunia pada tahun 1930-an dan 1940-an sungguh luar biasa. Pemirsa menunggu minggu demi minggu untuk melihat apa yang  terjadi selanjutnya dengan Flash Gordon dan pahlawan serial lainnya.

Meskipun depresi hebat membuat sebagian orang menjauh, kebanyakan orang berusaha mendapatkan beberapa sen untuk pergi ke bioskop, dan mereka bersama-sama membeli sekitar 70 juta tiket dalam seminggu.

Hollywood menyediakan semacam pelarian yang membantu orang melupakan masalahnya. Fantasi murni The Wizard of Oz (1939) dan petualangan Shirley Temple dan Three Stooges adalah contoh bagus dari pelarian tahun 1930-an.

Film-film Amerika juga menjadi internasional, penonton lain menjadi tertarik dengan kehidupan Amerika modern  yang mereka lihat di layar, dan studio-studio membuat dorongan kuat untuk mengekspor.

Pada tahun 1930-an, kedua studio tersebut bersatu untuk membentuk Asosiasi Ekspor Film Amerika (MPEAA), yang mengambil alih sebagian besar bisnis distribusi film internasional.

Bagaimana Film Masuk di Indonesia?

Pada tanggal 5 Desember 1900, film pertama diputar di Indonesia. Saat itu, film tersebut berjudul “Idoep Picture”. Pemutaran film pertama diadakan di Tanah Abang dengan tema film dokumenter tentang perjalanan Ratu dan Raja Belanda ke Den Haag.

Namun pertunjukan pertama ini tidak terlalu sukses karena harga tiket dianggap terlalu tinggi, dan pada tanggal 1 Januari 1901, harga tiket diturunkan sebesar 75% untuk merangsang minat penonton. Film sebanyak episode ini pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 dan didatangkan dari Amerika.

Film impor ini berganti judul menjadi bahasa Melayu dan film layar lebar impor ini laris manis di Indonesia, terbukti dengan meningkatnya jumlah penonton dan bioskop. Film lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi pada tahun 1926 diproduksi oleh NV Java Film Company dan merupakan film bisu. Hal ini agak terlambat, karena produksi film talkie telah dimulai di belahan dunia lain pada tahun itu.

Belakangan, perusahaan yang sama memproduksi film kedua berjudul ‘Eulis Atjih’. Setelah produksi film kedua ini, muncullah perusahaan film lain seperti Harimun Film Bandung yang memproduksi Lily Van Java, dan Central Java Film (Semarang) yang memproduksi Setangan Belumul Uang.

Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Jamaluddin Malik mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) pada tanggal 30 Agustus 1954, dan kemudian menyelenggarakan Festival Film Indonesia yang pertama pada tanggal 30 Maret hingga 5 April 1955. Festival (FFI) digalakkan.

Film Jam Malam yang disutradarai Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik festival tersebut. Film tersebut juga terpilih sebagai film wakil Indonesia pada Festival Film Asia II di Singapura. Film ini juga dianggap sebagai mahakarya Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam terhadap mantan kombatan pasca kemerdekaan.

Pada pertengahan tahun 1990-an, ketika dihadapkan pada krisis ekonomi, bioskop-bioskop pemerintah harus bersaing ketat dengan maraknya sinetron di televisi komersial. Selain itu, keberadaan laserdisc, VCD, dan DVD semakin memudahkan menikmati film impor.

Di sisi lain, keberadaan kamera digital juga membawa dampak positif bagi dunia perfilman Indonesia. Sebab dengan adanya kamera digital, komunitas film independen mulai berkembang. Sayangnya film-film independen tersebut belum memiliki jaringan distribusi yang kuat sehingga film-film tersebut hanya tayang terbatas dan hanya ditayangkan di festival-festival saja.

Pada tanggal 19 Desember 2009, film Laskar Pelangi memenangkan Penghargaan Film Terbaik Asia-Pasifik di Festival Film Asia-Pasifik di Taiwan.

 

Penulis: Kelompok Film and Home Video
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI