Phobia Politik Mahasiswa: Inklusifitas dan Redefinisi Makna Agent of Change

Berbicara politik, kita kembali pada definisi manusia sebagai homo hominu lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Karena pada hakikatnya, setiap kegiatan dan kebijakan politik selalu membawa pertentangan yang berdampak positif-negatif bagi beragam pihak. Contoh sederhana seperti kasus kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bagi pihak birokrat, kebijakan itu berdampak baik untuk mendongkrak keuangan kampus. Sebaliknya bagi mahasiswa, UKT tinggi menjadi musibah karena harus membayar lebih mahal. Problema ini lumrah dalam sistem perpolitikan karena setiap pihak memang mempunyai kepentingannya sendiri.

Dalam kehidupan kampus, peran politik sangat penting bagi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa sebagai agent of change artinya menjadi aktivis yang mengabdikan pikiran, tenaga, dan idealismenya untuk menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat. Tak heran bila seorang aktivis selalu akrab dengan politik untuk mencapainya. Namun, perlu diperhatikan bahwa seorang aktivis harus tahu cara bijak untuk mencapai tujuan politiknya.

Tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi mahasiswa, khususnya pengurus organisasi pemerintahan mahasiswa (OPM). Dalam analogi kampus sebagai replika negara, mahasiswa pengurus OPM adalah pejabat dan pegawai yang menjalankan tupoksi membangun negara. Di pundak mahasiswa, ada jutaan harapan akan solusi berbagai permasalahan sosial. Sangat sedih apabila setiap kegiatan yang dibuat OPM meninggalkan esensi kualitas dan peran mahasiswa sebagai agent of change yang sejatinya menjadi tugas utama mahasiswa.

Bacaan Lainnya

Kegiatan hura-hura adalah kebijakan OPM yang dilandasi kepentingan politik untuk popularitas, euphoria, bahkan hedonisme. Sedangkan kritik adalah respon terhap penolakan kebijakan yang dilandasi kepentingan politik untuk mengembalikan hakikat mahasiswa sebagai agent of change. Kasus menggelikan itu menimpa mahasiswa saat ini, ribut tentang program kerja namun melupakan makna dan peran sesama mahasiswa. Semuanya melahirkan produk politik yang mempunyai inklusifitas dan maknanya sendiri-sendiri.

Munculnya phobia didasari oleh persepsi politik yang terbentuk atas cara berpolitik yang terlalu ambisius. Inklusifitas dan redefinisi makna agent of change adalah salah satu dampak buruk yang terlahir dari phobia berpolitik. Semakin buruk cara aktivis berpolitik, semakin tergeser pula makna mahasiswa sebagai agent of change. Lantas, masihkan mahasiswa menjadi solusi perubahan?

Homo hominu lupus. Dalam pembahasan lebih lanjut, seorang aktivis sangat sulit menentukan dirinya sendiri, apakah masih sama-sama menjadi serigala atau masih sama-sama menjadi manusia? Mahasiswa merdeka dalam bertindak asalkan pener, bukankah begitu? dan sekarang kamu yang mana?

Tetap berpikir, terus berjuang, selalu berperan. Hidup Mahasiswa!

Fitrah Izul Falaq
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Baca juga:
Menulis sebagai Tradisi Mahasiswa
AMSA Kutuk Kekejaman Kemanusian pada Etnis Rohingnya Myanmar
Menyelesaikan Konflik Secara Damai

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI