40 Tahun Pembaharuan Pemikiran Islam

Empat Puluh tahun yang lalu, dalam sebuah perkumpulan organisasi kepemudaan, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menyampaikan pidato tentang perlunya pembaruan pemikiran Islam. Dan saat ini , kita berkumpul di sini, untuk memperingati hari itu. Bukan bermaksud mengkultuskan Cak Nur, tapi kita perlu mempelajari, membahas, dan membincang itu, untuk masa depan Islam.

Begitu Ihsan ali Fauzi (inisiator acara ini) membuka acara seminar, orasi ilmiah dan peluncuran buku, yang mengambil tema:”40 tahun Pembaharuan Pemikiran Islam,” yang diadakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Hadir sebagai pembicara adalah Bachtiar Effendy, Mulyadi Kartanega,Trisno S. Susanto, dan Musdah Mulia.

Menurut Bachtiar, kondisi 40 tahun yang lalu tidak sama dengan sekarang. Apa yang dicemaskan Cak Nur kala itu, sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. “Menurut saya, antara Islam dan negara (politik) sudah tidak ada masalah. Demokrasi telah mampu menangani itu” jelas Bachtiar.

Bacaan Lainnya

Bachtiar mengidentifikasi empat hal yang menjadi masalah kita saat ini yakni, pertama, sikap pragmatis dan tidak berprinsipnya sebagian orang-orang Islam, baik dalam berpolitik, berusaha dan di dunia yang lain. Kedua, agama menjadi tidak semakin fungsional di luar hal-hal yang ritual. Ketiga, sebagian muslim
menjadi gamang menatap masa depan karena merasa terhina, ujung-ujungnya menjadi radikal dan teriris. Keempat, artikulasi keagamaan menjadi menyebalkan dan abstrak. “Dan menurut saya, orang yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah Qurais Shihab dan Mario Teguh.” Tegasnya.

Hampir senanda dengan Bachtiar, Trisno S. Susanto,  memfokuskan pembahasannya pada permasalahan yang dihadapi Cak Nur dahulu, dan masih berlangsung sampai sekarang, adalah masalah kejumudan berfikir dalam agama. Kalau agama tidak lagi menjadi pemikiran kritis, hanya mengamini apa yang sudah ada sebelumnya, maka yang terjadi adalah gejala “patologis”.Agama akan mengalami“irrelevansi dan insignifikansi.” Begitu Trisno menyampaikan kegelisahannya.

Tiga dimensi (sekularisasi, kebebebasan berfikir dan ide-ide progres) yang sering didengungkan Cak Nur, adalah dasar dari demokrasi. Ketiganya adalah tradisi yang sah dari keIslaman, bukan dipaksakan dari agama lain. Menurut saya, inilah sumbangan terbesar Cak Nur. Lanjut Trisno.

Agak berbeda dengan kedua pembicara sebelumnya, Mulyadi Kartanegara, mengangkat tema yang menurutnya jarang disentuh di forum-forum seperti ini. Cak Nur adalah figur yang sangat mencintai ilmu (buku). Dalam konteks pembaruan Islam, Mulyadi mengaitkan antara Islam dan sains.

Saat ini, kita sudah terlalu jauh mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu barat Sementara tokoh-tokoh Islam semakin ditinggalkan. “kita tidak fair dong kalau hanya mempelajari Barat tapi melupakan Timur”. Oleh karena itu, bicara masalah pembaruan, maka harus diletakkan sebagai kritik terhadap model sains. Dalam hal ini, “Islamisasi ilmu” menjadi mungkin. “Menurut
saya, Islamisasi ilmu itu mungkin karena ilmu tidak bisa dipisahkan dengan ke-Tuhanan (kekuatan ilahi). Dengan begitu, umat Islam mengenal dua tradisi, Barat dan Timur.” Jelasnya.

Sebagai pembicara terakhir, Musdah Mulia mewarnai forum ini dengan mengangkat tema tentang perempuan. “Sebagai pecinta Cak Nur, saya agak berbeda dengan teman-teman saya yang di depan (ketiga pembicara sebelumnya). Saya ingin bicara pandangan Cak Nur tentang hukum keluarga”, Begitu Musdah memulai pembicaraannya. Cak Nur memulai dengan menjelaskan tentang pentingnya keluarga. Dalam masyarakat religius, Cak Nur
mengatakan: “keluarga adalah sendi utama dalam masyarakat. Pondasi dalam perkawinan itu, tidak cukup dgn komitmen, tapi perlu kesadaran menghadirkan Tuhan dalam kehidupan. Inti dalam keluarga adalah kejujuran (jujur dalam diri, jujur dalam keluarga, dan seterusnya).

Menurut Musdah, Dalam konteks pembaruan Islam, demokrasi, dan HAM, pembaruan hukum keluarga menjadi sangat penting. Karena, pertama, mungkinkah kita bisa berharap kepada anggota DPR kalau mereka tidak pernah mendengar aspirasi di dalam keluarganya (istrinya, anaknya, dll)? Kedua, bagaimana para aparatur negara bisa mendengar rakyat kalau di dalam keluarganya sendiri tidak perrnah didengar? Ini pertanyaan yang
seharusnya bisa menggugah kita. Hal itu bisa dimulai dengan merefor undang-undang keluarga. Tutup Musdah.

Pernyatan-pernyataan keempat pembicara di atas, tak pelak lagi mengundang berbagai tanggapan dan pertanyaan dari peserta diskusi. Tema sekulerisasi dan sekulerisme menjadi istilah yang banyak disorot di forum ini.

Diskusi ini dihadiri oleh sekitar lima puluh orang dari berbagai kalangan intelektual, akademisi, praktisi, mahaiswa dan pers. Acara kemudian dipending untuk makan siang, sebelum dilanjutkan ke sesi kedua dan akan ditutup dengan orasi ilmiah serta peluncuran buku.

Reportase: Seminar, Orasi ilmiah dan Peluncuran Buku (sesi-1) Aula Nurcholis Madjid, Kampus Paramadina, Kamis, 7
Januari, 2009 (Ditulis untuk Forum Muda Paramadina)

MILASTRI MUZAKKAR

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI