Promo Online Shop Buat Kalap!!

compulsive buying
Ilustrasi: istockphoto

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, era globalisasi pun berputar ke arah yang lebih maju dan canggih di mana sebagian besar kehidupan dan kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui kegiatan online.

Hal ini disadari oleh seluruh kalangan dari anak-anak, remaja, hingga dewasa salah satunya berbelanja melalui e-commerce  atau online shop lainnnya. Mulai dari kebutuhan pakaian, alat elektronik, hingga makanan, dan barang-barang lainnya.

Terkadang terdapat promo ataupun potongan harga sehingga mansusia “tergiur” untuk membeli banyak barang lainnya.

Bacaan Lainnya

Kondisi ini pun banyak terjadi di kalangan remaja di mana biasanya remaja belum bisa mengatur skala prioritas, sehingga promo online shop ini membuat mereka ingin membeli dan memiliki banyak barang yang diinginkan tanpa melihat kebutuhannya.

Namun sayangnya tanpa disadari, promo tersebut merupakan target marketing dari online shop agar customer membeli barang dengan jumlah yang lebih banyak.

Pada kondisi itu terkadang seseorang lepas kontrol terhadap diri sendiri untuk membedakan antara kebutuhan atau keinginan, saat kondisi seseorang terlalu sering melakukan kegiatan berulang berbelanja tanpa kontrol diri sendiri perlu diwaspadai karena akan memungkinkan seseorang terkena gangguan “compulsive buying”.

Compulsive buying atau pembelian kompulsif mengacu pada kondisi di mana pelanggan cenderung melakukan pembelian berulang secara berlebihan dan menunjukkan kurangnya kendali impulsif atas pembelian (Japutra dkk, 2017).

Pembelian kompulsif dapat mengalami kecemasan dan depresi karena biasanya pembeli kompulsif merupakan orang-orang yang memiliki rasa percaya diri yang rendah karena tidak percaya diri dengan apa yang dimilikinya, mereka harus membeli sesuatu untuk meningkatkannya.

Hanya ketika Anda memiliki kepercayaan diri barulah perilaku ini akan efektif. sebagai cara untuk mengurangi perasaan negatif, stres atau kecemasan (Faber dalam Irwan dkk, 2022).

Secara ringkasnya compulsive buying sendiri merupakan kondisi di mana seseorang tidak memiliki kontrol diri dalam segi membeli barang kebutuhan yang dilakukan tanpa adanya rencana dan secara berulang.

Compulsive buying sendiri dikenal sebagai bagian dari adiksi perilaku dalam DSM-5, termasuk dalam sub kategori seperti “adiksi seks” dan “adiksi olahraga.”

Namun, tidak termasuk sebagai diagnosis resmi dalam DSM-5 karena kurangnya bukti yang memadai dari ulasan untuk menetapkan kriteria diagnostik yang diperlukan untuk menggolongkannya sebagai gangguan mental yang baru (American Psychiatric Association dalam Amalia 2018).

Menurut para ahli, prevalensi compulsive buying di Amerika Serikat diperkirakan antara 2 hingga 8 persen, dan lebih banyak ditemukan pada perempuan. Onset compulsive buying biasanya terjadi pada akhir remaja atau awal dewasa, dan jarang dimulai setelah usia 30 tahun.

Perilaku compulsive buying biasanya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang muncul dalam diri seseorang, misalnya psikologis dan berbagai hal yang menyangkut kepercayaan diri seseorang.

Faktor eksternal adalah faktor yang muncul dari luar diri seseorang, misalnya sosiologis dan keluarga. Sosiologis adalah contohnya pengaruh dari televisi, ajakan teman, kemudahan dalam penggunaan kartu kredit.

Keluarga juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan compulsive buying contohnya seperti, status sosial-ekonomi keluarga, sumber daya keluarga, dan ketersediaan orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga (Gwin, dalam Sari, 2016).

Tidak berhenti pada faktor-faktor yang telah disebutkan, namun faktor lingkungan pun juga dapat menjadi pengaruhnya antara lain akses mudah ke kredit dan toko, pemasaran yang mendorong konsumsi berlebih, dan peristiwa hidup yang menegangkan.

Pada artikel kali ini kami mencoba untuk membandingkan antara gangguan compulsive buying dengan gangguan impulsive buying. Dari apa yang sudah kami lihat, 2 gangguan ini memiliki ciri khas dalam perilaku yang sulit untuk mengontrol keinginan belanjanya, namun terdapat perbedaan pada motivasi dan pola perilaku mendasarnya.

Pada compulsive buying biasanya perilaku yang muncul biasa dengan berbelanja dengan tidak terkontrol, berlebihan, dan berulang yang menyebabkan gangguan emosional, finansial, dan sosial pada individu yang mengalaminya sedangkan impulsive buying sendiri ditunjukan dengan perilaku berbelanja yang spontan, tidak terencana, dan tidak dipertimbangkan dipicu oleh dorongan emosional, hasrat, atau rangsangan eksternal.

Jika pada gangguan compulsive buying biasanya disebabkan oleh kebutuhan untuk mencari kesenangan, menghilangkan perasaan tertekan, ataupun meningkatkan citra diri berbeda dengan impulsive buying yang disebabkan oleh keinginan sesaat saja ataupun keinginan untuk memuaskan kebutuhan segera.

Dampak dari 2 gangguan ini pun juga berbanding terbalik, compulsive buying sendiri akan berdampak pada keseharian dalam artian akan mengganggu fungsi sehari-hari, menyebabkan masalah finansial atau sosial yang serius, dan bisa dianggap sebagai bentuk kecanduan perilaku.

Berbeda dengan impulsive buying yang tidak terlalu mengganggu keseharian, tidak menyebabkan masalah finansial atau sosial yang serius, dan tidak bisa dianggap sebagai bentuk kecanduan perilaku.

Karena perilaku compulsive buying ini bisa berkaitan dengan gangguan kecemasan, depresi, rendahnya harga diri, atau kurangnya kontrol diri maka ada beberapa intervensi yang bertujuan untuk mengurangi ataupun menghilangkan perilaku berbelanja yang merugikan salah satunya dengan metode pendekatan cognitive behavioral therapy (Yuliyanawati dkk, dalam Virly & Muhid, 2023).

Intervensi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir, keyakinan, dan sikap individu yang berkontribusi terhadap compulsive buying.

Intervensi ini menggunakan teknik-teknik seperti identifikasi distorsi kognitif, restrukturisasi kognitif, eksposur, dan pencegahan response. Intervensi ini dilakukan dalam bentuk sesi individual atau kelompok yang dipimpin oleh seorang terapis.

Penelitian yang dilakukan oleh (Mitchell et al.) menunjukkan bahwa CBT efektif untuk mengurangi frekuensi, durasi, dan intensitas compulsive buying pada pasien di Amerika Serikat. Lalu ada pula intervensi berupa konseling kelompok regulasi diri.

Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls, emosi, dan motivasi mereka dalam berbelanja. Intervensi ini menggunakan teknik-teknik seperti menetapkan tujuan, membuat rencana, memantau perilaku, mengevaluasi hasil, dan memberikan umpan balik.

Intervensi ini dilakukan dalam bentuk pertemuan kelompok yang dipandu oleh seorang konselor profesional. Penelitian yang dilakukan oleh (Nurhayati et al.) menunjukkan bahwa konseling kelompok regulasi diri efektif untuk meningkatkan regulasi diri dan mengurangi compulsive buying pada mahasiswa di Yogyakarta.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa compulsive buying merupakan suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan dorongan yang sulit ditahan untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan atau berlebihan.

Orang-orang yang mengalami compulsive buying sering merasa cemas, stres, atau rendah diri sebelum berbelanja, dan merasa senang, puas, atau lega sesaat setelah berbelanja. Namun, perasaan positif ini tidak bertahan lama, dan segera digantikan oleh rasa bersalah, malu, atau frustasi karena tidak dapat mengendalikan perilaku berbelanja.

Namun compulsive buying belum diakui sebagai gangguan mental tersendiri oleh American Psychiatric Association (APA) dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Hal ini dikarenakan compulsive buying dianggap belum memenuhi kriteria yang ada.

Meskipun demikian, banyak peneliti yang mengusulkan untuk mengklasifikasikan compulsive buying sebagai salah satu bentuk gangguan adiktif, karena compulsive buying memiliki beberapa karakteristik yang mirip dengan gangguan adiktif lainnya, seperti kecanduan judi, kecanduan internet, atau kecanduan seks.

Compulsive buying dengan impulsive buying sendiri walaupun sama-sama memiliki kecenderungan akan suka berbelanja.

Tapi keduanya memiliki detail yang berbeda akan dampak yang diterima oleh orang yang melakukannya. Untuk saat ini, intervensi yang telah diuji sudah mulai beragam. Antara lain yaitu: 1. Konseling; 2. Terapi Kognitif Perilaku (CBT); dan 3. Farmakoterapi.

Penulis:
1.
Adinda Putri J.
2. Monica Nadine Giselline K.
3. Putri Shabira
4. Daiva Alyaa H.
Mahasiswa Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Daftar Pustaka

Alfitman, A., Dharmmesta, B. S., & Aritejo, B. A. (2021). Konsep pembelian kompulsif sebuah keterpaksaan. MIX: Jurnal Ilmiah Manajemen, 11(02), 349516.

Amalia, T. Y. (2018). Compulsive buying disorder. Referat. Universitas Jember : Jember.

Dwarawati, D. (2015). Pengaruh konseling kelompok regulasi diri terhadap peningkatan regulasi diri pada penderita pembelian komplusif. JIP (Jurnal Intervensi Psikologi), 7(2), 191-214.

Granero, R., Fernández-Aranda, F., Mestre-Bach, G., Steward, T., Baño, MDel Pino-Gutiérrez, A. & Jiménez-Murcia, S. (2016). Compulsive buying behavior: Clinical comparison with other behavioral addictions. Frontiers in Psychology, 7, 914.Granero, R., Fernández-Aranda, F., Mestre-Bach, G., Steward, T., Baño, M., Del Pino-Gutiérrez, A., … & Jiménez-Murcia, S. (2016). Compulsive buying behavior: Clinical comparison with other behavioral addictions. Frontiers in Psychology, 7, 914.

Irwan, W. (2021). Gambaran perilaku compulsive buying pada perempuan dewasa awal. Jurnal Psikologi Karakter, 2(1). 36-44.

Purnama, R. A. (2015). Studi deskriptif mengenai bentuk impulse buying pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran usia 18-20 tahun. Universitas Padjajaran.

Rozana, A., Nugrahawati, E. N., & Dwarawati, D. (2016). Studi korelasi pola asuh, religiusitas dengan impulse buying pada mahasiswa Universitas Islam Bandung. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2), 235-248.

Sari, R. K. (2016). Kecenderungan perilaku compulsive buying pada masa remaja akhir di Samarinda. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(1).

Virly, N., & Muhid, A. (2023). Mengubah perilaku compulsive buying pada remaja melalui cognitive behavioral therapy: Literature Review. Psycho Aksara: Jurnal Psikologi, 1(1), 9-18.

Wibawa, B. M., Piero, M., & Miyagi, R. A. (2020). Investigasi perilaku compulsive buying berdasarkan pembayaran non-tunai, lingkungan sosial, dan kondisi keuangan. Jurnal Sosial Humaniora (JSH), 13(1), 1-11.

Wibisono, A. B., & Fachira, I. (2021). Factors influencing online impulsive buying behavior in Indonesia. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 37(1), 127-137.

Artikel Web

Baer, B. (2023). Compulsive shopping: symptoms, causes, and treatment. diunduh pada 31 Agustus 2023

https://therapist.com/behaviors/compulsive-shopping/

Emamzadeh, A. (2022). Compulsive shopping: a guide to causes and treatment. diunduh 27 Juni 2022

https://www.psychologytoday.com/us/blog/finding-new-home/202206/compulsive-shopping-guide-causes-and-treatment

Hartney, E. (2022). The difference between impulsive and compulsive shopping. diunduh 7 Maret 2022.

https://www.verywellmind.com/difference-between-compulsive-and-impulsive-shopping-22336

Kelly, O. (2021). Understanding compulsive shopping disorder. diunduh pada 18 November 2021

https://www.verywellmind.com/what-is-compulsive-shopping-disorder-2510592

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI