Penganiayaan Napi di Lapas Yogyakarta: Korban Sampai Mengalami Trauma?

Penganiayaan Napi Lapas Yogyakarta

Penganiayaan Napi di Lapas Narkotika II A Yogyakarta kali ini diangkat oleh salah satu stasiun TV yaitu Trans 7 pada tanggal 17 November 2021 di acara Mata Najwa yang tentu pembawa acaranya sudah tidak asing lagi di telinga kita, yaitu Najwa Shihab.

Dalam acara tersebut, sejumlah mantan narapidana melaporkan dan angkat bicara mengenai kasus pelecehan dan juga penganiayaan yang terjadi. Salah satunya yaitu berinisial YE yang mengaku ditelanjangi dan dipukul oleh petugas sipir. YE mengaku dia diperintah untuk meminum urinenya sendiri, YE menolak dan dia mengaku dipukul kembali oleh para petugas.

Selain itu, mantan narapidana lainnya yaitu Mr. A (nama disamarkan) yang mengaku mengalami trauma, karena diperlakukan semena-mena dan itu dilakukan kebanyakan adalah dari petugas keamanan. Selain itu, ada salah satu mantan warga binaan lapas tersebut yang berinisial VT mengatakan bahwa, “Dirinya berinisiatif melaporkan penganiayaan ini, karena adanya rasa humanisme dan solidaritas. Karena banyak orang di dalam lapas tersebut yang ketakutan untuk angkat bicara.”

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Trauma Berkepanjangan Sampai Takut Menikah Ditinjau dari Kacamata Psikologi Kognitif

Mr. C (nama disamarkan) pada saat berada di Lapas Narkotika II A Yogyakarta, dia mengatakan bahwa, “Saya sedikit mengalami trauma, karena yang diserang adalah fisik dan mental saya. Setelah saya keluar, saya tidak berani menatap mata orang lain saat sedang bersosialisasi.

Karena, di lapas jika menatap mata petugas sipir itu dianggap menantang dan konsekuensinya akan langsung ditampar.” Mr. HL juga menyampaikan hal yang sama, “Saya diancam oleh kepala pengamanan bahwa akan teriak dan kapok saat bertemu dengan anak buahnya, itu terjadi 3 hari sebelum saya dicambuk habis-habisan hanya, karena berani menatap mata petugas sipir saat sedang berbicara.”

Salah satu seorang berinisial VT yang merupakan mantan binaan napi di Lapas Narkotika II A Yogyakarta memberikan pesan, yaitu “Stop kekerasan dan penganiayaan yang berada di lapas dan semoga oknum yang melakukan tindakan penganiayaan ini segera ditindak lanjuti dengan tegas.

Di sini saya juga menyampaikan bahwa saya mengapresiasi kebersihan dan kedisiplinan dari lapas. Dan semoga semua ke depannya lebih baik lagi, karena para napi butuh dampingan dan binaan bukan dengan kekerasan.” Selain itu, Mr. A juga menyampaikan pesannya dalam acara mata najwa tersebut, yaitu “Di sini kita memiliki Pancasila, jadi sudah seharusnya semua orang mendapatkan keadilan. Dan semoga ke depannya semua jauh lebih baik lagi dan tidak ada lagi tindak kekerasan.”

Baca Juga: Anak Serahkan Ibunya ke Panti Jompo karena Sibuk Berhubungan dengan Teori Kognitif

Dalam kasus penganiayaan napi tersebut, jika dilihat dari sudut pandang psikologi kognitif terutama pada neurosains kognitif dan juga tidak terlepas dari memori jangka panjang dan memori jangka pendek bagi korban penganiayaan pada kasus ini. Dimana pada bagian otak kecil yaitu tepatnya di hippocampus inilah terjadi suatu proses dalam mengingat memori dan menghubungkan pada emosi dalam ingatan tersebut.

Ketika korban penganiayaan ini mengalami rasa trauma, karena adanya kekerasan yang terus diterima, maka hippocampus inilah yang menangkap dan mengingat hal buruk itu terjadi. Sebab, hippocampus yang berada di bagian otak kecil inilah yang mengolah memori, membantu manusia dalam mengenali objek bahkan mengingat kejadian dan memahami bahasa atau perkataan yang didengar.

Biasanya seseorang akan lebih mengingat hal negatif yang terjadi dalam kehidupannya. Karena, hal tersebut sangat membekas dan menimbulkan rasa trauma serta rasa takut terhadap para korban penganiayaan mantan binaan di Lapas Narkotika II A Yogyakarta. Dimana emosi yang muncul tersebut menimbulkan rasa sedih yang mendalam dan rasa takut untuk mengungkapkan kebenaran pada semua orang yang mana itu demi keadilan para korban.

Baca Juga: Kasus Pelaporan Rektor UNNES ke KPK, Apa Hikmahnya?

Emosi dan trauma yang timbul ini memiliki dampak yang buruk bagi para korban, karena mereka harus menyesuaikan kembali dengan kehidupan sehari-hari dengan berusaha melupakan hal yang sudah terjadi. Selain itu, dalam memori jangka panjang para korban ini akan selalu teringat dan menjadi pengalaman yang sangat buruk, karena harus menerima kekerasan fisik.

Dimana memori jangka panjang ini akan mengingat masa lalu dan menggunakan pengalaman, informasi dan kejadian yang dapat dirasakan hingga saat ini ataupun masa yang akan datang. Memori jangka panjang ini (LTM) menjadi informasi dalam ingatan atau memori jangka pendek yang akan diubah ke memori atau ingatan jangka panjang, apabila informasi dan kejadian bahkan pengalaman terlalu lama tersimpan di memori jangka pendek.

Siti Nur Hasanah
Mahasiswa Psikologi
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI