Adakah Keadilan Sosial di Pendidikan Tinggi?

Keadilan Sosial di Pendidikan Tinggi
Keadilan Sosial di Pendidikan Tinggi (Sumber: Penulis)

Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Negeri Jalur SNBP Tahun 2024 diwarnai dengan berbagai kritik dari banyak pihak. Hal ini dikarenakan perubahan mendadak pada jumlah kelompok Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak diinformasikan sebelum penerimaan berlangsung.

Penambahan jumlah kelompok UKT sepihak ditegaskan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, yang dalam Rapat bersama Komisi X DPR RI pada 21 Mei 2024 mengatakan bahwa kenaikan yang terjadi hanya berlaku pada mahasiswa baru, bukan untuk mahasiswa yang sudah menempuh perguruan tinggi.

Aturan ini didasarkan pada Peraturan Mendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang membahas mengenai standar operasional pendidikan pada perguruan tinggi negeri, di mana PTN memiliki otonom untuk menetapkan nominal UKT setiap kelompok di luar tarif UKT kelompok I dan II.

Bacaan Lainnya

Dilansir dari BBC News, salah satu calon mahasiswa baru di program studi Sastra Arab Universitas Sumatera Utara tidak menyangka bahwa biaya kelompok UKT VIII mencapai 8,5 juta dari yang awalnya 4 juta rupiah.

Angka ini dianggap terlalu tinggi mengingat kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ia khawatir, kalaupun dapat membayar UKT untuk semester pertama, ia tidak dapat lagi membayar biaya UKT untuk semester selanjutnya.

Penambahan kelompok UKT juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Aksi demonstrasi penolakan oleh mahasiswa pun telah terjadi di beberapa kampus seperti di Universitas Brawijaya dan Universitas Jenderal Soedirman.

Walaupun kebijakan penambahan kelompok UKT ini tidak diperuntukkan untuk mahasiswa tahun ajaran sebelumnya, besarnya biaya UKT yang perlu dikeluarkan oleh mahasiswa sudah menjadi perhatian sejak dulu.

Penetapan UKT yang dibagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan kesanggupan ekonomi setiap mahasiswa dinilai tidak selalu tepat dalam pelaksanaannya. Pasalnya, banyak mahasiswa dikelompokkan ke dalam golongan pembayaran UKT yang lebih tinggi dari kemampuan finansialnya.

Hal ini seperti yang dialami oleh 120 mahasiswa di Institut Teknologi Bandung yang terancam tidak dapat melanjutkan perkuliahan di awal tahun ini karena menunggak biaya UKT yang dapat mencapai belasan juta setiap semesternya.

Proses peringanan yang mereka ajukan pun tidak dapat disubmit. Merespons hal ini, pihak kampus justru bekerja sama dengan salah satu penyedia jasa pinjaman online sebagai solusi bagi mahasiswa yang membutuhkan biaya untuk membayar UKT-nya.

Platform pinjol ini menyediakan jasa angsuran dengan bunga pinjaman yang apabila dijumlahakan dalam rentang waktu satu tahun akan melebihi jumlah yang dipinjam oleh mahasiswa. Tingginya biaya UKT juga disebabkan oleh penetapan status bagi 21 universitas menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada Oktober 2022.

Baca juga: Tingginya UKT, Calon Mahasiswa Baru USU Mengundurkan Diri

Dengan adanya status ini, PTN-BH memiliki kewenangan untuk mengatur sistem keuangan, sumber daya pengelolaan, dan tenaga kependidikannya sendiri dari yang sebelumnya harus mengikuti aturan ketat dari Kemendikbudristek. Anggaran dan pendanaan yang sebelumnya bergantung pada alokasi APBN menjadi pencarian pendanaan mandiri.

Oleh karena itu, banyak kampus yang menambahkan porsi penerimaan mahasiswa jalur mandiri dan memangkas penerimaan lewat jalur tes dan prestasi agar bisa menetapkan tarif UKT kelompok tertinggi hingga UKT yang jumlahnya dua kali dari BKT.

Dengan banyaknya mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri, jumlah mahasiswa yang berkewajiban untuk menyumbang uang pangkal pun semakin banyak.

Kejadian yang terjadi di dalam institusi perguruan tinggi ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata inklusif. Padahal, pendidikan merupakan pondasi paling penting untuk membangun suatu bangsa.

Hal ini menunjukkan bahwa sila ke lima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, masih belum dapat terealisasikan sepenuhnya jika hanya anak-anak dari kalangan ekonomi kelas atas saja yang dapat merasakan pendidikan.

Upaya pemenuhan sila ke lima dalam lingkup perguruan tinggi ini sebenarnya sudah dilakukan melalui beberapa cara, seperti pemberian Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) dari pemerintah sejak tahun 2014. Akan tetapi, pelaksanaannya tidak terdistribusi dengan tepat.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa selama ini proses pengelolaan KIPK tidak berjalan transparan. Banyak terjadi penyelewengan akibat tidak ketatnya pengawasan dalam verifikasi data mahasiswa yang mendaftar, sehingga dokumen seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), foto tempat tinggal, dan lain-lain dapat dipalsukan.

Banyak penyalahgunaan KIPK yang membuat biaya untuk mahasiswa dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersier mahasiswa yang sebenarnya mampu.

Oleh karena itu, banyak pertanyaan yang timbul mengenai esensi sila ke lima dalam penyediaan pendidikan yang inklusif. Pada satu sisi, sila ke lima menjamin adanya keadilan pemenuhan hak yang mencakup seluruh aspek kehidupan bagi masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, di lain sisi, implementasi keadilan sosial dalam aspek pendidikan sering terbentur pada kondisi ekonomi seseorang. Seharusnya pemerintah menjadikan sila ke lima Pancasila sebagai landasan untuk berbenah memperbaiki sistem agar pendidikan perguruan tinggi tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa, tetapi sesuatu yang dapat dinikmati oleh setiap anak bangsa.

 

Penulis: Sabina Trista Diandra Agustin
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI