Proses Terjadinya Pendidikan Sinkrestisme di Pura Penyagjagan Desa Catur Kintamani

Pura Penyagjagan Desa Catur Kintamani
Ilustrasi Bali, Indonesia (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Kintamani merupakan Kecamatan di Kabupaten Bangli Bali, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam yang populer di Negara Indonesia. Selain keindahan alamnya yang menarik hati, Kintamani juga memiliki kekayaan budaya yang beragam, termasuk budaya Tionghoa.

Kehadiran kepercayaan Hindu-Konghucu di wilayah Nusantara ini merupakan tonggak dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, dengan kehadiran budaya ini memunculkan adanya sinkretisme budaya.

Sinkretisme merupakan kepercayaan Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia, memiliki konsekuensi langsung dari adanya kontak kebudayaan antara dua kebudayaan besar yaitu India, Cina, dan Indonesia pada masa lalu.

Bacaan Lainnya

Kontak ini telah berlangsung dengan sangat meyakinkan dalam gelombang penyebaran kebudayaan India dan Cina ke wilayah Asia Tenggara pada permulaan waktu masehi. Berbagai faktor untuk menyuburkan migrasi kultural ini ke wilayah yang luas termasuk Indonesia.

Pengaruh ini sangat besar dan telah meresap sangat dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, sistem kepercayaan, adat istiadat yang Bhinneka di wilayah ini. Jejak-jejaknya dapat dilihat dan dirasakan, sehingga memperkaya kebudayaan nasional.

Kehadiran kepercayaan Hindu-Budha di wilayah Nusantara ini merupakan tonggak penting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, dengan ini Bangsa Indonesia mulai mengenal aksara, melahirkan karya sastra, filsafat dan memasuki masa sejarah.

Kebudayaan Bali merupakan suatu kebudayaan yang berkarakter unik karena merupakan perpaduan antara beberapa unsur budaya seperti budaya prasejarah yang berakar pada masa bercocok tanam dan masa logam, masa pengaruh agama Hindu, Budha, dan masa modern dengan datangnya kebudayaan modern dari dunia barat. Keunikan budaya ini dikemukakan oleh ilmuwan Frita A. Wegner dalam bukunya Indonesia The Art of Island Group (Ardana, 20008:1).

Setelah datangnya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, disusul dengan kedatangan orang-orang Tiongkok ke Bali pada permulaan abad Masehi, kemudian terjadilah proses sinkretisme antara budaya asli dengan budaya Hindu dan budaya luar lainnya.

Keberadaan bangunan Pura di Bali memiliki suatu makna yang sangat penting. Secara harfiah, Pura berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu Pur yang artinya tempat yang dikelilingi tembok (Wiana, 2009:8).

Namun secara eksklusif umat Hindu adalah tempat suci khususnya bagi umat Hindu merupakan tempat beristananya dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan bisa juga disebut stana roh leluhur yang di dewakan (Sidhidewata) dari kelompok atau juga soroh tertentu berdasarkan hubungan genologi khususnya keluarga patriarki karena sistem kekeluargaan di Bali berdasarkan garis besar Purusa ( Suyasa, 2006: 93).

Pura Penyagjagan di Desa Catur berakar dari kata”jagjag” yang artinya “mendekat”. Saat penghujung hari mendekat, orang tersebut menjadi seorang guru, “aktif karena dia mendekati tempat untuk melakukan aktivitas”. Tujuannya adalah untuk lebih dekat dengan gagasan Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, dalam semua manifestasinya dalam agama Hindu dan Budha (Cina).

Desa Catur dihuni oleh penduduk asli Hindu dan warga Tionghoa yang menganut agama Budha, bersatu pada dalam kegiatan sosial-keagamaan secara harmonis. Bahkan pemujaan Hindu dn Konghucu disatukan dalam sebuah Pura yang disebut dengan Pura Penyagjagan.

Pura ini memiliki Meru Tumpang Solas (sebelah tempat pemujaan) untuk Ida Batara Catur Muka dan Konco Astana Ratu Syahbanda ( Subandar). Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan konsep Pura Penyagjagan di Desa Catur ini dengan Pura pada umumnya di Bali.

Dimana Sinkritisasi ini diwujudkan dalam bentuk pelinggih Meru Tumpang Solas yang di dalamnya juga distanakan Konco Astana Ratu Syahbandar yang kental dengan pemujaan oleh kebudayaan Cina atau Tionghoa.

Sinkretisme antara kepercayaan Hindu dan Konghucu (Cina) di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli ini memberikan pemahaman konsep persentuhan etnis dan kepercayaan yang berlangsung harmonis.

Bagaimana sebuah perbedaan besar nampaknya mendapatkan usaha-usaha positif dengan tujuan mencapai kesadaran untuk saling berdampingan. Dimana, sinkretisme Hindu dan Konghucu dengan etnis Tionghoa nya masih bertahan hingga saat ini, alam wujud sebuah tempat Pemujaan keagamaan.

Proses terjadinya pendidikan sinkretisme di Pura Penyagjagan Desa Catur Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kedatangan agama Konghucu ke Indonesia diperkirakan bersamaan dengan migrasi orang Tionghoa dan hal ini terjadi sejak akhir zaman prasejarah atau sejak adanya hubungan dagang pada abad 3 SM.

Pandangan Yulianto (2019: 56-57) Kedatangan agama Konghucu ke Indonesia tentunya membawa tradisi, tata kehidupan, norma-norma kehidupan dan adat istiadat ajaran nenek moyang mereka.

Perkembangan masyarakat Konghucu khususnya di Desa Catur disampaikan dalam wawancara bersama I Ketut Surata selaku Jero Mangku di Pura Penyagjagan di Desa Catur menyampaikan masuknya etnis Tionghoa ke Desa Catur terdapat keunikan tersendiri yakni disampaikan pada wawancara berikut ini:

Masuknya etnis Konghucu ke Desa Catur tentunya beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal ini ditandai dengan adanya Sanggah, Kemulan Taksu, Padmasari dan pelinggih lainnya yang terletak di bagian hulu rumahnya. Namun dalam perayaan hari suci mengalami adaptasi budaya antara Bali dan Cina.

Kalau bentuk sinkretisme Hindu dan Konghucu di Desa Catur dapat dilihat di Pura Penyagjagan pada Pelinggih Konco. Pelinggih tersebut merupakan bentuk sinkretisme Hindu Konghucu dan sebagai tanda awal masuknya sinkretisme di Desa Catur, Dusun Lampu.

Masuknya sinkretisme Hindu dan Konghucu di Desa Catur tepatnya di Dusun Lampu ditandai dengan adanya Pelinggih Ratu Subandar di Pura Penyagjagan. Pelinggih ini terletak di mandala utama Pura Penyagjagan. Arsitektur dan ornament pada bangunan menunjukan adanya perpaduan kebudayaan antara Hindu dan Konghucu.

Faktor penyebab yang kuat menyebabkan sinkretisme pada suatu masyarakat adalah adanya interaksi sosial dan budaya dalam bentuk kontak sosial dan komunikasi secara akomodatif.

Penyebaran sinkretisme Hindu Konghucu di Desa Catur muncul karena adanya partisipasi masyarakat. Partisipasi sebagai bentuk adaptasi yang dibangun dalam lingkungan masyarakat. Hasil adaptasi dari sinkretisme budaya Hindu-Konghucu adalah terbangunnya Pelinggih Ratu Subandar di Pura Penyagjagan Desa Catur Kintamani sebagai bentuk fisik yang kasat mata.

Keberadaan pelinggih ini berdampingan dengan pelinggih umat Hindu yang ada dalam area penataran Pura Penyagjagan. Selain itu juga dalam kehidupan sosial mengalami adaptasi. Hal tersebut tercermin masih bertahan nya sinkretisme budaya Hindu Konghucu di Desa Catur.

Penting bagi kita untuk menjaga sikap toleransi dari pendidikan Sinkrtisme, karena toleransi merupakan sikap saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain. Kondisi dan latar belakang yang berbeda-beda dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan demi mewujudkan kehidupan yang damai dan bahagia.

 

Penulis: Ni Luh Tu Dwi Arianti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI