Pandangan Islam terhadap Kebijakan Pemerintah Mengatasi APBN 2020

Mengatasi APBN 2020

APBN adalah suatu daftar yang secara sistematis memuat sumber-sumber penerimaan negara dan alokasi pengeluran negara dalam jangka waktu tertentu. Periode penyusunan dan pelaksanaan APBN di Indonesia dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang sama, yang selnjutnya dikenal dengan sebutan tahun anggaran.

Sejak tahun 2015, defisit anggaran cenderung meningkat. Peningkatan defisit tersebut dimanfaatkan   untuk   membiayai   peningkatan   belanja   produktif   terutama   untuk pembangunan infrastruktur (jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan pembangkit listrik) yang bertujuan untuk menstimulus laju pertumbuhan ekonomi.

Di tahun 2020 ini, perekonomian Indonesia sedang mengalami kontraksi. Kontraksi ini disebabkan oleh mewabahnya Covid-19 yang terjadi mulai bulan Maret. Pada tahun ini Pemerintah memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 melebar hingga 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB). APBN diperkirakan mengalami defisit Rp 1.028,5 triliun Ini merupakan pembaruan dari pelebaran target defisit APBN 2020 pada April lalu yang telah dinaikkan menjadi 5,07 % terhadap PDB. Hal ini dominan dilakukan dalam rangka memerangi dan mendorong ekonomi agar bertahan di tengah tekanan virus corona dan untuk memulihkan perekonomian Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kebutuhan Anggaran untuk Stimulus Ekonomi

Kebutuhan anggaran untuk stimulus ekonomi meningkat dari semula Rp 405 triliun menjadi Rp 641 triliun. Pendapatan negara diperkirakan lebih rendah dari angka dalam perpres perubahan APBN. Ini merupakan akibat dari banyaknya insentif pajak dan pelemahan ekonomi di semua sektor. Dalam outlook terbaru, pendapatan negara diprediksi hanya Rp 1.691,6 triliun, turun dari target sebelumnya Rp 1.760,9 triliun. Sementara belanja negara melonjak Rp 106,3 triliun dari angka dalam Pepres Nomor 54 tahun 2020 menjadi Rp 2.720,1 triliun.

Peningkatan belanja di antaranya disebabkan oleh peningkatan belanja dalam rangka pemulihan ekonomi nasional antara lain berupa subsisi bunga UMKM dengan alokasi anggaran Rp 34,2 triliun, diskon tarif listrik yang diperpanjang hingga September dengan alokasi anggaran mencapai Rp 6,9 triliun, serta bantuan sosial (bansos) tunai dan sembako sampai akhir tahun ini menjadi Rp 19,62 triliun. Dana talangan diberikan untuk modal kerja kepada beberapa BUMN sebesar Rp 32,65 triliun, dan pembayaran kompensasi untuk pemulihan ekonomi pada tiga BUMN sebesar Rp 94,23. Selain itu, pemerintah juga memberikan pembiayaan berupa investasi sebesar Rp 25,27 triliun berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah perusahaan pelat merah.

Dalam rapat Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR kebutuhan pembiayaan neto tahun ini akan mencapai Rp 1.206,9 triliun untuk menutup defisit APBN dan pembiayaan investasi. Dengan outlook pembiayaan tersebut, total hutang pemerintah pada 2020 berpotensi mendekati atau bahkan menembus Rp 6.000 triliun dari posisi akhir tahun lalu Rp 4.778 triliun. Pemerintah memperkirakan rasio hutang terhadap PDB  tahun ini naik dari 30 % terhadap Produk Domestik Bruto pada akhir tahun lalu menjadi 37,6 %. Bahkan, angka rasionya akan  terus naik hingga 38,3 % pada 2023. Ini lebih tinggi dari proyeksi yang sebelumnya dikeluarkan Bank Dunia. Di sisi pengeluaran, beban berat juga terlihat dari kewajiban membayar hutang tahun ini. Total hutang jatuh tempo sebesar Rp 426,6 triliun. Akibatnya, total pembiayaan bruto mencapai Rp 1.633 triliun.

Mengatasi dengan Utang

Untuk mengatasi hal itu, seluruhnya akan bersumber dari utang. Seperti halnya diketahui, utang merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang dilakukan dengan berbagai alasan rasional. Utang dipilih sebagai sumber pembiayaan karena urgensi kebutuhan yang harus diselesaikan segera. Hutang  dianggap juga sebagai alternatif yang telah melalui perhitungan teknis dan ekonomis sehingga dapat memberikan keuntungan.

Utang yang dilakukkan pemerintah terdiri dari penerbitan surat berharga negara Rp 1.485,6 triliun dan penarikan pinjaman Rp 148 triliun. Di bulan Mei 2020, penerbitan SBN telah mencapai Rp 420,8 triliun. Sedangkan pembelian SBN oleh perbankan di pasar perdana sebesar Rp 110,2 triliun seiring kebijakan penurunan giro wajib minimum (GWM). Di sisi lain, surat perbendaharaan negara yang jatuh tempo mencapai Rp 35,6 triliun.

Selain SBN, pemerintah juga akan menggunakan skema lain untuk mengatasi defisit. Antara lain menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) pemerintah, dana abadi untuk kesehatan dan Badan Layanan Umum (BLU) serta penarikan pinjaman dengan bunga rendah.

Di dalam pinjaman yang dilakukan pemerintah terdapat bunga yang harus dibayar setiap jatuh tempo. Sistem bunga disamakan dengan sistem riba yang hukumnya haram dalam pandangan Islam. Namun, jika tidak dilakukan pinjaman bagaimana nasib keberlangsungan ekonomi Negara ?. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan diuraikan tentang bagaimana ekonomi Islam dalam mengatasi permasalahan ini.

Pendapat Ahli Ekonomi

Kelompok ahli ekonomi pertama berpendapat bahwa negara Islam tidak seharusnya melakukan pembiayaan defisit (pengeluaran lebih besar dari pendapatan). Karena hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan pemerintah berutang dengan konsekuensi membayar bunga, dan mendekati riba. Pengeluaran yang bertambah ini juga dapat menyebabkan pemborosan.

Melihat penjelasan sebelumnya, kebijakan anggaran defisit (bugdet defisit) terdapat bunga pinjaman yang harus dibayar. Pemerintah menutup defisit anggaran yang terjadi yaitu dengan melakukan pembiayaan utang.  Dalam RAPBN 2020 terdapat dua klasifikasi pembiayaan utang yang digunakan, yaitu Surat Berharga Negara  dan Pinjaman.

Dalam pinjaman ini pemerintah harus mengalokasikan dana untuk membayarkan bunga atas pinjaman tersebut. Bunga merupakan tambahan dalam transaksi baik jual beli maupun pinjam meminjam. Artinya bunga merupakan nilai lebih atas uang yang harus dibayarkan dalam perjanjian jual beli maupun pinjam meminjam. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perbuatan riba.

Kelompok ekonom muslim kedua berpendapat sudah tidak waktunya lagi negara-negara Islam mempertahankan konsep anggaran berimbang. Yaitu yang berkonsekuensi lambatnya pertumbuhan ekonomi dan tidak tergalinya sumber daya alam karena ketiadaan modal. Negera- negara Islam yang kaya sumber alam, namun kurang modal untuk mengolahnya. Harus mau menerima anggaran defisit dengan solusi meminjam modal ke negara lain untuk digunakan sebagai modal penggalian sumber daya alam seperti minyak, gas dan lain-lain, atau dengan memungut pajak.

Negara Islam Harus Menerima Konsep Anggaran Modern

Beberapa ekonom muslim modern seperti, Mannan, Muhammad Umar Chapra, dan Abdul Qadim Zallum setuju dengan konsep defisit anggaran. Mereka berpendapat bahwa sebuah negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern (sistem anggaran defisit) dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit (kekurangan) anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan (sesuai yang direncanakan APBN) serta mencari jalan serta cara baru untuk mencapainya, baik dengan merasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit (utang) dari sistem perbankan dalam negeri atau dari luar negeri. Tetapi pinjaman yang dilakukan tetap harus terbebas dari sistem riba.

Jika ditinjau dari kemaslahatan, sebenarnya pinjaman yang dilakukan untuk menutupi anggaran defisit ini telah memenuhi sektor-sektor maslahah, diantaranya pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta agar tidak menimbulkan kehancuran terhadap suatu negara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, kinerja pencapaian output yang nyata dirasakan oleh masyarakat dalam realisasi belanja pemerintah pusat yaitu di bidang infrastruktur (Kemen PUPR dan Kemenhub). Hal ini berhubungan dengan pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs ) karena dengan adanya infrastruktur yang memadai akan memudahkan masyarakat untuk beraktivitas.

Pada bidang pendidikan (Kemendigbud, Kemenag, dan Kemenristekdikti) telah dilaksanakan penyaluran Kartu Indonesia Pintar, penyaluran bantuan operasional sekolah dan penyaluran bidik misi. Hal ini berhubungan dengan pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql) karena dengan menuntut ilmu akan meningkatkan kualitas akal. Di bidang kesehatan telah dilakukan penyaluran Kartu Indonesia Sehat, dan bantuan dalam menanggulangi Covid-19. Hal ini berhubungan dengan pemeliharaan jiwa (hidz al- nafs ) karena dengan adanya jaminan kesehatan maka kesehatan masyarakat terlindungi. Dalam bidang perlindungan sosial telah terlaksana penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sosial COVID-19 enam ratus ribu per kepala keluarga, dan bantuan diskon taraf listrik. Hal ini berhubungan dengan pemeliharaan keturunan (hifdz al- nasl).

Tindakan yang berhubungan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta termasuk dalam kategori maslahah daruriyah . Apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan kerusakan, yaitu kesejahteraan masyarakat terganggu, program kesehatan, pendidikan dan bantuan sosial tidak akan berjalan.

Hutang Harus Diperuntukkan untuk Kebutuhan Primer

Oleh karena itu, dalam menutupi besarnya defisit APBN, ekonomi Islam memperbolehkan pemerintah melakukan pinjaman, asalkan hutang negara dialokasikan untuk kebutuhan primer bukan kebutuhan sekunder.

Untuk membantu pemerintah dalam mengatasi defisiit APBN, Islam mempunyai beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan sebagai kebijakan pada tahun selanjutnya. Berikut langkah yang dapat dipertimbangkan sebagai kebijakan dalam mengatasi deficit APBN pada tahun selanjutnya.

Mengoptimalkan penutupan defisit menggunakan surat utang negara dengan instrumen surat berharga syariah negara (SBSN)

Pada dasarnya SBSN atau Sukuk  sama seperti surat berharga konvensional lainnya seperti obligasi yang merupakan surat pengakuan utang pemerintah. Perbedaan yang utama antara lain penggunaan konsep sesuai ekonomi islam, seperti wakalah, wadiah, dan bagi hasil sebagai pengganti bunga dan adanya asset pendukung  underlying asset  berupa jumlah tertentu aset sebagai dasar penerbitan sukuk. 

Mengoptimalisasikan Kontribusi PNBP dari Barang Milik Negara (BMN)

Beberapa tahun ini target pendapatan dari Sektor Pajak tidak dapat tercapai, kondisi ini tentunya bisa menyebabkan peningkatan defisit APBN. Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan diluar pajak yaitu PNBP. Dalam situasi seperti ini tentunya suatu harapan bersama apabila pemanfaatan BMN dapat memberikan konstribusi yang besar bagi penerimaan negara. Pada dasarnya Barang Milik Negara diadakan dan digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka pelayanan kepada masyarakat atau stakeholders. Namun dalam kondisi tertentu, BMN dapat juga dimanfaatan oleh pihak lain sehingga menghasilkan PNBP.

Mengalokasikan zakat sebagai sumber penerimaan dalam APBN

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.sangat dimungkinkan bahwa zakat tersebut dapat dialokasi sebagai sumber penerimaan dalam struktur APBN Indonesia. Namun dalam pendistribusiannya tetap menggunakan prinsip-prinsip dalam pendistribusikan zakat kepada delapan ashnaf penerima zakat.

Melakukan penguatan kesadaran masyarakat dalam berzakat, infaq, sedekah, dan wakaf

Mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Sebenarnya hal  ini berpotensi terhadap kesejahteraan ekonomi umat muslim. Jika instrumen-instrumen tersebut dilaksanakan dengan semestinya akan membantu pemerintah untuk menekan adanya defisit APBN.

Untuk itu, penguatan kampanye dana zakat, infak, dan sedekah dapat terus digiatkan. Diantaranya dengan menjadikan masjid sebagai pusat baitul maal untuk masyarakat sekitarnya dan wajib didaftar sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di bawah koordinasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Meskipun masjid-masjid saat ini sementara tidak difungsikan, di era media sosial ini jamaah masjid tetap dapat digerakkan dengan membayar zakat secara online. Kemudian, literasi perhitungan zakat dapat dikuatkan dengan pendirian Zakat Centre di masjid dan kampus-kampus. 

Selanjutnya, perlu menyerukan gerakan Solidarity Fund secara nasional dan besar-besaran yang dipimpin langsung oleh Presiden RI dan didukung oleh seluruh media mainstream nasional serta media sosial resmi pemerintah dan masyarakat.

Menerapkan zakat produktif dalam pendistribuan zakat

Selama ini pendistribuan zakat hanya terfokus pada upaya untuk membantu kebutuhan pokok, seperti sembako saja. Ini baik tetapi apakah dengan mendistribusikan zakat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok dapat menunjang keberlangsungan hidup penerima ?. Untuk itu, pendistribusian zakat produktif ini dinilai efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang sejahtera tentunya akan semakin ringan beban pemerintah sehingga akan memperkecil angka defisit APBN.

Fina Fikriatul Ilmi
Mahasiswa Ekonomi Syariah , UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor: Rahmat Al Kafi

Baca Juga:
Hubungan Ekonomi Islam terhadap Pengaruh Perbuatan Judi
Dampak Covid-19 terhadap Ekonomi maupun Bisnis Syariah serta Peran Lembaga Keuangan Sosial Islam
Pemikiran Politik Islam dan Pemerintah Desa dalam Menangani Covid-19

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI