Mantra Dibalik QS. Al-Qashash ayat 77 Pemikiran Prof. Dr. Hamka

Al Qashash 77

Harta-harta itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah engkau samai lupa bahwa sesudah hidup ini engkau akan mati. Sesudah duniya ini engkau akan pulang ke akhirat.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS, Al-Qashash : 77)

Harta benda di dunia ini, sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. “Akan tetapi carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah itu akan negeri Akhirat dan janganlah lupa akan bahagiamu daripada duniya”.

Bacaan Lainnya

Kalau kita mati kelak, tidak sebuah jua pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang diakhirat itu kelak. Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezeqi yang dianugerahkan Allah itu kepada jalan kebajikan. Niscaya jika engkau mati kelak bekas amalmu untuk akhirat itu akan engkau dapati berlipat fanda disisi Allah. Dan yang untuk dunia janganlah pula dilupakan.

“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau”. Ihsan itu ada dua. Pertama, ihsan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Yaitu bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau lihat Allah itu. Dan meskipun engkau tidak mungkin melihatnya, namun dia pasti melihat engkau. Kedua, ihsan kepada sesama manusia. Yaitu hubungan yang baik, budi yang baik, penyelenggaraan yang baik, bermulut yang manis, berhati yang lapang, berbelas kasihan keada fakir miskin. Kemudian disebutkan pula ihsan kepada diri sendiri, yaitu dengan mempertinggi mutu diri, memperteguh pribadi, guna untuk mencapai kemanusiaan yang lebih sempurna, sehingga kita berguna dalam masyarakat.

“Dan janganlah engkau mencari-cari kerusakan dimuka bumi”.

Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan tali silaturrahmi, aniaya, mengganggu keamana, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu dan mengecoh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak.

“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Kalau Allah telah menyatakanbahwa dia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Allah pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Dan jika hukuman Allah datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan dan daya upaya untuk menangkisnya.

Menurut kebanyakan ulama ahli tafsir, Karun yang dikisahkan dalam beberapa ayat ini adalah saudara sepupu Nabi Musa. Akan tetai ia bersikap munafik terhadap Nabi Musa dan menjadi binasa karena kemunafikannya. Ia diberi nasihat oleh beberapa orang dari kaumnya yang berkata kepadanya:

Janganlah engkau terlalu bangga dan gembira dengan apa yang engkau miliki sehingga engkau melampaui batas dan lupa daratan, sesungguhnya Allah tidak mneyukai orang-orang yang membangggakan diri dan tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat itu kepadanya. Dan hendaklah engkau gunakan kekayaan yang Allah berikan kepadamu itu untuk beribadah kepada Tuhanmu dan dan berbuat baik kepada sesama manusia dengan jalan menafkahkan sebagian dari harta kekayaanmu untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolonganmu dan disamping itu janganlah engkau melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi yang diperkenankan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, perkawinan dan perumahan, asalkan saja jangan melampaui batas. Dan janganlah engkau dengan kekayaanmu itu berbuat kerusakan dan berlaku sewenang-wenang diatas bumi Allah ini, karena Allah sekali-kali tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Tim Penulis:
1. Cici Tri Mulyani
Mahasiswa Ekonomi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Sumber Referensi:

Hamka. 1978. Tafsir Al-Azhar. Surabaya : Yayasan Ltimojong.

Katsier, Ibnu. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier. Surabaya : PT Bina Ilmu Offset.

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI