Ketika Zakat Tak Lagi Dianggap Ada

Zakat

Untuk apa sih sebetulnya kita hadir di dunia ini? Kita hidup di dunia itu sebenarnya untuk ngapain sih? Mungkinkah, Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan kita itu tidak punya maksud? Pisau diciptakan ada tujuannya? Ada gunanya? Ada fungsinya? Ada misinya? Ada. Untuk apa pisau diciptakan? Untuk memudahkan manusia memotong sayuran, mengupas buah, memotong daging. Bayangkan kalau tidak ada pisau, bagaimana kita mau memotong buah? Bagaimana kita mau memotong daging?

Pasti penciptaan itu ada tujuannya. Dan untuk apa kita berada di dunia, pasti ada maksudnya. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan sesuatu itu tidak ada maksudnya, maka Allah menjadikan manusia hidup di dunia itu ada misinya, ada tujuan besarnya. Agar apa? Agar manusia memahami bahwa mereka diuji. Apa kata Allah?

Dialah Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji manusia, mana diantara mereka yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)

Bacaan Lainnya

Bukan yang paling banyak amalnya, tapi terbaik amalnya. Oleh karena itu, sebelum ayat itu turun, Allah juga menjelaskan untuk apa manusia diciptakan.

Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat: 56)

Tapi sayang seribu sayang, ternyata apa? Umat Islam, ketika ada kata-kata ibadah, yang tergambar pada otaknya, pada fikirannya apa? Sholat, puasa, naik haji. Itu semua belum sempurna. Padahal, yang namanya ibadah dalam makna luas artinya adalah at-toah yang berarti “ketaatan”. (Ustadz Fatih).

Baca juga: Zakat sebagai Solusi Krisis Kemiskinan

Misalnya, ketaatan pada saat membayar zakat. Ketika membayar zakat fitrah niatnya sudah baik, saking baiknya, zakat fitrah dibayar dengan berat sebesar 4,5 kg. Bisakah itu dikatakan taat? Tidak. Kenapa? Meskipun niatnya baik, tapi caranya tidak baik. Karena amal sholih itu ada 2 syaratnya. Niatnya baik, caranya benar. Sholat subuh niatnya ikhlas lillahi ta’ala, tapi dilakukan 12 rokaat. Apakah diterima? Tidak.

Artinya apa? Artinya, Allah menjadikan kita taat dalam sholat. Tapi, dalam zakat juga harus taat. Kenapa? Karena ternyata banyak orang yang sudah bekerja dan memiliki gaji, wajib membayar zakat profesi. Zakat tak hanya disalurkan ketika akhir bulan Ramadhan (zakat fitrah) saja. Tapi, zakat juga bisa disalurkan ketika mereka memiliki harta (zakat mal) dan memiliki profesi (zakat profesi).

Bagi mereka yang memiliki gaji, wajib membayar zakat profesi. Mereka yang tidak bekerja tapi punya harta misalnya emas atau properti lain, wajib membayar zakat mal. Berzakat sebaiknya rutin dilakukan, apalagi bagi mereka yang menerima gaji. Setiap bulan mendapat gaji, ada baiknya setiap bulan berzakat (zakat profesi). Jadikanlah zakat sebagai habit. Banyak negara maju karena masyarakatnya gemar bersedekah. (Ratnasari, 2017)

Karena ternyata, banyak pengusaha yang justru hidupnya berkah, tapi tidak sedikit pengusaha yang justru hancur berkeping-keping, dan bahkan menjadi sumber bahan bakar api neraka, di dunia dan di akhirat stress.

Baca juga: Jemput Berkah dengan Berzakat

Di zaman ini, tak sedikit yang menganggap bahwa zakat profesi itu tak penting. Karena merasa bahwa zakat fitrah yang dibayar saat akhir Ramadhan itu sudah termasuk zakat. Padahal, masih banyak lagi zakat yang harus ditunaikan untuk orang-orang yang sudah bekerja dan memiliki profesi. Tapi sayang seribu sayang, tak sedikit yang sadar akan kewajiban itu.

Berarti, zakat sudah tak lagi dianggap ada. Karena saking sibuknya manusia dengan pekerjaan dan aktivitas, sedekah dengan membayar zakat pun diabaikan. Padahal zakat dapat membawa kita kepada kebahagiaan dan keberkahan. Berkah itu adalah ziyadatul khair, bertambahnya kebaikan.

Ingatlah hadits Rasulullah Shalallahu‘alaihi wassalam: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia dimintai pertanggungjawaban tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya untuk apa diamalkan, tentang tubuhnya untuk apa digunakan, dan tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)

Tim Penulis:

1. Jalimah Zulfah Latuconsina
Mahasiswa Ahwal Al Syakhshiyah, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

3. Istiqomah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI