Mengais Sisa-sisa Kemanusiaan

Mengais Sisa-sisa Kemanusiaan

Lekat sekali tampaknya raut wajah manusia-manusia itu dengan segala luapan amarah, tangis, pilu hingga nestapa. Agaknya kita sadar bahwa kini bukan hanya gelombang lautan yang mampu menerjang dan menenggelamkan lumat-lumat segala yang ada di depan, pun Manusia.

Manusia, dari masa tragedi bahtera Nuh hingga kini masih menjadi suatu figur paling sok kuasa di dunia yang serba fana. Oh manusia, sejak berdampingan hidup dengan Diprotodon, sang marsupial terbesar yang pernah ada, tidak pernah kehilangan barang sedetik egonya yang luar biasa. Terus menang, terus mengejar, terus taklukkan segala upaya demi hidup di garis teratas rantai kehidupan.

Dunia sudah semakin luas, jutaan ragam manusia tersebar di berbagai belahan wilayah. Bumi sudah sesak, tapi apa daya? Toh manusia tidak lagi peduli pada hakikatnya. Yang terpikirkan hanyalah ego, ego, dan ego belaka.

Bacaan Lainnya

Penduduk langit menatap nanar,              

“Benarlah yang kuucapkan pada Tuhan, rusak sudah yang Ia ciptakan.” sembari berdzikir mengucap Esa pada yang Maha Besar.

Umpama buih di lautan, manusia mencipta dosa sekian banyaknya,                          

“Hei! Aku ini makhluk paling sempurna yang pernah ada! Diciptakan Gusti Agung dengan segala ragam rupa! Kau bandingkan dengan apa saja di dunia, niscaya akan tertunduk pada akalku yang luar biasa!”      

Melengos malaikat mendengarnya, “Tidakkah manusia-manusia ini berkaca? Betapa gelap dan kosong hatinya, menyombongkan diri sementara Sang Ilahi tinggal memetikkan jari, sepersekian detik kemudian mereka mati?”

Binasa, benar-benar binasa penduduk bumi. Kemana perginya jiwa-jiwa kemanusiaan yang tertanam di dalam diri? Menguap bersama panasnya mentari di ubun-ubun tengah hari? Melebur bersama kerumunan manusia yang tidak pernah tahu diri?

“Oh Tuhan, Agungku pemegang Alam, ampuni kami atas jiwa yang mendongak penuh minta, sedang nama-Mu tak pernah kami meriba. Dunia sudah kami genggam Tuanku yang Agung, dengan sekali usapan saja aku mampu menjangkau belahan bumi paling ujung. Lihat betapa kecemerlangan akalku menjadi warisan paling berharga bagi generasi penerus bumi.”

Perih, bagai denyut nadi dibalik luka memar. Bahkan dedaunan kering merasa enggan menjatuhkan diri di epidermi kulit halus manusia yang katanya paling berbudi. Nada-nada kesombongan menjadi lantunan paling nyaring seantero penduduk bumi, memekakkan telinga para penduduk langit yang tak tahu mengucap kata selain dzikir atas Agungnya sang Ilahi.

Teknologi, buah yang dipetik dari akal manusia. Hebat sekali rupanya makhluk Tuhan satu ini. Mampu ia ciptakan dunia semakin berevolusi. Mampu ia menjangkau seluruh semesta berbekal pertanyaan terhadap segala sesuatu yang ada. Layaknya gelombang yang melumat segala, begitulah otak manusia bekerja.

Bukan, tentu bukan itu saja yang hendak aku sampaikan sebagai anak manusia. Lantas aku pun berbekal suatu tanya, 

“Kemana, manusia?”

Ya, kau tidak salah membaca,

“Kemana, manusia?”

Aku seorang gadis belia 20 tahun, belum lepas dari kerangkeng orangtua, digembok erat-erat, katanya. Agar aku mampu tumbuh menjadi perempuan tak tergerus nilai busuk manusia lainnya, katanya. Agar aku aman dari sentuhan tangan kotor manusia penuh licik, katanya.

Dikuncinya aku, disembunyikannya dalam-dalam, agar tak terlihat oleh mata manusia penuh aib, katanya.

Lantas wajar bila aku bertanya, “Kemana, manusia?”

Kemana, manusia? Yang dulu aku pandang sebagai makhluk sosial paling lembut dengan mata penuh binar.

Kemana, manusia? Yang dulu di dongeng pengantar tidur aku dengar sebagai hamba paling kuat imannya.

Aku dikerangkeng.

Tuhan, Teman, bisakah kalian menolongku? Aku dikurung di dalam dunia yang aku enggan tinggal di dalamnya, bisakah kalian menolongku? Aku ketakutan, tolong aku!

Sibuk aku mencari titik terang, dimana?

Dimana bisa kulihat manusia seperti dongeng ibu saat aku kecil dulu? Ibu, apa ibu berbohong? Tega nian ibu berdusta pada gadis kecil ini? Anakmu hanya ingin melihat dunia dengan segala warna indah, seperti kemilau emas senja di atap rumah penduduk desa yang ramah. Layaknya dongeng yang kau ceritakan dahulu, kemanakah itu semua pergi ibu?

Mengapa kini mudah sekali bagiku menemukan berita anak manusia yang direnggut perawannya oleh ayah kandungnya?

Mengapa murah sekali bagiku menemukan bayi-bayi terbuang di dingin malam tanpa orang tua disampingnya?

Apa tidak ada lagi Manusia itu bu? Manusia seperti di dongeng-dongengmu? Kemana mereka?

Ibu, Tidakkah kau lihat? meronta jiwa anakmu ini mencari sudut-sudut kebaikan seantero jagad raya bumi!

Aku dicurangi oleh harapan, Ibu. Segala impian yang tertanam di otakku sejak dulu, kau tidurkan aku dengan mimpi-mimpi indah. Dengan tidak tahu dirinya aku terbangun dengan senyum, penuh siap menyambut hari, bertemu dengan manusia-manusia yang aku pandang “baik hati”.

Ibu, tidakkah lebih baik bagimu untuk memberitahu aku? Bahwa dunia ini bu, dunia yang kau ciptakan di memoriku dengan kupu-kupu yang berterbangan, kicauan burung yang menenangkan, hanyalah dunia yang tak pernah puas berperang, dunia yang tak pernah puas menciptakan lautan darah, dunia yang seakan tak kenal lelah meneriakkan ego masing-masing.

Ibu, kemana manusia? Sibuk sekali ibu, tidakkah kau lihat betapa kusutnya anak gadismu ini mencari-cari? Kemana manusia dengan tabiat seperti yang kau ceritakan di dalam dongeng-dongengmu?

Ibu, sibuk sekali aku Bu. Sibuk sekali aku mengais sisa-sisa kemanusiaan. Di sudut mana lagi harus aku gali Bu? Adakah harapan bagiku untuk menemukan sisa-sisa kemanusiaan itu? Jangan beri aku senyum palsumu Bu, aku butuh tamparan! Tampar aku agar aku terbangun dari realita yang harus aku hadapi bu.

Jangan terlalu lama kau biarkan aku terbuai dalam dongeng dustamu. Jangan kau biarkan aku menjadi pecundang, Bu.

Perih sekali, mengais bak pemulung anakmu ini Bu. Semrawut aku dibuatnya! lebam-lebam badanku Bu. Namun tak kunjung kutemukan jawaban dari pertanyaanku,

“Kemana manusia?”

Oleh: Muslihah Faradila
Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Editor: Sharfina Alya Dianti

Baca juga:
Keindahan Sastra Hanya Bisa Dinikmati oleh Penikmat Sastra Sejati
Kampanye Perempuan Melalui Sastra
Modernisasi dan Perpaduan Budaya dalam Adat Pernikahan Etnis Pesisir

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI