Indonesia VS Amanat Konstitusi, Bagaimana ini Mempengaruhi Posisi Indonesia atas Israel di Piala Dunia U-20?

(Erick Thohir Bersama Presiden FIFA Giovanni Infantio)
(Erick Thohir Bersama Presiden FIFA Giovanni Infantio)

Tepat pada 24 Oktober 2019 menjadi hari yang membanggakan bagi Indonesia, khususnya pecinta sepak bola dunia. Indonesia pada akhirnya berhasil mengungguli beberapa kandidat seperti Peru dan Brasil untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021. Pengumuman ini menjadi titik penting bagi sepak bola Indonesia, bagaimana tidak? Ini merupakan kali pertama Indonesia menjadi tuan rumah dari ajang kompetisi di bawah naungan Federation Internationale de Footbal Association (FIFA).

Dari 10 stadion yang dipilih pada tahap awal, 6 stadion berhasil memenuhi kriteria penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia, salah satunya adalah Stadion Kapten I Wayan Dipta (Bali).

Meski terdapat pembatalan penyelenggaraan pada 2021 lalu karena pandemi Covid-19 yang masih tercatat masif, Indonesia tidak kehilangan kesempatan untuk tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada edisi 2023. Di lain sisi, pematangan persiapan terus dilakukan oleh berbagai pihak untuk pagelaran Mei – Juni 2023 kala itu.  

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Politik Bebas Aktif: Sikap Indonesia Atas Kehadiran Israel dalam Ajang Piala Dunia U-20

Namun pada Juli 2022 lalu, gelombang demonstrasi mulai meningkat. Hal ini sejalan dengan lolosnya Timnas Israel U-20 pada kualifikasi yang membawa mereka pada babak selanjutnya, dan bertanding di negara yang menjadi tuan rumah saat itu, yaitu Indonesia.

Meski sebagian pihak menyatakan dukungannya bahwa olahraga tidak bisa selalu dikaitkan dengan bidang politik, narasi anti-Israel justru terus memegang peran penting dalam pembahasan ini. Namun disisi lain, terdapat pendekatan yang menyatakan bahwa penolakan hadirnya Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 merupakan kepentingan politik yang dijalankan oleh kelompok Islam Konservatif. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Mengutip publikasi Bridget Fowler yang berjudul “Pierre Bourdieu on Social Transformation, with Particular Reference to Political and Symbolic Revolutions” dalam Pinter Politik, identitas atau status terkadang mampu digunakan untuk menutupi suatu kepentingan.

Baca Juga: Penunjukan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20 dan Penolakan terhadap Israel: Sebuah Paradoks

Dimana penyamaran kepentingan yang dilakukan pada akhirnya mampu menjadi modal atau kendaraan ekonomi dan politik. Jika kita kaitkan kembali dalam kasus penolakan Timnas Israel untuk berlaga di Indonesia, dapat dipahami bahwa terdapat aktor politik yang menggunakan identitas dan status “Islam konservatisme”-nya untuk tetap membela Palestina agar mendapatkan timbal balik/ respon positif publik menjelang digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.

Namun lebih daripada itu, sebagian besar pihak yang menyatakan pendapatnya “setuju” bahwa penolakan tersebut didasarkan pada amanat konstitusi Indonesia.

Tanggapan Indonesia selanjutnya hadir setelah presiden Jokowi menyampaikan pernyataan resmi bahwa keikutsertaan Timnas Israel dalam gelaran ini tidak akan mempengaruhi posisi Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina.

Baca Juga: Teknologi VAR di Piala Dunia Qatar 2022 dan Kaitannya terhadap AI

Dalam pernyataan resminya pada 28 Maret 2023 lalu, Jokowi menyampaikan, “Saya menjamin, keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri kita terhadap Palestina, karena dukungan kita terhadap Palestina selalu kokoh dan kuat.”

Ini selalu sejalan dengan amanat bangsa yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea pertama,

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Dalam publikasi lainnya oleh Bridget Fowler yang berjudul “Symbolic Power, Politics, and Intellectuals” dijelaskan kekuatan simbolik pada akhirnya dapat membantu menciptakan dan mempertahankan hierarki sosial, yang membentuk landasan kehidupan politik.

Baca Juga: Sponsorship Adidas pada Piala Dunia FIFA Qatar 2022

Jika melihat faktor kesejarahan dengan UUD 1945 sebagai kekuatan simbolik Indonesia, maka penolakan atas Timnas Israel dapat dijadikan landasan utama penerapan amanat bangsa di kehidupan politik Indonesia saat ini dan menjadi penjelas mengapa tidak ada hubungan diplomatik formal di antara kedua negara (Israel-Indonesia) hingga detik ini.

Meskipun pada akhirnya, penolakan terhadap Timnas Israel di atas dukungan dan solidaritas penuh atas Palestina tampaknya perlu dikaji kembali. Maka, menjadi pertanyaan besar hingga saat ini, “Apakah keterlibatan Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 yang akan diselenggarakan di Indonesia pada saat itu merupakan bentuk dari pengurangan dukungan Indonesia atas Palestina?”

Dukungan Indonesia sendiri sudah terlihat sejak transisi bangsa menuju kemerdekaan. Di balik itu, Palestina merupakan negara pertama di Timur Tengah yang membantu klaim kemerdekaan Indonesia melalui radio internasional sehingga kemerdekaannya terdengar oleh masyarakat dunia.

Dukungan Indonesia atas Palestina terlihat dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah berdirinya kantor Kedutaan Besar Palestina pada tahun 1991 di Jakarta, dan menolak secara tegas hubungan diplomatik dengan Israel.

Baca Juga: Penunjukan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20 dan Penolakan terhadap Israel: Sebuah Paradoks

Jika kita melihat ke belakang, terdapat beberapa momen sejarah yang menyatakan dengan tegas penolakan untuk bertemu dengan Israel dalam berbagai laga. Misalnya saja bagaimana Indonesia menolak pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Israel pada Piala Dunia 1958 di Swedia. Secara gamblang Soekarno menyatakan keberatannya dalam sebuah pernyataan kala itu,

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Ujarnya.

Dalam beberapa alasan, jika pertandingan antara Indonesia dan Israel dilangsungkan, maka Indonesia berdiri di atas pengakuan terhadap “Israel”. Akibatnya Indonesia harus rela melepaskan kesempatannya untuk menjadi bagian utama Piala Dunia kala itu.

Baca Juga: Teknologi VAR di Piala Dunia Qatar 2022 dan Kaitannya terhadap AI

Empat tahun kemudian, dalam pagelaran bergengsi Asian Games ke-4 pada tahun 1962 dimana Indonesia menjadi tuan rumah, Indonesia menolak kehadiran dan keikutsertaan Israel dengan dalih tidak adanya hubungan diplomatik dengan Israel dan sebagai bentuk perlawanan aktif terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh Israel.

Nyatanya, amanat konstitusi menjadi alasan terbesar bagaimana Indonesia bersikap melawan kolonialisme, baik pada masa pasca-kemerdekaan, maupun reformasi.

Keputusan Final FIFA?

Menyusul pertemuan antara Presiden FIFA dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), secara resmi FIFA mengumumkan telah menghapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun ini, diikuti penjatuhan sanksi administrasi pada tahap selanjutnya.

Baca Juga: Dampak Artificial Intelligence (AI) di Bidang Ekonomi

Bagaimana Israel menanggapi hal tersebut? Mengutip dari CNN, Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni, mengaku kecewa dan menyayangkan bahwa permasalahan politik berhasil menyabotase ajang olahraga. Di lain sisi, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netahuyu juga menyatakan kekecewaannya terkait hal ini dan enggan berkomentar lebih jauh.

Keketuaan Piala Dunia U-20 secara resmi digantikan oleh Argentina. Lalu apa dampak ini bagi Indonesia? Beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah kecaman dunia internasional atas tindakan diskriminatif Indonesia yang mencampurkan permasalahan politik di ranah olahraga.

Lebih dari itu, Indonesia di gadang-gadang akan sulit untuk mengikuti berbagai agenda yang ada dalam kalender FIFA, digantung keanggotaannya, serta pencoretan Indonesia dari daftar tuan rumah pada Piala Dunia di tahun-tahun berikutnya.

Baca Juga: Teknologi AI (Artificial Intelligence) pada Aplikasi Discord dalam Mengatur Suara

Sedangkan dalam ranah politik, sentralnya isu Palestina-Israel tentunya akan mempengaruhi opini serta dukungan masyarakat, mengingat Pemilu yang akan diadakan di tahun 2024 mendatang. Sedangkan dalam konteks politik luar negerinya, hal ini akan menjadi boomerang bagi Indonesia terkait dengan inkonsistensi bangsa untuk mendukung upaya perdamaian Israel dan Palestina.

Mengutip wawancara Radityo Dharmaputra (pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga) dalam ReJogja, kesempatan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada dasarnya dapat menjadi modal diplomasi/ kartu utama yang dapat Indonesia keluarkan untuk bernegosiasi atas nama perdamaian Israel-Palestina.

Penulis: Dilla Aisyah Damayanti
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI