Menyaring Filsafat dengan Berfikir Historis, Menemukan Esensi

Ahli Filsuf
Ilustrasi Berfikir Historis (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Manusia yang sekarang ini menguasai bumi tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah hasil evolusi yang sangat panjang dari nenek moyang terdahulu, mulai dari homo habilis hingga sekarang homo sapiens.

Tidak hanya evolusi secara fisik, namun evolusi dalam aspek kerja otak atau psikologis juga sangat signifikan terjadi, mulai dari tahap awal penggunaan Bahasa, hierarki sosial hingga pemikiran kompleks saat ini yang merujuk pada penggunaan sumber daya alam dan teknologi yang mutakhir.

Perkembangan kerja otak atau psikologis dapat dilihat dari bagaimana cara pengintrepretasian sebuah peristiwa atau penyelesaian sebuah masalah oleh manusia di zaman tersebut dengan mencari sebuah kebenaran yang mutlak yang bersifat ilmiah dapat ditangkap dengan rasio manusia.

Bacaan Lainnya

Orang yang mahir di bidang tersebut sering disebut pemikir atau filsuf. Para pemikir ini berkembang sesuai dengan zaman dan landasan pemikiran yang ada, mulai dari Thales di zaman Yunani Kuno hingga filsuf kontemporer yang teori mereka masih digunakan hingga saat ini seperti Charles S Pierce dengan pragmatismenya.

Filsafat itu sendiri berasal dari kata Philos dan Sopein, dengan Philos dapat diartikan sebagai mencintai, mencari, atau pencarian akan dan istilah Sopein dapat diartikan sebagai cinta, kebijaksanaan atau kebenaran, sehingga filsuf itu sendiri adalah orang yang sedang mencari atau dalam perjalanan untuk mengungkap atau mencari kebenaran baik itu dalam suatu permasalahan ataupun dalam suatu peristiwa yang terjadi di kehidupan.

Dengan pencarian bukti-bukti yang mendukung akan opini yang tercipta dari pemikiran atau rasio. Sehingga jika seorang mengaku sebagai filsuf namun mengklaim bahwa Beliau telah menemukan sebuah kebenaran orang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai filsuf.

Di mulai dari zaman Yunani Kuno, para pemikir yang lahir dari zaman Yunani Kuno memiliki pemikiran yang sangat erat kaitannya dengan alam atau pemikiran para filsuf dipusatkan pada alam dan bagaimana terciptanya alam semesta, sehingga filsuf atau pemikir di zaman ini sering disebut filsuf alam.

Seperti Thales yang memunculkan pemikiran tentang alam semesta yang terwujud dimulai dari air dikarenakan tempat tinggal Thales yang merupakan daerah tepian pantai yang dekat dengan air dan juga pemikiran bahwa manusia itu sendiri tidak bisa hidup tanpa air.

Thales juga memiliki murid bernama Anaximandes atau Anaximandros yang mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan ini berasal dari air.

Jadi, sebetulnya teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Robert Darwin bukan merupakan suatu teori yang baru, namun Anaximandes sudah mengemukaan teori tersebut. Akan tertapi, karena belum adanya bukti data valid yang empiris dan riset yang mendukung pada waktu tersebut maka masih sangat lemah.

Filsuf yang selanjutnya adalah Heraclitus yang mengatakan bahwa penciptaan dunia dimulai dari api, dengan dasar bahwa Heraclitus hidup di daerah kaki gunung berapi sehingga setiap hari beliau melihat percikan api.

Filsuf ketiga adalah Parmenides yang mengatakan bahwa Dunia ini diciptakan dari satuan terkecil namun belum terspesifikan apa yang dimaksud dari satuan terkecil tersebut.

Sebagai perumpamaan di dalam sebuah rumah, ketika sebuah rumah kita dalami lebih lanjut di dalam rumah tersebut terdapat rangka rumah, yang jika di dalami lagi akan muncul pasir, di dalam pasir terdapat butiran pasir yang dimaksudkan merupakan apa yang dimaksudkan oleh Parmenides yaitu satuan terkecil.

Yang keempat adalah Democritus hampir sama dengan pemikiran Parmenides yaitu dunia ini tercipta dari satuan terkecil namun Democritus memunculkan suatu istilah yaitu atom, dengan A yaitu tidak dan Thome yang berarti terbagi sehingga sebenarnya istilah Atom sudah muncul sejak di era filsuf Democritus.

Dari keempat filsuf tersebut kita bisa melihat bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan modern awalnya dibangun dari argumen-argumen yang sebenarnya dilihat secara rasio atau empiris tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan baru pada tatanan opini atau argumen.

Baca juga: Filsafat Ilmu dalam Memajukan Pendidikan Bahasa

Sebelum era filsafat Yunani Kuno ada sebuah tradisi yang dinamakan sebagai tradisi Bios-Theoritikos. Bios artinya mengadah dan theoritikos artinya berdoa yang kemudian kata terotikos menjelma menjadi kata teori yang kita kenal hingga saat ini.

Secara tidak langsung Bios-Theoritikos mengandaikan bahwa sebenarnya antara teori dan praktek itu tidak bisa dipisahkan tetapi karena muncul para filsuf alam seperti Thales dan Democritus yang sekedar menafsirkan alam ini untuk pertama kali teori dan praktek terpecah.

Di zaman pertengahan sendiri, di sini banyak pemikiran-pemikiran tentang filsafat yang sangat erat kaitannya dengan agama, dikarenakan dominasi gereja pada waktu tersebut.

Pertanyaan yang sering kali muncul adalah “Apakah dengan mempelajari filsafat akan semakin menjauhkan kita dari agama dan ketuhanan?” Argumen yang beredar seperti ini merupakan salah satu kesalahan dalam pemahaman filsafat itu sendiri, karena filsafat adalah suatu mode of thinking atau cara berfikir jadi tergantung bagaimana Anda dapat menggunakan filsafat.

Filsafat dapat digunakan untuk menyerang agama tetapi Anda juga bisa menggunakan filsafat untuk lebih memperkuat doktrin agama.

Sebagai contoh di era ini muncul filsuf seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas. Santo Agustinus berupaya untuk membuktikan kebenaran adanya surga dan neraka dengan meminjam pemikiran Plato mengenai konsep Forma, sementara Santo Thomas Aquinas memimjam pemikiran Aristoteles tentang Causa Sui atau Causa Prima yaitu tentang penggerak yang tak tergerakkan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Inilah mengapa Bertrand Russel megatakan bahwa sesungguhnya filsafat merupakan lahan kosng yang diperebutkan oleh ilmu pengetahuan maupun agama.

Beberapa pihak mengatakan bahwa awalnya filsafat bukan ditujukan untuk mencari kebenaran tetapi untuk menyusun pertanyaan yang benar, dan ini cukup masuk akal karena siapapun bisa menjawab atau asal menjawab, tetapi tidak setiap orang bisa menyusun pertanyaan dengan benar.

Filsafat sebagai upaya untuk menyusun pernyataan benar kiranya dicontohkan melalui retorika klasik antara Socrates dengan Plato. Socrates bertanya “Apa saja pengetahuan yang ada?“, kemudian dijawab oleh Plato “Bagaimana cara mendapat pengetahuan itu?”, lalu dijawab lagi oleh Socrates “Apa manfaat pengetahuan itu?“.

Tiga pertanyaan itu yang kemudian menjadi bangunan ontologi, epistemologi, dan aksiologi di mana setiap ilmu pengetahuan, disiplin ilmu, bahkan juga ideologi memiliki tiga bangunan inti tersebut.

Apa itu ontologi? kita bisa misalkan dengan motor ketika di tataran ontologi kita bisa bertanya apa itu motor, motor adalah alat transportasi roda empat dan lain sebagainya, dengan kata lain tataran ontologi berbicara tentang definisi.

Sementara ditataran epistemologi kita bisa bertanya apa kerangka dari motor, motor tersusun dari roda kerangka dan lain sebagainya. Untuk tatanan aksiologi kita bisa bertanya apa manfaat dari motor, motor dapat digunakan untuk mobilitas dari satu tempat ke tempat lain.

Lebih lanjut, perkembangan filsafat sendiri dapat kita lacak dari mulai filsafat klasik, filsafat skolastik, modern, dan filsafat postmodern.

Baca juga: Peran Filsafat Ilmu dalam Mencari Kebenaran yang Hakiki

Ada beberapa karakter yang membedakan di periode-periode perkembangan filsafat ini, umumnya filsafat klasik atau skolastik masih kental dengan nuansa metafisika, baru dengan munculnya filsafat modern yang lahir karena renaissance di Eropa, nuansa filsafat menjadi rasional, universal, dan ahistoris.

Rasional artinya segala sesuatunya yang dikaji haruslah sesuai dengan akal sehat yang kemudian terperciklah dimensi empirisme yaitu segala sesuatu haruslah terindra dan sesuatu yang tidak terindra sulit untuk masuk di dalam kajian filsafat berbeda dengan filsafat klasik yang kental dengan nuansa metafisika.

Universal berarti pemikiran filsafat itu berlaku dalam masyarakat manapun, antara masyarakat barat maupun Timur sama perlakuannya.

Kemudian historis berarti pemikiran filsafat itu berlaku hingga kapanpun. memasuki filsafat postmodern seluruh karakter dari filsafat modern tentang bahwa hal-hal irasional harusnya dapat dikaji.

Kemudian sebuah pemikiran bersifat universal haruslah dipertanyakan karena situasi dan kondisi setiap masyarakat berbeda-beda satu sama lain, begitu pula karakter dari ahistoris harus diperdebatkan karena sebuah pemikiran terus berkembang mengikuti dinamika zaman.

 

Penulis: Akbar Rizky Adi Saputra
Mahasiswa Psikologi, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI