Karena Sange itu Alami, yang Salah adalah Tindakannya

Kalau sudah ngomongin sange, manusia seringkali berwajah dua. Malu-malu mau. Mau bilang iya tapi gak bisa. Mau bilang tidak tapi kok munafik ya. Akhirnya bingung, iya atau tidak, ujung-ujungnya mengangguk sembari menggelengkan kepala.

Bicara tentang hal ini, entah karena niat atau memang takdir, sejumlah artikel yang saya baca beberapa hari belakangan tak luput dari seputar tema-tema begituan. Begituan gimana maksudnya? Ya intinya gak sampek baca cerita dewasa lah.

Artikel-artikel yang saya baca itu berisikan kritik dan argumentasi yang kebanyakan membela pakaian wanita yang terbuka. Bahwa pakaian terbuka bukanlah penyebab mutlak pelecehan terjadi. Sebab dari banyak kasus pelecehan, korbannya adalah perempuan dengan baju tertutup, bahkan banyak dari mereka pun yang memakai hijab. Sehingga muncul pemahaman pada teman saya: bahwa busana bukanlah penjaga kehormatan wanita, tapi diri wanita itulah yang perlu menjaga kehormatannya sendiri.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Devide et Impera; Islam Tersekat, Indonesia Darurat

Kemudian pemahaman lain muncul di otak saya. Bahwa akar penyebab dari segala kekerasan dan diskriminasi terhadap wanita adalah sistem sosial yang cenderung patriarkis. Perempuan tak bisa berekspresi bebas di ruang-ruang publik karena perannya telah terdomestikkan dan sering mendapat tekanan baik itu berupa objektifikasi tubuh atau pelecehan fisik lainnya. Sehingga dalam urusan berbusana pun, perempuan sulit bisa merasakan keamanan dan kenyamanan.

Perempuan kerap diposisikan sebagai objek dan sasaran dalam ranah publik, bahkan pula sebagai fitnah. Pergunjingan tubuh, toxic-toxic ketika lewat di tempat umum, sampai klasifikasi standar kecantikan kini juga sudah dianggap sebagai pelecehan seksual. Tidak perlu sampai takut untuk dilecehkan, dalam urusan penampilan pun perempuan kerap khawatir dan tertekan apakah mereka sudah masuk dalam klasifikasi standar kecantikan yang berlaku atau tidak. Ya, objektifikasi kerap menghantui perempuan agar terus berpenampilan menarik dan mengikuti “pasar” selera masyarakat.

Begitulah pemahaman yang saya dapatkan setelah membaca beberapa artikel. Di antara beberapa artikel itu, ada seorang esais perempuan yang juga saya baca tulisannya. Dia lantang meneriakkan kebebasan berekspresi bagi kaum wanita, bahkan dalam tataran penampilan pun baginya perempuan harus bebas dan berhak sepenuhnya terhadap tubuhnya sendiri. Mau ia apakan dan mau ditunjukkan dengan model busana apapun, perempuan berhak melakukannya sebagai bentuk atas kemerdekaan tubuh tanpa harus mempedulikan standar kecantikan dan fitnah-fitnah penyebab pelecehan.

Baca juga: Terlalu Sering Menghayal? Beginilah Dampak Negatifnya

Sesekali saya memang setuju dengan pendapatnya. Bahkan sempat berharap semoga muncul lebih banyak lagi perempuan seperti dia. Cuman saya agak bimbang. Saya setuju karena atas dasar hasrat progresifitas pembebasan wanita, atau malah berharap muncul banyak wanita dengan pakaian terbuka dan muncul di tempat-tempat umum dengan dalih kebebasan berekspresi sehingga saya bisa lirik sana lirik sini menikmatinya, yang mana ini?

Ok, opini wanita bebas berekspresi atas tubuhnya sendiri mungkin bisa diterima atas dasar kesetaraan dan hak-hak asasi. Tapi tentang pakaian terbuka bukan penyebab munculnya pelecehan seksual saya rasa perlu dipikirkan kembali. Memang, banyak dari korban pelecehan yang malah berpakaian tertutup. Tapi siapa kira, bisa saja pelaku pelecehan sebelum-sebelumnya sudah tergoda lebih dahulu oleh mereka yang berpakaian terbuka sehingga ketika bertemu dengan wanita berpakian tertutup dan ada kesempatan berbuat kejahatan, beraksilah mereka yang melakukan pelecehan seksual.

Bukan maksud membela pelaku dan menyalahkan objek. Tapi suatu tindakan muncul, terutama tindak kejahatan, tentu tidak akan terlepas dari rantai sebab akibat yang terjadi di lapangan. Sehingga siapa yang paling patut untuk disalahkan tidak bisa serta-merta diputuskan. Mungkin jalan keluar yang aman tanpa berpihak pada pelaku dan objek adalah dengan mengkritik dan menyalahkan sistem sosial.

Corak hidup yang patriarkis, dari domestifikasi sampai objektifikasi, saya rasa memang kerap mengkucilkan peran perempuan dalam ranah publik. Dari situasi tersebut, memunculkan apa yang sering orang sebut sebagai konstruksi mental laki-laki dan perempuan oleh budaya-sosial. Perempuan akan cenderung pasif dan begitu pula sebaliknya bagi laki-laki cenderung akan lebih aktif. Sehingga dalam kasus pelecehan seksual pun akan memunculkan sebuah efek perseptif bahwa laki-laki lebih mudah sange-an daripada perempuan.

Baca juga: Resensi Buku: Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi

Kalau sudah begini, antara pelaku dan korban pelecehan ya sudah sama-sama terkena imbas konstruksi sosial dan budaya dong. Mau dikatakan laki-laki lebih sange-an dari perempuan itu ya juga hasil konstruksi. Mau dikatakan perempuan lemah dan tak berdaya ya lagi-lagi hasil konstruksi. Keduanya sudah sama-sama menjadi objek dengan sendirinya dalam seting kasus kebudayaan yang lebih luas.

Bagi beberapa orang, mungkin solusi yang akan ditawarkan adalah dengan membentuk latar budaya baru yang lebih aman dan nyaman bagi kedua belah gender terutama perempuan. Yang berasaskan kebebasan, keadilan, dan toleransi peran. Tanpa ada objektifikasi dan glorifikasi terhadap pihak tertentu. Sehingga tidak akan ada lagi gender yang menjadi tuan dan mana yang jadi pelayan.

Meski toh kelak mungkin akan gaduh di seputar berpakaian dan busana, terutama bagi laki-laki yang menemukan bentuk kebebasan wanita dalam wujud pakian terbuka, merasa tergoda dikit saya rasa itu wajar-wajar saja. Sebab kita tahu, efek “tergoda” atau yang dalam bahasa lainnya itu “sange” adalah sebuah fenomena alamiah sebagai bawaan sejak lahir. Lalu yang perlu kita hindari adalah ekspresi ke-sange-an yang seringkali berada di luar batas bahkan sampai melibatkan orang lain. Itulah yang dalam agama kita kenal sebagai “zina.

Zina harus dihindari karena zina adalah ekspresi dari ke-sange-an. Perkara apakah seseorang itu gampang sangean atau tidak, mungkin agama masih bisa mewajarinya sebab hal itu adalah hasrat alamiah. Tapi ketika seseorang kerap mengekspresikan ke-sange-annya dan bahkan mengganggu kehormatan orang lain, maka agama hadir sebagai pembatas atas tindakan objektifikasi yang telah dilakukan.

Pakaian terbuka atau tertutup adalah pilihan masing-masing tergantung komitmen keagamaan. Perkara akan sange ketika melihat yang terbuka atau tertutup pun itu adalah kewajaran sebagai sebuah hasrat alamiah. Tapi yang perlu diingat, adalah salah ketika kita mengekspresikan hasrat tersebut secara nyata. Sebab rasa itu tak pernah salah, yang salah adalah bentuk pengekspresiannya. Jadi, sange itu alami, yang salah adalah tindakannya.

Ozik Ole-olang (nama pena dari: M. Fakhruddin Al-Razi)
Pemuda asal Madura yang lahir di Lamongan. Sekarang sedang berdomisili di kota Malang.
Mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
IG: @ozikoleolang

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI