Napas Baru DPR: Jangan Ingkari Rakyat

Dewan perwakilan rakyat akhirnya telah sampai pada pucuk harapan, setelah kontestasi demokrasi pada Juni lalu, rakyat sebagai pemberi jalan untuk sampai di lantik hari ini mempunyai andil besar dan wajib di penuhi segala fungsi jembatan, yakni sebagai jalan menuju suatu keinginan. Janji politik dan harapan menampung aspirasi sangatlah manis menyangkut di hati. Pemungutan suara seperti berlomba memungut emas untuk di jadikan investasi. Tapi semua sepakat bahwa DPR sudah berjanji pada rakyat, bahkan kepada tuhan sekali pun.

Resmi di lantik pada selasa 1 Oktober 2019 anggota terpilih periode 2019- 2024 di gedung paripurna. Puan Maharani yang jadi nahkoda baru beserta 575 anggota di sumpah janji di baiat di pandu oleh ketua MA,dan memegang teguh tugas dan wewenang sembari kitab suci keyakinan masing-masing. Ucapan semua anggota terpilih yang tulus dan khidmat kita dengar dari acara itu,tanggung jawab dan perjuangan menjadi anggota DPR bukan hanya label sebagai petinggi, tapi nurani rakyat sangat menjadi harapan besarnya. Sumpah bukan hanya tentang ungkapan saja tetapi ucapan resmi dengan bersaksi kepada tuhan, segala konsekuensi dari sumpah wajib di penuhi dan tidak pernah bisa ingkar dari pada janji.

Berbagai catatan membekas di tubuh legislatif sebagai lembaga tertinggi., media tanah air menyoroti polemik belakangan ini tentang kebijakan dan keputusannya. Akhir periode jabatan, kontroversi RUU KUHP dan revisi UU KPK, menjadikan kado buruk masa akhir jabatannya. Mahasiswa dan civitas lainnya menyampaikan aspirasi tentang kebijakan yang dinilai berat sebelah. ambisi untuk kepentingan pribadi dan Tergesa-gesa menetapkan kebijakan rasanya lucu dan tidak selaras dengan rakyat yang menjadi kiblat mereka. Sebuah catatan buruk dan semakin membuat rakyat , kini ragu apa yang menjadi kinerja 5 tahun ini.

Bacaan Lainnya

Waktu lalu, barisan beralmamater dan civitas lainnya menyuarakan aspirasi di gedung DPR RI, maupun di daerah lainnya. Jelas, ada yang tidak bersahaja ketika hal tersebut terjadi. Kini sampah dalam negara coba di singkirkan oleh akademisi, teriakan ketidakpercayaan hingga menelan luka bahkan nyawa. Ironi demokrasi yang tidak sepantasnya di barengi dengan noda luka dan darah. Lembaga legislatif yang lahir karena demokrasi, suara demokrasi rasanya tutup telinga ketika ada aspirasi bahkan represif terhadap penyampaian aspirasi.

Kedaulatan dan kesejahteraan rakyat sangat di inginkan, RUU pertanahan sebagai bukti bahwa rakyat harus menelan ludah ketika pasal tersebut menjerat tentang KA dan penguasaan tanah oleh negara. Sebagai penampung aspirasi rakyat, sangatlah keliru apabila tanah adat tanah ulayat di berikan kepada konglomerat jika tidak dibuktikan dengan surat suara. Memfasilitasi dan pelayanan juga menjadi hal penting saat ini, BPJS yang memudahkan untuk berobat mengharuskan untuk mengeluarkan iuran bagi pengguna, rakyat enggan mengikuti dan rasanya keburu mati jika menunggu hal itu. BPJS seperti barang mubazir dan tidak berguna bagi kemaslahatan.

Penundaan tentang pengesahan RUU KUHP pada sidang paripurna DPR RI, jelas harus menampung keresahan khalayak tapi masih menjadi tugas periode selanjutnya apa sulitnya menghapus sehingga menyudahi polemik yang terjadi. Urgensi tentang RUU dan Tergesa-gesanya dalam menerbitkan, menyebabkan polemik di dalamnya. RUU yang di kaji 4 tahun lalu rasanya di kaji 4 hari lalu, kelogisan dan substansi dari pada kebijakan membuat DPR hanya mementingkan keegoisan dan kehendak masing-masing.

Kepastian dan tidak adanya hegemoni terhadap khalayak, konflik yang terjadi saat ini sebagai bukti ada suatu sistem yang salah dalam birokrasi, negara bukan sebagai aset tempat memperkaya diri, dan wakil rakyat bukan tempat pemesanan kehendak para konglomerat, “api tidak akan pernah bisa menyala tanpa ada gesekan dan percikan” artinya konflik di ciptakan. Bisa kita lihat sekarang konflik yang terjadi seakan di tata rapi bahkan di reduksi sedemikian rupa dalam kurun waktu yang singkat ini. Hegemoni membantu dan menanami dominasi kapitalisme sebagai kepemimpinan, budaya yang di laksanakan oleh kelas berkuasa.

Warisan periode sebelumnya revisi UU KPK, ibarat memberikan pelampung dan selamat dari tenggelam di tengah lautan. Menyelamatkan diri mungkin bisa kita simpulkan seperti itu. Berpikir positif saja! Periode ini mudah-mudahan tidak lagi jadi ladang mega proyek praktek KKN, korupsi E-KTP yang menimpa Setya Novanto dan drama pura-puranya merendahkan marwah DPR. Jual beli jabatan Romahurmuzzy, hingga suap impor bawang putih. Jangan sampai rakyat menangis haru dan sesal karena perbuatan seperti itu. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi selama periode 2014-2019, 22 di antaranya adalah anggota DPR RI.

Jalan jalan ke penjuru negeri, dengan dalih menambah wawasan dan sistem kenegaraan adalah hal yang sangat bagus. Rakyat hanya diam di rumah dan ladang mereka masing-masing, bahkan di trotoar menjajakan es, di tengah terik matahari. Harapan membawa inspirasi dan di bagi ke semua elemen nyawa di negeri ini ternyata belum jelas di rasakan kaum priyayi.

Kita sama sama menaruh harap, DPR tidak hanya pajangan negara sebagai warisan reformasi, menjunjung tinggi keterbukaan dan jangan ada kewenangan yang menyalahi aturan. Asumsi liar menjadi bias dalam nalar rakyat. Karena drama apik orang berkelas. Rakyat hanya bisa memilih, dan kini pilihannya tidak munafik dengan segala ucap dan janji. Merangkul dan memelihara pola kemasyarakatan perlu menjadi tugas pokok DPR. Jarak dengan rakyat bukan jauhnya hingga langit, tapi masih sama dalam bumi pertiwi . “ pikirkan nurani rakyat dalam semua kebijakan “ ( Ir Soekarno).

Azis Meinudin
Mahasiswa Sosiologi Universitas Mataram

Editor : Fathin Robbani Sukmana

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI