Maraknya Jual Beli Jabatan di Instansi Pemerintahan yang Sudah Menjadi Rahasia Umum

Suap
Ilusrasi Jual Beli Jabatan

Pemerintah yang bersih dan baik adalah salah satu kunci untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan merata di Indonesia. Dengan seperti itu pelayanan terhadap rakyat juga maksimal, tanpa pandang bulu, dan paling penting tanpa adanya anggaran negara yang masuk kantong pribadi atau suatu golongan.

Namun seringkali upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih itu sulit diwujudkan karena banyaknya praktik jual beli jabatan yang sedang marak dan sepertinya sudah menjadi rahasia umum yang dilakukan lembaga pemerintahan.

Praktik jual beli jabatan di Indonesia menjadi salah satu jenis korupsi berupa suap yang sering terjadi terutama pada sistem pemerintahan daerah. Jual beli jabatan ini terdapat simbiosis untuk kedua belah pihak yang terlibat, di satu sisi ada ketamakan kekuasaan dan harga atau maharnya.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Ironi Partai Politik dalam Pusaran Korupsi

Dan sisi lain ada ASN yang ingin mendapat jabatan dengan cara jalan pintas. Ada beberapa penyebab maraknya dari jual beli jabatan di pemerintahan, terutama di lingkungan pemda.

Pertama, karena pemda belum konsisten membangun merit sistem atau kebijakan sumber daya manusia berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.

Kedua, gaya kepemimpinan kepala daerah yang kurang tegas dalam menyikapi masalah ini dan terus menerus berulang dan berkala sehingga menjadi rahasia umum. Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap pemda, baik legislatif maupun instansi yang lebih tinggi.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur pernah mengkritik keras praktik jual beli jabatan, terutama gaya kepemimpinan kepala daerah.

“Banyak kepala daerah yang memimpin dengan gaya promosi, dilakukan atas dasar kedekatan, kerabat, dan uang,” ujarnya.

Praktik tersebut kenekatan para kepala daerah untuk menyimpang dari aturan yang berlaku. Praktik jual beli jabatan sebenarnya sudah dijelaskan dan diantisipasi dalam sejumlah aturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dari keduanya menjelaskan bahwa perekrutan PNS, termasuk pejabat harus melalui sistem profesional, terbuka, dan kompetitif. Biasanya sistemnya melalui seleksi terbuka diawasi komisi ASN di setiap rangkaiannya.

Beberapa penyebab terjadinya praktik jual beli jabatan ini adalah:

Baca Juga: Politik Uang, Cara Gampang untuk Menang?

1. Intervensi politik dalam birokrasi

Akar dalam permasalahan berada dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian jabatan.

Hak-hak tersebut membuat kekeliruan dan peluang kepada politisi untuk melakukan suap jual beli jabatan ini.

2. Kelemahan kinerja birokrasi

Penyebab utama praktik seperti ini karena rendahnya profesionalisme aparat. Individu biroktorat sering bersikap tidak transparan, korupsi, dan mengembangan praktik transaksional. Aparat birokrasi yang harusnya melayani kepentingan masyarakat sering terjebak kebutuhan pribadinya untuk meningkatkan kariernya melalui jalan pintas semacam ini.

3. Minimnya laporan atas dugaan praktik jual beli jabatan

Upaya melaporkan ASN yang melalukan jual beli jabatan ini cukup sulit, salah satu faktornya tidak adanya pihak yang melapor secara resmi mengenai ini.

Jika melihat Pasal 120 Ayat (5) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tegas dijelaskan bahwa rekomendasi komisi ASN bersifat mengikat para pihak, hanya saja karena kewenangan komisi ASN tidak berdampak langsung pada aspek kepegawaian maupun keuangan terhadap ASN, makas sulit membuat efek jera.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menilai jual beli jabatan ini bisa terjadi karena lemahnya pengawasan dan aparat pengawas intern pemerintah tidak berfungsi karena takut dengan kepala daerah.

“Salah satu kelemahan kita di APIP. Pengawasan di daerah enggak jalan karena APIP takut dengan sekda, takut dengan kepala daerah,” ujar Tjahjo dalam webinar yang digelar KPK.

Penulis: Mutiara Wulan Jaya
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI