Mahalnya Demokrasi

Malangnya Kota Malang, kata-kata itulah yang sekarang tepat disematkan kepada Kota Malang, Jawa Timur. 41 dari 45 orang anggota DPRD terjerat kasus korupsi menyusul Walikota Malang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka terlebih dahulu. Ke-41 anggota DPRD tersebut diduga menerima suap sejumlah Rp 12 juta hingga Rp 15 juta terkait pengesahan RAPBD Kota Malang 2015. Kasus tersebut menjadi kasus korupsi berjamaah terbesar di Jawa Timur yang mengakibatkan lumpuhnya fungsi legislatif dan eksekutif di Kota Malang.

Mengapa hal seperti ini semakin marak adanya? Apakah seperti ini wajah demokrasi Indonesia? Menurut penulis, lingkaran rantai korupsi Indonesia tidak akan pernah putus jika demokrasi Indonesia masih berada dalam sistem “liberal” seperti saat ini. Liberal yang dalam arti tanpa gagasan dan pemikiran matang. Saat suara seorang profesor dan suara seorang “yang karena dibayar” dianggap sama. Selain faktor itu, demokrasi di Indonesia masih terkendala dengan mahalnya dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon anggota legislatif.

Direktur Prajna Research Indonesia, Sofyan Herbowo, mengatakan biaya yang harus disiapkan seorang calon legislatif untuk menghadapi pemilihan legislatif adalah sekira Rp 1 miliar – 2 miliar untuk maju menjadi calon anggota DPR RI. Sekira Rp 500 juta – Rp 1 Miliar untuk calon anggota DPRD Provinsi dan untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota Rp 250 juta – Rp 300 juta. Biaya tersebut hanya untuk keperluan kampanye atau branding saja.

Bacaan Lainnya

Angka tersebut bisa jadi lebih tinggi ataupun lebih rendah, tergantung popularitas calon yang maju. Popularitas atau branding memang memiliki pengaruh yang sangat penting. Orang dengan intelegensi yang tinggi tetapi kurang populer, bisa kalah dalam pileg. Begitu juga sebaliknya, orang dengan intelegensi “pas-pasan” namun dengan popularitas yang tinggi, bisa dengan mudah terpilih. Oleh karena itu, seorang calon anggota legislatif harus meningkatkan kepopularitasannya, berarti sebanding dengan meningkatnya dana kampanye yang harus dikeluarkan. Para calon legislator berbondong-bondong meminjam uang untuk lancarnya proses kampanye dan “membeli” suara rakyat. Transaksi ratusan juta, bahkan milyaran pun terjadi.

Tak hanya masalah dana kampanye, mahar politik merupakan isu yang mulai bermunculan pada saat seperti ini. Banyak partai politik yang dikabarkan meminta mahar kepada kader-kadernya sebelum proses pencalonan. Mahar tersebut digunakan sebagai dana penyokong sehingga roda-roda rumah tangga mereka dapat berjalan dengan sempurna. Uang kampanye dan mahar politik semakin menambah “mahal” proses demokrasi kita. Banyak politisi yang hampir setiap bulan menyetorkan uang mereka untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga partai politik, sesuai dengan apa yang mereka setujui pada awal proses pemilihan. Partai politik pengusung seakan tutup mulut melihat kasus seperti ini, yang penting kebutuhan rumah tangga mereka terpenuhi. Demokrasi yang “mahal” ini adalah salah satu faktor yang memicu meningkatnya tindak pidana korupsi di Indonesia.

Akhirnya ketika terpilih dan duduk di kursi legislatif bukan rakyat yang menjadi prioritas utama, tetapi membayar hutang-hutang kampanyelah yang diutamakan. Bukan hanya satu atau dua orang anggota saja yang terlibat suap, tetapi hampir seluruh anggota legislatif yang terlibat di dalamnya. Hal ini membuktikan bahwa politik uang memang sudah menjadi hal yang lumrah dalam demokrasi kita.

Perubahan pola pikir masyarakat tentang politik uang merupakan salah satu cara untuk mengurangi kasus korupsi. Mengapa demikian? Karena masyarakatlah yang harusnya memilih pemegang kekuasaan berdasarkan integritas dan kapabilitas mereka, bukan hanya karena kepopularitasannya saja. Sehingga, negeri ini akan mendapatkan pemimpin yang memiliki prioritas pada kepentingan rakyat, bukan lagi kepentingan kantong sendiri. Oleh karena itu, seluruh komponen masyarakat harus berperan aktif untuk memutus rantai korupsi di negeri ini. Uang bukanlah alat peraup suara, menjadi pemilih yang cerdas dan mendukung para pemimpin tanpa pamrih, akan membuat mereka sadar bahwa ada rakyat di belakang yang selalu mendukung. 

Mengoptimalkan Politik Mahal
Bukan hanya banner-banner atau pamflet -pamflet sebagai alat kampanye utama, namun pada zaman modern seperti sekarang ini sosial media atau media-media online terbukti lebih dapat menjadi senjata ampuh untuk meraup suara. Tentunya masyarakat diharuskan untuk melek teknologi, agar penggunaan sosial media online dapat menjadi senjata ampuh juga bagi masyarakat dalam memilah dan memilih informasi yang benar. Dengan membentuk masyarakat yang berpola pikir cerdas dapat menciptakan suatu kampanye yang efektif ini, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi biaya yang para calon legislator keluarkan untuk dana kampanye. Dan diharapkan akan berkurangnya potensi korupsi pada badan legislatif.

Selain itu masyarakat harus mulai terbuka dengan hal-hal yang baru, mengetahui calon-calon wakil mereka di DPR maupun DPRD sejak awal merupakan opsi yang tepat, mengetahui latar belakang dan kapabilitas para calon legislatif dapat mempengaruhi kualitas pilihan kita. Sehingga kita tidak salah pilih para calon legislatif dengan dana kampanye atau popularitas yang besar namun tidak sesuai dengan kapabilitas mereka.

Pendidikan tentang politik praktis sejak dini juga merupakan suatu opsi untuk mencetak masyarakat yang cerdas. Pemimpin yang baik didukung oleh masyarakat yang baik, pemimpin yang cerdas, dipilih oleh pemilih yang cerdas pula. Generasi-generasi muda saat ini akan menjadi penerus para pemimpin bangsa di masa depan, sehingga akan menjadi pemilih yang bijaksana dan menjadi calon pemimpin yang bijaksana pula.

MOH SULTHONY YAHYA
Mahasiswa Sampoerna University

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI