Optimalisasi Penanganan Stres pada Anak saat Pandemi

Stress anak
Stress anak

Penambahan kasus baru virus Corona tidak bisa dipandang sebelah mata. Pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat tak terkecuali di lingkungan keluarga. Kondisi ini mengharuskan semua aktivitas dilakukan di rumah termasuk sekolah dan yang lainnya.

Walaupun beberapa dari mereka mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di internet, ruang lingkup anak-anak tetap menjadi sangat terbatas. Sebuah ulasan dalam Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry menyatakan anak-anak dan remaja memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kesepian, depresi, dan kecemasan selama pandemi (Cahyono). Sulit bagi mereka untuk bertemu dan bermain secara langsung dengan teman sebayanya sehingga lama-kelamaan perasaan bosan dan lelah karena aktivitas monoton yang hanya dilakukan di rumah, secara tidak sadar, dapat menyebabkan stress dan depresi pada anak.

Faktor Penyebab Stress Anak

Tuntutan tugas yang diberikan dari sekolah menjadi faktor pendukung stress yang dialami anak. Dengan sistem pelajaran jarak jauh dan serba digital, anak harus segera beradaptasi atas segala hal yang terjadi seperti menggunakan aplikasi Google Classroom atau Zoom. Tidak jarang tugas yang diberikan dari sekolah cukup memberatkan ditambah harus dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat.

Bacaan Lainnya

Faktor lain adalah beban yang didapat dari lingkungan keluarga anak sendiri. Orang tua yang gaptek atau gagap teknologi cenderung beranggapan anak hanya bermain dengan gawainya seharian dan memarahi si anak karena tidak membantu dalam pekerjaan rumah. Diperlukan penjelasan dari anak atau pihak sekolah agar kesalahpahaman ini tidak terjadi.

Orang tua juga harus memberikan pengertian dan rajin menanyakan keadaan anak karena kesehatan mental sulit untuk dideteksi apalagi jika anak adalah tipe yang sulit terbuka mengenai apa yang dia rasakan.Berdasarkan pantauan Kemenkes,15% anak merasa tidak aman, 10% merasa khawatir tentang penghasilan orang tua, dan kekurangan makan, 11% anak mengalami kekerasan fisik, dan 63% anak mengalami kekerasan verbal (Atalya Puspa, 2020). Tidak seperti kesehatan fisik, kesehatan mental sulit untuk dilihat.

Tanda-Tanda Anak Mengalami Stress

Beberapa perubahan kondisi jiwa saat pandemi yang umumnya dialami oleh anak usia remaja antara lain mudah marah, sulit tidur, dan kehilangan motivasi. Gejala kecemasan ini jika dibiarkan dapat menimbulkan ketidakseimbangan di otak sehingga timbul gejala fisik seperti sakit kepala, pusing, berkeringat banyak, jantung berdebar-debar, dan sakit pada bagian perut.

Hal lain yang dapat dirasakan adalah kemunduran perilaku pada anak. Anak yang biasanya mandiri dan pemberani menjadi penakut dan minta untuk terus ditemani melakukan hal-hal kecil seperti pergi ke toilet. Ciri-ciri lain yang diperlihatkan anak adalah mengajukan pertanyaan yang sama berkali-kali meski sudah dijelaskan. Orang tua harus peka dengan perubahan perilaku anak sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat.

Bagaimana orang tua menyampaikan informasi kepada anak juga perlu diperhatikan karena bisa jadi hal ini dapat menjadi pemicu dari stress yang dialami dan malah memperburuk keadaan yang ada. Sebagai orang tua, tidak seharusnya membiarkan perubahan-perubahan yang dialami anak baik fisik maupun psikis secara terus menerus. Ini adalah tantangan baru bagi mereka untuk memikirkan aktivitas apa yang bisa dilakukan agar anak tidak terlalu bosan dan stress saat di rumah.

Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus dampak yang terjadi akan semakin besar seperti, anak menjadi sulit untuk fokus dalam belajar hingga nilai dan kinerjanya menurun. Anak juga akan sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar hingga dia dewasa nanti.

Penanganan Orang Tua yang Tepat Untuk Anak

Mendampingi, mendengarkan, dan menjadi teman bagi anak adalah hal utama yang harus dilakukan agar jika anak menunjukkan gejala dapat segera diatasi. Karena semua aktivitas dilakukan di dalam rumah, buatlah suasananya senyaman dan aman mungkin supaya anak tidak cepat bosan dan jenuh. Selain itu, mengisi waktu luang dengan anak seperti berkebun, bermain, atau berolahraga juga dapat dilakukan guna menghindari stress pada anak.

Saat pandemi seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengajarkan anak bertindak mandiri. Ajarkan mereka untuk mencuci pakaiannya sendiri atau membantu membersihkan peralatan makan, dengan begitu anak bisa lebih menghargai pekerjaan rumah dan membangun tanggung jawab dalam diri mereka.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah memberi pengertian dan perhatian kepada anak tentang kondisi yang sedang berlangsung. Pemberian informasi ini perlu disesuaikan berdasarkan umur si anak seperti anak yang masih balita sebaiknya dijelaskan dengan perlahan menggunakan penggambaran dan bahasa yang mudah dimengerti.

Validasi bahwa apa yang dirasakan anak adalah benar tetapi mereka tidak perlu cemas karena selalu ada orang tua yang akan membantu mereka. Saat anak mulai menunjukkan gejala seperti kemunduran, anak minta ditemani ke toilet padahal biasanya tidak, jangan dimarahi apalagi sampai menyakiti fisiknya. Tidak seperti orang dewasa yang dapat mengelola stress lebih baik, anak yang belum stabil cenderung meluapkannya dengan sesuatu di luar kebiasaannya.

Peran Pihak Sekolah terhadap Anak Didik

Pihak sekolah juga harus mengambil tindakan yang berkaitan dengan anak didik mereka dengan tidak terlalu memberikan beban tugas sekolah yang berat. Perlu dicatat bahwa dengan berada di rumah seharian bukan berarti anak memiliki waktu istirahat yang banyak sehingga guru bisa memberikan tugas lebih banyak dari yang didapatkan saat sekolah tatap muka seperti biasanya.

Pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah untuk mengadakan bimbingan konseling untuk siswa sebagai wadah bagi mereka untuk menceritakan perasaan yang dialami dan masalah yang dihadapi selama sekolah daring. Hal ini juga bisa membantu sekolah dalam menetapkan aturan atau kebijakan selanjutnya.

Selain dari lingkungan luar, diperlukan juga sikap kooperatif dari anak. Jika gejala yang ditunjukkan semakin parah dan bahkan mengganggu aktivitas keseharian anak, hubungi tenaga profesional untuk membantu mengatasi hal ini. Dengan berkembangnya teknologi, mereka bisa bertemu atau bermain dengan teman seusianya secara virtual. Hal ini dapat menjadi pengalih perhatian dari tekanan yang anak rasakan.

Syifa Maulidah
Mahasiswa Sampoerna University

Editor: Muhammad Fauzan Alimuddin

Baca Juga:
Hubungan Orang Tua dengan Minat Belajar Siswa pada Masa Covid-19
Nasib Anak ‘Spesial’ di Tengah Pandemi
Pendidikan “Merdeka dan Berbudaya” di Era Pandemi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI