Hukum Jual Beli Darah dalam Islam

Darah
Golongan Darah (Gambar: Pixabay.com)

Mengingat darah termasuk salah satu yang diharamkan sebagai mana disebutkan dalam firman Allah: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan).” (QS. Al-Maidah: 3). Terdapat pula nash yang menegaskan haramnya darah secara muqayyad, seperti firman Allah yang artinya: Katakanlah “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi…” (QS. Al-An’am: 145)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa darah yang mengalir termasuk di dalamnya darah manusia dihukumkan sebagai najis, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan yang untuk keperluan rabuk.

Menurut mazhab Hanafi dan Dzahiri. Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogis (qiyas), mazhab ini membolehkan jual beli darah manusia, karena besar sekali manfaatnya bagi manusia guna menolong jiwa sesama manusia yang memerlukan transfusi darah karena operasi, kecelakaan, dan sebagainya.

Bacaan Lainnya

Namun menurut pendapat Masjfuk Juhdi, jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan karena termasuk bagian manusia yang Allah SWT. Muliakan dan tidak pantas untuk diperjualbelikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang uhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia.

Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang baik menurut hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia, jual beli darah ini bertentangan dengan moral agama dan moral Pancasila, terutama Sila I dan II, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik berupa materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah daan sekadar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga.

Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti memberikan semacam voucher setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.

Dengan demikian, praktik menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaimana dilarang Syari’at Islam dan bertentangan dengan pri kemanusiaan.

Sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menanam kebaikan maka ia berhak memanen pahala dan ganjaran kebaikannya.

Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan dimanfaatkan.

Transfusi darah itu diperbolehkan dalam agama islam, tetapi tidak menimbulkan status hukum baru antara pendonor dan resipien, seperti adanya larangan untuk saling menikah (adanya hubungan kemahraman).

Hukum menjualbelikan darah, dalam Islam adalah boleh menurut mazhab Hanafi dan Dzahiri, dengan alasan besarnya manfaat dari jual beli darah tersebut, itu yang pertama. Kedua, hukumnya adalah dilarang menurut pendapat Masjfuk Juhdi berdasarkan hukum positif di Indonesia dan hukum Islam, karena bertentangan dengan moral agama dan pancasila khususnya sila I dan sila II.

Tim Penulis:

1. Moch Iqbal Maulana Azis
Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.

2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Referensi:

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.

http://wiwidituwidya.blogspot.co.id/2013/03/transfusi-darah.html

http://eprints.undip.ac.id/43759/2/DefitaRatnaWati_G2A009047_Bab1KTI.pdf

http://www.alodokter.com/selain-bermanfaat-transfusi-darah-juga-berisiko

http://multazam-einstein.blogspot.co.id/2013/01/hukum-transfusi-darah-dalam-islam.html

http://ki-stainsamarinda.blogspot.co.id/2013/05/transfusi-darah-menurut-islam.html

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI