Pengaruh Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia 

Kesehatan Reproduksi

Menurut BKKBN (2013) remaja mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat pada aspek fisik, psikologis dan juga intelektual.

Beberapa karakteristik remaja yaitu memiliki keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang.

Hal ini menimbulkan banyak 108 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 1 July 2018: 107-118 permasalahan pada remaja, salah satunya adalah permasalahan mengenai kesehatan reproduksi.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data dari KPAI (2016) menunjukkan bahwa jumlah kasus anak dan remaja sebagai korban prostitusi online di Indonesia adalah sebanyak 83 kasus pada tahun 2014 dan 117 kasus pada tahun 2015. Sedangkan kasus anak sebagai korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) adalah sebanyak 46 kasus pada tahun 2014 dan 72 kasus pada tahun 2015.

Baca juga: Pengaruh Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

Kasus pornografi dan cyber cryme pada anak adalah sebanyak 322 kasus pada tahun 2014, 463 kasus pada tahun 2015 dan 315 kasus pada Januari-Juli tahun 2016.

Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Kemudian pada tahun 2017 tercatat sebanyak 116 kasus. Banyaknya jumlah kasus anak dan remaja tersebut tidak dapat ditangani tanpa adanya kerjasama dengan berbagai pihak. Noviana (2015) menyebutkan bahwa penanganan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan kerjasama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Remaja merupakan masa transisi yang menghubungkan antara periode anak menuju periode dewasa, sehingga memerlukan perhatian dan perlindungan yang khusus.

Selama pubertas, remaja rentan mengalami permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual. Permasalahan yang terjadi bisa berkaitan dengan cara remaja menjaga diri agar tetap sehat secara reproduksi ataupun juga dalam menjaga perilaku agar tidak melakukan aktivitas yang beresiko.

Baca juga: Kesehatan Reproduksi Wanita: Dismenore, Sepele Tapi Berdampak Besar!

Pada masa remaja terdapat beberapa perkembangan, salah satunya adalah perkembangan konsep diri. Pada usia remaja dengan tingkat pendidikan SMA termasuk dalam tahapan remaja akhir (late adolescence) yang memiliki ciri-ciri lebih dekat dengan teman sebaya.

Penanganan yang dilakukan untuk mencegah masalah kesehatan reproduksi remaja adalah melalui empat pendekatan yaitu institusi, keluarga, kelompok sebaya (peer group), dan tempat kerja.

Kuatnya pengaruh kelompok sebaya (peer group) dikarenakan remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh intervensi pendidikan kesehatan reproduksi dengan metode peer group terhadap konsep diri remaja.

Penelitian ini merupakan eksperimen semu (Quasy Experimental) menggunakan pola rancangan satu kelompok dengan pengukuran pre test dan post test (one group pretest posttest design).

Ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik dengan rerata skor konsep diri pada kelompok pre test dan post test dengan p-value 0.001.

Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia ’bisa dipahami’ karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak untuk dibicarakan secara terbuka.

Orang tua biasanya enggan untuk memberikan penjelasan masalah-masalah seksualitas dan reproduksi kepada remajanya, dan anak pun cenderung malu bertanya secara terbuka kepada orang tuanya.

Kalaupun ada orang tua atau guru di sekolah yang ingin memberi penjelasan kepada anaknya, mereka seringkali kebingungan bagaimana caranya dan apa saja yang harus dijelaskan.

Intervensi untuk mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi remaja khususnya pada negara berkembang dikategorikan berdasarkan setting program, yaitu program berbasis sekolah, media massa, komunitas, tempat kerja dan fasilitas kesehatan.

Intervensi berbasis sekolah meskipun memiliki dampak yang tidak terlalu cepat tetapi merupakan salah satu upaya yang efektif karena memiliki cakupan yang luas dan terarah (Speizer IS, 2003).

Faktanya, masalah terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi masih banyak dihadapi oleh remaja. Masalah-masalah tersebut antara lain :

  1. Perkosaan. Kejahatan perkosaan ini biasanya banyak sekali modusnya. Korbannya tidak hanya remaja perempuan, tetapi juga laki-laki (sodomi).
  2. Free sex. Seks bebas ini dilakukan dengan pasangan atau pacar yang berganti-ganti. Seks bebas pada remaja ini (di bawah usia 17 tahun) secara medis selain dapat memperbesar kemungkinan terkena infeksi menular seksual dan virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus), juga dapat merangsang tumbuhnya sel kanker pada rahim remaja perempuan. Sebab, pada remaja perempuan usia 12-17 tahun mengalami perubahan aktif pada sel dalam mulut rahimnya.
  3. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Hubungan seks pranikah di kalangan remaja didasari pula oleh mitos-mitos seputar masalah seksualitas. Misalnya saja, mitos berhubungan seksual dengan pacar merupakan bukti cinta.
  4. Aborsi. Aborsi merupakan keluarnya embrio atau janin dalam kandungan sebelum waktunya. Aborsi pada remaja terkait KTD biasanya tergolong dalam kategori aborsi provokatus, atau pengguguran kandungan yang sengaja dilakukan.

Penulis: Afrilia Asril
Mahasiswa Jurusan Keperawatan Universitas Binawan

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI