Cybersexual Harassment: Ancaman Gelap di Dunia Maya

Kekerasan Seksual
Sumber: Unsplash (Clint Patterson).

Di era globalisasi di mana hampir segala aspek dalam kehidupan kita didominasi oleh teknologi digital, kemajuan teknologi telah membuka pintu baru bagi interaksi sosial.

Namun, sayangnya, kemajuan ini juga membawa dampak negatif, yaitu peningkatan kasus cybersexual harassment di Indonesia. Cybersexual harassment adalah bentuk kejahatan seksual baru yang melibatkan perilaku tidak pantas, yang bersifat seksual, yang dilakukan dalam lingkup atau melalui media digital.

Isu ini tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga sebuah bentuk pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia yang sejatinya dilindungi dalam undang-undang. Setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk pelecehan dan diskriminasi, termasuk pelecehan seksual di dunia maya.

Bacaan Lainnya

Selain itu, isu ini juga bertentangan dengan sila kedua Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sila kedua ini mengajarkan kita untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berperilaku serta beradab terhadap sesama.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami isu cybersexual harassment dan bersama berupaya mencegah dan menanggulanginya.

Tingkat Kekerasan Seksual di Indonesia

Menurut data terkini, prevalensi cybersexual harassment di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat bahwa terdapat 3.838 kasus kekerasan berbasis gender yang ditangani, dan dari jumlah tersebut, sebanyak 1.721 kasus merupakan kekerasan siber berbasis gender.

Laporan UNICEF, Interpol, dan ECPAT menunjukkan bahwa 17-56% anak Indonesia yang mengalami eksploitasi seksual online tidak melaporkannya. Dalam setahun terakhir, sekitar 500.000 anak menjadi korban eksploitasi ini, terutama melalui WhatsApp, Facebook, dan Messenger.

Bentuk kejahatannya meliputi pemerasan seksual, penyebaran gambar seksual tanpa izin, dan pemaksaan seksual demi uang atau hadiah. Mirisnya, hingga 56% korban tidak menceritakan pengalaman mereka, disebabkan oleh kurangnya kesadaran tentang tempat pelaporan dan rasa malu atau takut tidak dimengerti.

Kekerasan Berbasis Gender Online menjadi perhatian yang berkembang secara global, khususnya di kalangan anak usia sekolah. Jumlah kasusnya mengalami peningkatan terutama di kalangan anak muda dan meningkat secara signifikan sejak pandemi Covid-19. Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa hampir 60% perempuan di 22 negara telah mengalami kekerasan jenis ini.

Baca Juga: Kepastian Hukum Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Menjatuhkan Tindakan Kebiri Kimia kepada Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

Pelanggaran HAM dan Kontradiksi dengan Sila Kedua

Sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan pada pengakuan dan perlakuan terhadap manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Cybersexual harassment, dengan segala bentuknya, jelas bertentangan dengan prinsip ini. Tindakan ini tidak hanya merendahkan martabat korban, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak adil.

Dampak dari cybersexual harassment sangat merugikan, baik bagi korban maupun masyarakat secara luas. Korban sering kali mengalami trauma psikologis, seperti rasa takut, malu, stres, dan depresi. Mereka juga dapat mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, dan merasa selalu tidak aman.

Selain itu, dampak ini juga merambah ke ranah sosial. Korban sering kali mengalami keterbatasan dalam aktivitas sosial dan bahkan pengucilan dari lingkungan mereka. Hal ini dapat berujung pada victim-blaming, di mana korban malah mendapatkan stigma dan tuduhan.

Dalam konteks yang lebih luas, cybersexual harassment juga berdampak negatif terhadap masyarakat. Tindakan ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak kondusif, serta merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang menjadi dasar masyarakat kita.

Baca Juga: Menelaah Anti Kekerasan Seksual

Upaya Penanggulangan dan Pencegahan

Untuk menanggulangi dan mencegah cybersexual harassment, berbagai langkah telah dan perlu diambil, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat dan pemerintah memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan dan pencegahan cybersexual harassment.

Masyarakat perlu lebih sadar dan teredukasi tentang cybersexual harassment dan bagaimana cara mencegah dan melaporkannya. Sementara itu, pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi dan peraturan yang ada dapat melindungi korban dan mencegah tindakan cybersexual harassment.

Selain itu, pemerintah juga perlu bekerja sama dengan platform digital untuk menjaga ruang digital dari konten negatif. Untuk melawan ancaman ini, masyarakat dan pemerintah harus berkolaborasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kasusnya. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan perlindungan korban.

Mari kita bersama-sama berperan aktif dalam menciptakan Indonesia yang lebih aman dari kejahatan seksual baik itu secara langsung maupun cybersexual harassment dengan mencegah dan memberantas kejahatan ini.

Penulis: Puan Najwa Saras Vathi
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI