Pendidikan Sebagai Humanisasi atau Dehumanisasi

Tujuan dari pendidikan adalah untuk membantu peserta didik agar dapat berkembang menjadi sosok manusia yang memiliki potensi secara intelektual melalui proses transfer of knowledge dan juga berpotensi secara spriritual melalui proses transfer of value yang terkandung di dalamnya.

Upaya yang dibawa dalam proses pendidikan merupakan proses yang padu dan komprehensif. Oleh sebab itu, pendidikan sebaiknya mampu memperhatikan semua aspek perkembangan peserta didik sebagai manusia yang seutuhnya, yakni dari aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis tidak tidak direduksi menjadi pemenuhan kebutuhan praktis sesaat.

Tugas humanistik dari pendidikan seakan luntur oleh adanya proses dehumanisasi dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Humanisasi dan dehumanisasi merupakan dua hal yang bersifat tolak belakang.

Bacaan Lainnya

Dehumanistik dalam pendidikan memiliki maksud sebagai proses pendidikan yang hanya terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan saja (transfer of knowledge), sedangkan humanisasi merupakan sebuah proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.

Dalam realita saat ini, instansi pendidikan lebih cenderung pada proses transfer ilmu dan keahlian saja daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian dari peserta didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengeahuan yang dimilikinya.

Padahal, pendidikan yang hanya sekedar melalukan transfer ilmu dan mengabaikan pembentukan moral memiliki kecenderungan terhadap ciri utama dari dehumanisasi pendidikan.

Contoh lain dari lunturnya tugas humanistik dalam pendidikan yaitu perkelahian antar siswa, baik antar individu maupun kelompok dari sekolah lain, aborsi, penyalahgunaan internet, penggunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.

Pelanggaran etika dan norma-norma lainnya yang telah menjamur di kalangan pelajar ini menunjukkan bahwa telah terjadi dehumanisasi pendidikan hampir pada setiap jenjang pendidikan.

Kenyataan dari proses pembelajaran yang terjadi pada setiap sekolah kurang memberikan peluang atau kesempatan kepada peserta didik agar dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan nalar kritisnya.

Peserta didik sering sekali diberikan perlakuan secara tidak manusiawi dan kadang pendapatnya kurang didengar, karena pendidik merasa bahwa mereka sebagai orang yang lebih dewasa dari peserta didik.

Pendidik menganggap dirinya sebagai “penguasa” dengan menempatkan dirinya sebagai orang yang “maha tahu”, mendikte, kemudian berdiri di hadapan para peserta didik menjelaskan tentang ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Sedangkan peserta didik hanya mendengar, menerima, dan diatur dalam kondisi yang menakutkan, sehingga keaktifan dan partisipasi siswa diabaikan. Pendidik menganggap peserta didik sebagai objek yang hanya patuh, mendegarkan, mencatat, menghafal, dan selalu dijejali pengetahuan tanpa ada terjadinya proses interaksi timbal balik atau partisipasi dari peserta didik.

Pola pendidikan yang seperti itu akan membentuk budaya yang serba verbal, mekanistik, dan dangkal sehingga jauh dari nilai-nilai humasnistik.

Kondisi empiris lainnya menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak terjadi praktik pendidikan yang membatasi kebebasan hak yang sebenarnya yang dimiliki oleh seorang manusia. Peserta didik masih saja menjadi objek semata dan bukannya subjek yang seharusnya bisa berkembang.

Pendidikan masih sering sekali dianggap sebagai pabrik intelektual yang selalu dituntut agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh dan handal, sehingga pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada sebagian aspek saja, misal hanya fokus pada aspek intelektual saja, sedangkan aspek lain belum mendapatkan posisi yang kuat atau intensif, terutama pada aspek afektif.

Hal tersebut mengakibatkan pendidikan kurang mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan lainnya. Padahal inti dari sebuah pendidikan yaitu agar dapat melahirkan manusia yang cerdas, kreatif, dan humanis.

Melihat dari kenyataan tersebut, perlu adanya kesadaran bersama dari semua pelaku pendidikan dalam berbagai tingkatan agar dapat mengembalikan pendidikan pada tujuan yang sebenarnya yaitu sebuah proses yang humanis.

Proses humanis tersebut tidak hanya memberikan pengetahuan mengenai bahan-bahan yang akan diajarkan, melainkan juga mengajak untuk menghayati, mencoba menelusuri dan memahami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan berbagai dimensinya. Tidak hanya potensi intelektual dari para peserta didik saja yang tersentuh, akan tetapi kemanusiaannya sendiri juga akan tersentuh.

Semua karakteristik manusia sudah seharusnya dapat berkembang secara optimal lewat dunia pendidikan. Pada proses humanisasi dalam pendidikan, seorang pendidik sangat menghindari adanya penekanan dan pemaksaan pada peserta didik.

Seorang peserta didik akan diterima apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangnya, sehingga tidak ada lagi yang merasa tertekan baik dari pihak siswa maupun pendidik, psikis maupun fisiknya.

Pendidikan memang memiliki tugas yang berat untuk dapat membantu peserta didik agar dapat berkembang secara normatif dan menjadi lebih baik dalam segala aspeknya, sehingga pengembangan potensi diri peserta didik yang mencakup intelektual dan spriritual menjadi kunci keberhasilan dalam pendidikan.

Faris Tri Prihantono
Mahasiswa Jurusan Kurikulum & Teknolologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI