Anak SD Bermultiliterasi untuk Menjawab Tantangan Zaman: Apakah Berhasil?

multiliterasi
Ilustrasi: iStockphoto

Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari waktu dan kehidupan manusia lain. Waktu berputar seiring dengan kehidupan manusia yang terus berjalan. Perubahan demi perubahan terus terjadi selama manusia bergerak dan berinteraksi dengan manusia lain. Perubahan ini mengakibatkan setiap manusia perlu melakukan penyesuaian untuk bertahan hidup. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kehidupan manusia selalu dinamis.

Setiap manusia harus siap menghadapi segala perubahan yang terjadi. Proses penyesuaian ini biasa disebut dengan kecakapan diri. Kecakapan diri merupakan kemampuan individu untuk melakukan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Proses penyesuaian terhadap perubahan dapat terjadi di dalam berbagai sistem, khususnya pendidikan. Sistem pendidikan di dunia terus mengalami pembaruan untuk menjawab tantangan zaman. Pendidikan adalah sistem yang dipersiapkan untuk setiap insan manusia agar menjadi pribadi yang mampu bertahan hidup di dunia.

Bacaan Lainnya

Kurikulum pendidikan terus dikembangkan diberbagai belahan dunia agar dapat merancang proses pembelajaran yang ideal untuk setiap siswa. Sama halnya dengan yang terjadi di Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka dan sistem pendidikan nasional terbentuk, kurikulum yang berlaku terus mengalami perubahan, seperti Rentjana Pelajaran 1947; Rentjana Pelajaran Terurai 1952; Retnjaana Pendidikan 1964; Kurikulum 1975 Disempurnakan; Kurikulum CBSA 1984; Kurikulum 1994; Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004; KTSP 2006; Kurikulum 2013; hingga yang terakhir Kurikulum Merdeka.

Perubahan kurikulum tersebut tidak lain karena adanya perubahan zaman yang memunculkan tantangan-tantangan baru.

Istilah literasi muncul pada tahun 2015-an sebagai bagian dari upaya menjawab tantangan zaman. Gerakan Literasi Nasional mulai dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Hari Sumpah Pemuda 27  Oktober 2017.

Gerakan ini dilatarbelakangi karena adanya hasil survei yang menunjukkan bahawa tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Sejak saat itu, pemerintah mulai menggalakkan gerakan literasi untuk semua rakyat Indonesia.

Masyarakat diminta untuk meningkatkan kemampuan literasinya dengan cara gemar membaca dan menulis. Gerakan itu dibarengi dengan upaya dibangunnya ratusan ribu taman bacaan di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai gencar mendistribusikan buku-buku agar dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, seperti di sekolah, di lingkungan desa-desa, maupun di tempat-tempat umum. Jumlah perpustakaan pun mulai ditingkatkan untuk memberikan sarana literasi bagi masyarakat.

Dari beberapa referensi dan sumber, literasi dapat diartikan sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah literasi itu sendiri merupakan serapan dari bahasa latin Literatus yang dapat diartikan sebagai orang yang belajar. Pengertian literasi itu sendiri bisa diartikan tidak sebatas hanya dari kemampuan sebuah individu untuk membaca, menulis, berhitung, atau bahakan berbicara saja.

Secara garis besar, literasi merupakan kemampuan seorang individu untuk mengolah data, memecahkan masalah, membuat ide, atau mencari solusi menggunakan semua kemampuan dan kapasitas yang individu itu miliki.

Sebelumnya, kualitas pendidikan di Indonesia dilihat melalui angka melek huruf penduduknya. Angka melek huruf ini diukur dari kemampuan setiap orang dalam membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan apakah kualitas penduduk Indonesia di bidang pendidikan baik atau buruk.

Namun, sejak adanya revolusi industri 4.0 dan pembelajaran abad 21, tuntutan kualitas hidup individu tidak hanya sebatas kemampuan bisa membaca dan menulis saja. Setiap individu dituntut untuk memiliki  kecakapan dan kemampuan di bidang lain untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Hal ini dikarenakan, suatu masalah memerlukan beberapa kecakapan yang saling dikaitkan agar dapat terpecahkan.

Misalnya, seorang petani menghadapi masalah tentang tanahnya yang sudah tidak lagi subur, maka kemampuan yang diperlukan tidak hanya literasi baca tulis saja, melainkan literasi yang lain, seperti literasi sains, literasi numerasi, literasi finansial, literasi digital, hingga literasi budaya jika diperlukan.

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap individu perlu menguasai berbagai literasi untuk dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya. Setiap orang, apapun profesinya, perlu memiliki kemampuan literasi yang cukup sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

Kemampuan yang harus mereka kuasai diperlukan agar dapat bertahan dan bersaing dengan individu lainnya. Karena sejatinya, sifat dasar manusia adalah selalu bergerak menyesuaikan diri menuju arah kemajuan.

Istilah literasi mulai berkembang sejak adanya perubahan sosial dan teknologi. Adanya pengaruh kehidupan sosial budaya dan pesatnya perkembangan teknologi melatarbelakangi munculnya istilah multiliterasi. Konsep baru ini muncul karena banyak masyarakat menganggap, untuk menangkap dan memahami suatu informasi, tidak hanya memerlukan kemampuan baca dan tulis saja.

Diperlukan literasi-literasi lain untuk menerima informasi dan menghadapi sebuah situasi. Bisa jadi, ketika dua orang membaca sebuah informasi yang sama, namun karena kemampuan multiliterasi setiap individu berbeda, maka cara mereka memahami dan menangkap makna dari informasi tersebut jelas berbeda.

Atas dasar inilah manusia mulai dituntut untuk menguasai lebih dari sekedar literasi baca tulis. Hal ini karena apabila kita hanya terbatas menguasai literasi baca tulis saja, maka kesulitan hidup sehari-hari akan semakin banyak ditemui akibat ketidakcapakan kita dalam menguasai literasi lainnya.

Multiliterasi bertumpu pada memperluas input dan mengoptimalkan output. Pembelajaran yang diterima oleh peserta didik bisa diambil dari berbagai macam sudut pandang, sumber, media, aspek, atau bahkan bidang keilmuan lain.

Saat peserta didik mempelajari sebuah topik bahasan tentang lingkungan, tidak menutup kemungkinan peserta juga bisa mendapatkan pandangan dan materi dari bidang keilmuan lain. Seperti Seni dan Budaya, Matematika, atau bahkan Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

Yang dimaksud dengan mengoptimalkan output seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, diharapkan ilmu yang sudah didapat peserta didik tidak hanya peserta didik simpan dan mengendap, tetapi peserta didik mampu mengolah lebih lanjut lagi ilmu yang sudah didapat.

Seperti yang sudah dijabarkan pada konsep dari multiliterasi, multiliterasi bertumpu pada memperluas input dan mengoptimalkan output. Dengan mengambil materi belajar dari berbagai sumber, sudut pandang, berbagai media, atau bahkan sumber dari bidang keilmuan lain, literasi yang diterima oleh peserta akan semakin beragam.

Dengan begitu luasnya materi yang diterima diharapkan peserta didik mampu memberikan hasil dari pembelajaran yang lebih optimal.

Berdasarkan jurnal yang telah dijadikan sumber atas esai ini, multiliterasi dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik.

Aspek yang diambil dari kemampuan membaca ini adalah peserta didik sanggup mengolah materi ajar dari seudut pandang lain dan mengolahnya, serta peserta didik sanggup mengimplementasikan materi yang diterima dengan lebih baik dibandingkan peserta didik yang tidak mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran multiliterasi.

Kemampuan literasi yang beragam tidak dapat dikuasai sekaligus dalam waktu yang singkat, diperlukan proses yang panjang sejak dini agar literasi-literasi tersebut dapat tertanam kuat. Seperti halnya saat kita menguasai literasi baca tulis.

Saat anak kecil belajar membaca, mereka harus melewati berbagai tahap sebelum bisa melakukannya dengan lancar. Mereka harus mengenal huruf, melafalkan suara huruf, mengingat bentuk dan suara huruf, mengeja, hingga membaca kalimat per kalimat. Tidak hanya itu, anak-anak juga perlu memahami makna setiap kata agar mereka dapat memahami informasi bacaan.

Oleh sebab itu, multiliterasi yang terdiri dari 6 jenis, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya serta kewargaan ini perlu diimplementasikan sejak dini, sejak peserta didik duduk di bangku sekolah dasar.

Mereka perlu menguasai tahap demi tahap, dimulai dari kemampuan paling dasar dan sederhana kemudian meningkat ke arah yang lebih kompleks. Pemahaman multiliterasi penting untuk diberikan pada peserta didik sebagai bekal untuk masa depannya kelak.

Dengan menguasai berbagai literasi, diharapkan setiap peserta didik memiliki kecakapan untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan mudah. Hal ini juga kelak akan membantu mereka dalam menjalani profesi dan mengembangkan karirnya.

Sejak berlakukanya Kurikulum Merdeka, dan digalaknya gerakan multiliterasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, multiliterasi  mulai diterapkan dalam setiap pembelajaran di pendidikan dasar. Seperti yang sudah dijabarkan pada konsep dari multiliterasi sebelumnya, multiliterasi bertumpu pada memperluas input dan mengoptimalkan output.

Pembelajaran yang diterima oleh peserta didik bisa diambil dari berbagai macam sudut pandang, sumber, media, aspek, atau bahkan bidang keilmuan lain.  Sangat memungkinkan sekali untuk menggunakan multiliterasi sebagai model pembelajaran dan setiap pembelajaran. Dikarenakan model pembelajaran multiliterasi dapat menghubungkan berbagai macam materi pembelajaran.

Dalam kegiatan pembelajaran di era sekarang ini, penggunaan media merupakan sebuah keharusan. Multiliterasi memungkinkan setiap kegiatan di sekolah dapat menggunakan berbagai macam literasi. Literasi tidak hanya dari buku cetak atau dari guru saja, dengan multiliterasi apapun dapat dijadikan sebagai sumber literasi. Mulai dari poster, video, atau bahkan kegiatan sosial dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai literasi.

Pengimplementasian multiliterasi dalam lingkup pendidikan dasar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dari peserta didik. Berdasarkan jurnal yang telah dijadikan sumber dari esai ini, disebutkan bahwa multiliterasi dapat meningkat mulai dari kemampuan membaca, mengolah data, hingga kemampuan memecahkan masalah pada tingkat pendidikan dasar.

Mengolah data hingga kemampuan memecahkan masalah dapat dilihat dari Peserta didik yang juga cakap mengaplikasikan lebih dari satu aspek-apek dari Literasi. Peserta didik tidak hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung, peserta juga mampu untuk berbicara.

Berbicara di sini diartikan sebagai vocal di mana peserta didik juga mampu mengutarakan pendapat atas apa yang telah dia pelajari. Peserta didik memiliki kemampuan berbicara, berpendapat, bertanya, dan berdiskusi.

Masalah dalam pengimplementasian multiliterasi di pendidikan dasar yang pertama adalah kurangnya pemahaman guru tentang multiliterasi dan pengetahuan tentang strategi pembelajaran multiliterasi belum memadai.

Tidak bisa dipungkiri bahwa model pembelajaran multilitersi masih sangat jarang sekali diaplikasikan oleh guru-guru di Indonesia dan hal ini membuat tidak adanya perintis yang bisa dijadikan contoh dan patokan.

Yang kedua adalah tidak adanya kursus atau pelatihan literasi yang pernah diikuti oleh guru. Hal ini diakibatkan karena multiliterasi bukan menjadi salah alternatif yang dipilih oleh para guru sebagai salah satu model pembelajaran.

Dan beberapa tahun belakangan ini pemerintah terlalu berfokus pada peningkatan literasi peserta didik tapi lupa untuk mengimbangi literasi dan guru. Tentu hal ini termasuk salah satu penghambat pengimplementasian dari model pembelajaraan multiliterasi.

Yang ketiga adalah tidak tersedianya modul ajar tentang 6 jenis literasi yang dapat dikaitkan dengan suatu model pembelajaran. Yang terakhir adalah Buku teks siswa yang disediakan oleh Kemendikbud tidak mengandung konten tentang literasi-literasi untuk membantu anak untuk menguasai multiliterasi.

Dapat disimpulkan dari masalah-masalah dan kendala dari pengimplementasian dari multiliterasi di atas, bahwa yang dibutuhkan adalah perhatian lebih dari pemerintah atas model pembelajaran yang mengandung multiliterasi.

Tidak hanya sekedar mencetuskan program multiliterasi secara terpusat saja, melainkan perlu melakukan hilirisasi untuk memastikan bahwa semua tenaga pendidik memiliki pemahaman dan konsep yang sama terkait multiliterasi. Guru perlu diberikan pelatihan tentang bagaimana mengimplementasikan pembelajaran berbasis multiliterasi di sekolah dasar.

Guru diharuskan memahami bagaimana pelaksanaan kelas berbasis multiliterasi. Seperti misalnya, dalam menentukan materi apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Guru harus mampu menganalisis bahan ajar yang sesuai dengan usia perkembangan peserta didik namun tetap didorong untuk menjelajah literasi-literasi lainnya yang belum pernah peserta didik kenal sebelumnya.

Selanjutnya, guru perlu memperluas wawasannya dan saling berbagai ide kreatif dan inovatif mengenai media-media apa saja yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembelajaran multiliterasi. Aspek-aspek dari literasi juga harus diperhatikan saat memilih media pembelajaran, mulai dari format media, sudut pandang, aspek, atau bahkan bidang keilmuan lain.

Pengimplementasian dapat dimualai dari menentukan materi apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Setelah materi yang akan digunakan dalam pembelajaran sudah ditentukan, media-media apa saja yang akan digunakan sebagai sumber belajar dapat ditentukan.

Aspek-aspek dari literasi juga harus diperhatikan saat memilih media pembelajaran, mulai dari format media, sudut pandang, aspek, atau bahkan bidang keilmuan lain.

Tingkat keberhasilan suatu model pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar. Hasil dari Pembelajaran muliliterasi diharap tidak hanya terlihat dari peserta didik dapat menerima pembelajaran dengan baik, tapi peserta didik juga dapat memberikan feedback dari pembelajaran yang dia terima.

Peserta didik diharapkan sanggup mangaplikasikan hasil belajarnya, mendiskusikan hasil belajarnya, merekam hasil belajarnya. Merekam yang dimaksud tidak sebatas video saja, tapi peserta didik membuat sebuah catatan pribadi atau jurnal tentang apa saja yang sudah dia pelajari dan apa saja yang telah mereka diskusikan.

Dikarenakan kembali lagi pada hakikat awal dari literasi, yaitu kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, hingga mengolah data yang berfungsi untuk memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari.

Penulis:
1. Rizka Malia Syafitri
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
2. Dr. Agus Suprijono, M.Si.
Dosen Pascasarjana Pendidikan Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI