Menggugah Paradigma Negara: Cadar adalah Radikal

Apakah cadar merupakan pakaian yang identik dengan paham radikal? Pertanyaan ini sengaja penulis ajukan di muka tulisan, selain menjadi awal dan substansi dari tulisan ini, di sisi lain untuk me-clearkan kembali konsep tentang cadar itu sendiri.

Beberapa hari terakhir lalu, negara mencoba menciptakan sebuah paradigma baru tentang radikal, yang mana radikal bukan lagi sesuatu yang berkaitan dengan cara berfikir akan tetapi bergeser ke ranah penampilan, yaitu perempuan Islam yang mengenakan cadar dituduh sebagai orang yang radikal atau terpapar paham radikal.

Maka dengan itu, negara mengeluarkan kebijakan pelarangan bagi perempuan Islam yang bekerja di instansi pemerintah untuk  mengenakan cadar. Pelarangan pengunaan cadar di lingkup istansi pemerintah berangkat dari pemahaman subyektif negara yang menganggap bahwa cadar pakaian penutup muka yang biasa dipakai oleh perempuan Islam untuk menutupi auratnya merupakan cara atau gaya penampilan yang digunakan oleh orang atau kelompok berfaham radikal, pemahaman ini merujuk pada beberapa peristiwa dehumanisasi yang terjadi di Indonesia dan perbuatan itu dilakukan oleh kelompok radikal yang dinamai terorisme. Dimana pada saat aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh martir-martir diidentifikasi menggunakan cadar, maka negara berkesimpulan bahwa cadar adalah pakain terorisme, atau pakaian yang digunakan oleh orang atau kelompok yang terpapar paham radikal.

Untuk memperkuat alasan di atas, alasan lain yang digunakan negara untuk memperkuat alasan sebelumnya, adalah demi menjaga keamanan dan kenyamanan serta stabilitas negara dari ancaman faham radikal dan terorisme. Alasan ini kerapkali digunakan negara untuk melumpuhkan setiap gerakan oposisi terhadap negara yang dapat mengancam posisi penguasa yang sedang berkuasa menguasi negara. Jadi alasan-alasan yang tersebut di atas merupakan alasan klasik dengan mekambinghitamkan pakaian cadar yang luhur untuk mengelabuhi rakyat demi melanggengkan kekuasaan.

Yang dilakukan negara saat ini sama dengan gambaran ilustrasi cerita yang digambarkan oleh Noam Comsky (seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts) dalam bukunya berjudul ”Pirates and Emperors”. berikut sekilas ilustrasi tersebut:

“Santo Agustinus bercerita tentang seorang bajak laut yang ditangkap oleh Alexander Agung. Sang Kaisar pun mengajukan pertanyaan, “kenapa kamu menganggu keamanan di perairan ini? Bajak laut yang marah membalas pertanyaan itu, dengan pertanyaan serupa, “lalu, kenapa kamu justru menganggu keamanan di seluruh dunia. Hanya karena menyerang dengan kapal kecil, saya disebut pencuri sementara kamu yang mengobarkan perang dengan armada laut yang hebat, disebut sebagai Kaisar”.

Ilustrasi cerita bajak laut dan sang kaisar yang diangkat oleh Noam Comsky dalam bukunya itu, menggambarkan secara tepat mengenai kempanye perang melawan terorisme yang digencarkan negara-negara di dunia salah satunya Indonesia. Dengan dalih menjaga keamanan dan perdamaian. Negara Indonesia justru memimpin pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Catatan ini menjadi bukti yang terang benderang mengenai kejahatan nasional terselebung yang telah merenggut korban jiwa penduduk tak bersalah di berbagai wilayah Indonesia. Dan catatan ini membuat kita kembali merenung siapa sesungguhnya teroris atau dalang teroris yang membuat hidup kita tak tenang belakangan ini.

Paradigma cadar adalah radikal yang diciptakan negara membuat posisi perempuan Islam yang bercadar lagi-lagi disudutkan, setelah sebelumnya muncul paradigma yang sama yang diciptakan institusi pendidikan menengah dan institusi pendidikan tinggi, tentu paradigma cadar adalah radikal pada umunya telah melukai hati umat Islam dan hati perempuan Islam yang sudah mengenakan cadar, khusunya. Karena “cadar adalah radikal” telah mencederai keyakinan umat Islam yang memiliki kepercayaan bahwa cadar merupakan pakaian baik yang telah dicontohkan oleh istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan cadar merupakan bagian dari syariat Islam yang lahir dari Ijtihad para ulama fiqih yang termasyhur, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Meskipun dari keempat ulama tersebut memiliki perbedaan pendapat soal hukum menggunakan cadar, Imam Hanafi dan Imam Maliki misalnya memberikan pendapat hukum bahwa cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) sedangkan Imam Syafii dan Imam Hanbali memiliki pendapat hukum yang berbeda bahwa cadar hukumnya wajib. Akan tetapi keempat ulama tersebut tidak bersepakat mengatakan bahwa hukum menggunakan cadar adalah haram, artinya (tidak boleh dipakai oleh perempuan Islam).

Tapi negara dengan arogansi melalui pandangan subyektif yang penuh dengan bias kepentingan politik di dalamnya melarang pengunaan cadar, tanpa ada alasan yang yang memiliki kepastian hukum, karena kebijakan ini dinilai telah bertentangan dengan falsafah negara Indonesia yakni pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan melanggar beberapa Pasal dalam UUD 1945.

Dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wiliyah negara dan meninggalkan serta berhak kembali. Kemudian Pasal 28 E ayat (2) menyebutkan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, sementara itu, dalam Pasal 28 I ayat (1) juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Dan terakhir dalam Pasal 29 ayat (2) menjelaskan bahwa Negara menjamin kemudahan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Cadar Tuhan

Cadar adalah pakain penutup kepala atau muka bagi peremupan Islam dalam bahasa syar’i disebut Niqab. Dasar hukum cadar terdapat dalam sumber hukum islam yakni Al-Quran surat An-nur ayat 31 yang artinya “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya”.

Dan dalam surat Al-ahzab ayat 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Penjelasan dari kedua surat ini melahirkan perbedaan penafsiran tentang niqab atau cadar, di kalangan ulama fiqih ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan ada yang mengatakan hukumnya wajib. Artinya penggunaan cadar bagi perempuan Islam bila mengikuti pandangan ulama yang mewajibkan cadar maka sudah menjadi kaharusan untuk menggunakannya, sedangkan yang berpandangan sunnah, perempuan Islam tidak dipermasalahkan bila tidak menggunakan cadar, yang terpenting apa yang menjadi aurat perempuan selain muka dan kedua telapak tangan wajib ditutupi dengan balutan busana muslim yang baik dan indah. Jadi perintah cadar bukan produk manusia melainkan dari Allah langsung.

Orientasi dari penggunaan cadar ada dua, yaitu di satu sisi dalam rangka meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala di sisi lain sebagai bentuk pengamalan atas sunnah Nabi. Sedangkan fungsi cadar adalah sebagai identitas, artinya cadar sebagai tanda pengenal bagi umat penganut agama lain untuk mengetahui bahwa perempuan yang menggunakan cadar adalah perempuan Islam. Dan bukan menandakan radikal

Dengan demikian, pelarangan pengunaan hijab di lingkup istansi pemerintah lantaran berpedoman pada perempuan martir bom bunuh diri yang terpapar paham radikal yang kebetulan mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian perempuan Islam biasanya, yakni bercadar dan berbusana muslim tidak patut untuk dilaksanakan, dan kebijakan seperti itu harus ditarik kembali oleh negara.

Seyogyanya negara hadir untuk melindungi dan menjamin setiap hak warga negara dengan baik, salah satunya menjamin hak dalam beragama dan menjalankan keyakinannya, cadar sebagai bentuk ekspresi keagamaan perempuan Islam dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam harus dilindungi dan dihargai pula. Lalu negara tidak boleh dengan sewenang-wenang demi menjalankan niat baik untuk memberantas faham radikal dan terorisme di negeri ini menerobos undang-undang yang ada, karena perbuatan itu telah melanggar prinsip negara Indonesia sebagai negara hukum.

Soeratman, S.H.

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI