Penerapan Sistem Integrasi Maggot (SI GOT) sebagai Solusi Permasalahan Lingkungan

Penerapan Sistem Integrasi Maggot

Pendahuluan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan menyimpan banyak aset berharga yang harus dijaga kelestariannya. Namun, akhir-akhir ini di tengah pandemi covid-19 isu lingkungan kembali menjadi sorotan akibat tinggginya produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. 

Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020, produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton dengan jumlah penduduk 270 juta, dari data tersebut sektor rumah tangga merupakan penghasil sampah terbesar mencapai 38,3% diikuti pasar tradisional sebesar 17%. Tidak heran jika produksi sampah organik menjadi penyumbang terbesar dengan komposisi sisa makanan sebesar 40,6% dan sampah kayu, ranting dan daun sebesar 13,9%.

Baca Juga: Menilik Pandemi Covid-19 Munculnya Kasus Positif di Lingkungan Sekolah

Bacaan Lainnya

Saat ini upaya pelestarian lingkungan belum begitu serius dilakukan. Tidak hanya persoalan sampah, permasalahan kesuburan tanah saat ini juga menjadi ancaman serius untuk keberlanjutan usaha pertanian. Salah satu penyebab utama adalah penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus dan berlebihan. Padahal setiap tahun terjadi kelangkaan pupuk yang sangat merugikan petani, sehingga ketergantungan pada pupuk kimia harus mulai dikurangi.

Di samping itu, masalah selanjutnya yang muncul adalah harga pakan ternak terutama untuk unggas mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Syailendra menyebutkan harga pakan telah naik 30 persen sejak pertengahan 2020 sampai akhir tahun. Dari Republika.co.id. tahun 2021 dipaparkan bahwa Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) merespon adanya fenomena kenaikan harga jagung yang berimbas langsung pada kenaikan pakan ternak, untuk itu Ditjen PKH langsung melakukan koordinasi soal ketersediaan pakan ternak untuk industri pakan dan peternak pada harga yang wajar.

Padahal menurut Azizah, dkk. (2013), 60-80% dari biaya produksi adalah pakan, pakan menjadi faktor penting dan kunci keberhasilan dalam budidaya. Sehingga sangat diperlukan pakan alternatif terutama bahan pakan sumber protein. Sebenarnya beberapa masalah ini memiliki hubungan yang sangat erat dan saling terikat. Sejauh ini lemahnya inovasi dalam mengintegrasikan sub sistem yang ada menjadi persoalan utama yang harus diselesaikan.

Isi

Sampah organik merupakan jenis sampah yang mudah terurai secara alami tanpa campur tangan manusia. Hal ini yang menjadikan penanganan sampah organik kurang diperhatikan karena dianggap aman dan tidak mencemari lingkungan. Sejauh ini banyak sampah organik yang dibiarkan begitu saja atau bahkan dibakar demi kebersihan lingkungan. Karakter yang mudah membusuk, sampah organik  sangat disukai oleh vektor penyakit seperti bakteri, jamur dan larva serta serangga untuk tumbuh dan berkembang biak. Secara umum hal ini sangat merugikan, namun ada salah satu larva serangga yang berpotensi menyelesaikan persoalan ini yaitu maggot.

Maggot (Hermetia illucens) merupakan organisme yang berasal dari telur Black Soldier Fly yang mengalami metamorfosis pada fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa (Dengah et al. 2016). Maggot (larva BSF) dapat mengonsumsi berbagai macam pakan, diantaranya adalah sampah dapur, buah-buahan, sayuran, hati, limbah ikan, limbah perkotaan, limbah manusia, dan kotoran hewan. Maggot dikenal bukan sebagai hama, karena bentuk dewasanya tidak tertarik pada habitat manusia atau makanan.

Sebenarnya apabila dilihat lebih dalam, sampah organik memiliki kaitan erat terhadap keberlangsungan lingkungan terutama kesuburan tanah. Namun, ironisnya di tengah produksi sampah organik yang tinggi, kesuburan tanah terutama lahan pertanian milik petani justru mengalami trend penurunan yang menghawatirkan. Penurunan kesuburan tanah sebagian disebabkan oleh adanya kehilangan unsur hara dari tanah, yang dapat terjadi melalui pemanenan hasil tanaman (panen hara), aliran air permukaan (run off), pelindian (leaching), dan penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan.

Baca Juga: Mahasiswa UMM: Lingkungan Sehat bersama Sabun Eco Enzyme

Sejak tahun 1970, lahan-lahan pertanian di Indonesia mulai ditaburi pupuk anorganik (pupuk kimia/sintesis) secara massal. Akibatnya, makin lama tanah pertanian di Indonesia menjadi tidak subur, hal ini tentu akibat pada pemakaian pupuk kimia yang terlalu berlebih untuk menggenjot produksi. Disamping itu, produksi bahan pokok semakin menurun dan permasalahan di peternakan yaitu harga pakan ternak unggas semakin mahal.

Melihat kondisi tersebut muncul gagasan untuk mengintegrasikan pemanfaatan maggot sebagai pemakan sampah organik untuk menghasilkan bahan baku pakan dan pupuk organik. Maggot (larva BSF) mampu mengurai sampah organik sebesar 70% dari sampah yang diberikan, sisanya merupakan sampah bertekstur kasar dan hasil pupuk organik yang telah diurai oleh maggot.

Menurut Widjastuti, et al. (2014), maggot BSF mengandung 46,58% protein kasar, 4,32% serat kasar, 23,56% lemak kasar, 2,39% kalsium, 1,03% fosfor, dan 3.457 kcal/kg ME. Kandungan protein yang tinggi tersebut membuat pakan dari maggot BSF dapat digunakan sebagai pengganti tepung ikan dalam ransum unggas 50% bahkan 100% dalam ransum broiler tanpa adanya efek negatif terhadap kecernaan bahan kering, energi, dan protein (Rambet dkk. 2016). Sedangkan hasil uji kandungan pupuk kasgot (bekas maggot)  memiliki N 0,31%, P 1,39%, K 4,42%, pH 6,87, kadar air 41,1%, C-organik 17,66%, dan rasio C/N 56,97.

Dalam mewujudkan integrasi sistem maggot perlu kerja sama dan partisipasi aktif berbagai pihak. Masyarakat dalam hal ini golongan petani, peternak, dan masyarakat umum merupakan sumber penghasil sampah organik memiliki peran penting terhadap ketersediaan pakan maggot dan kebersihan lingkungan. Pengelola SI GOT (Sistem Integrasi Maggot) merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola sampah organik dan melakukan budidaya maggot. Disamping itu, tim pengelola memiliki kewajiban menghasilkan produk maggot dengan harga terjangkau dan pupuk organik yang berkualitas.

Produk maggot untuk membantu para peternak unggas, sedangkan pupuk organik bekas maggot untuk membantu meningkatkan kesuburan tanah dan memenuhi kebutuhan pupuk organik petani. Dukungan pemerintah daerah setempat sangat diperlukan dalam membantu perizinan dan penyediaan sarana pendukung agar  SI GOT (Sistem Integrasi Maggot) dapat menjadi milik bersama untuk kesejahteraan bersama. Sehingga tumbuh budaya gotong royong yang baik diantara masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan masing-masing.Gagasan ini merupakan langkah dalam mengatasi permasalahan lingkungan di masyarakat terutama masalah sampah organik dan kesuburan tanah.

Penutup

Dengan diterapkannya sistem integrasi maggot maka permasalahan sampah organik dapat ditangani dengan efektif. Biaya operasional dalam pemeliharaan hingga menghasilkan produk maggot dan pupuk organik akan lebih efisien. Dampak ini akan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, khususnya para petani dan peternak. Masyarakat akan terbantu dalam menangani masalah sampah organik sehingga tercipta lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Baca Juga: Mahasiswa KKN Untag Surabaya Lakukan Bina Lingkungan

Sehingga dari budidaya maggot yang terintegrasi, produsen maggot akan sedikit mengeluarkan biaya produksi sehingga ketika produk maggot masuk ke tangan konsumen (peternak dan petani) harga lebih terjangkau. Peternak dapat memanfaatkan maggot tersebut sebagai pakan ternak unggas untuk mengganti penggunaan pakan komersial yang cenderung mahal. Selain itu, hasil samping berupa bekas maggot dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berdampak pada peningkatan kesuburan tanah khususnya lahan pertanian secara keberlanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah N., H.D. Utami, dan B.A. Nugroho. 2013. Analisis Pola Kemitraan Usaha Peternakan Ayam Pedaging Sistem Closed House di Plandaan Kabupaten Jombang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 23(2): 1-5.

Dengah, S.P., J.F. Umboh, C.A. Rahasia, dan Y.H. Kowel. 2016. Pengaruh penggantian tepung ikan dengan tepung maggot (Hermatia illucens L.) dalam ransum terhadap performans broiler. Jurnal Zootek. 36(1): 51-60.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2021. Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah. SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2021 melalui https://sipsn.menlhk.go.id/.

Muhammad, M. 2021. Kementan Koordinasi Atasi Kenaikan Harga Pakan. Diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/qs06js380/kementan-koordinasi-atasi-kenaikan-harga-pakan. [7 Desember 2021].

Rambet, V., J.F. Umboh., Y.L.R. Tulung., dan Y.H.S. Kowel. 2016. Kecernaan Protein dan Energi Ransum Broiler yang Menggunakan Tepung Maggot (Hermetia Illucens) sebagai Pengganti Tepung Ikan. Zootec. 36(1): 13-22.

Widjastuti, T., R. Wiradimadja., and D. Rusmana. 2014. The Effect of Substitution of Fish Meal by Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) Maggot Meal in The Diet on Production Performance of Quail (Coturnix Coturnix Japonica). Animal Science. 57(1): 125-129.

Wahhab Rizqus Syihab
Mahasiswa Program Studi Peternakan
Universitas Brawijaya

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI