Setelah Pemilu, Saatnya Kita Kembali Merangkul

Pemilihan Umum (Pemilu) telah usai. Keran politik (baca: Pemilu) kembali dimatikan sehingga nuansa politik tidak kembali mengganggu akal sehat. Jika selama beberapa bulan ini kita diperhadapkan pada sebuah topik tentang Pemilu, saatnya topik tersebut mesti perlahan diredam dan kembali hangat dalam ingatan masing-masing kita. Tujuannya jelas, agar pembahasan corak politik yang kita perankan selama ini tidak  kembali mengganggu aktifitas kita. Jika senyum yang selama ini  seperti dipaksakan, kini saatnya senyum itu harus bersua kembali bagi segenap anak bangsa. Jika pun selama ini kita saling mengambil jarak satu dengan yang lainnya, kini saatnya jarak itu tidak lagi  disekat oleh pilihan politik yang berbeda. Jika ruang media selama ini penuh dengan satire kepada rival politik, kini saatnya satire tersebut harus disingkirkan. Pada intinya, pesta demokrasi telah usai, saatnya kita kembali berkencan dengan segala macam kesibukan-kesibukan kita sebelum pesta ini kemarin digaungkan. Saatnya kita harus kembali merangkul.

Dalam diskusi Indonesia Lawyer Club (ILC) yang mengusung tema, “Damai Bersenandung Kembali”, diundang tokoh-tokoh nasional, seperti Bapak Jusuf Kalla, Bapak Habibie, dan tokoh-tokoh dari masing-masing agama. Yang menarik dari diskusi tersebut, ialah kalimat yang diutarakan oleh bapak Habibie kepada masyarakat Indonesia yang akan menentukan pilihan politiknya pada 17 April 2019. Dia mengatakan, “siapapun yang anda pilih, yang dipilih nanti harus sadar,  harus memimpin 100% bangsa Indonesia, yang memilih itu, pilihlah sesuai dengan keyakinan anda”.

Senada dengan itu, tokoh-tokoh dari masing-masing agama juga menyampaikan pesan kepada seluruh umatnya sekaligus mengajak mereka untuk selalu bersikap dengan hati yang damai dalam momen Pemilu. Semua yang hadir dalam diskusi di ILC malam itu tentu menginginkan sebuah harapan bahwa dengan momen pemilu masyarakat (pemilih) tidak cepat meluapkan emosi karena perbedaan pilihan politiknya. Dalam kesempatan yang sama, bapak Jusuf Kalla berpesan, semua pihak harus menjaga pelaksanaan pemilu yang baik, dan pelaksana harus berlaku betul-betul adil, sehingga suara rakyat itu terjaga.

Bacaan Lainnya

Pemilu memang menyisakan banyak peristiwa. Mulai dari hal positif sampai pada hal-hal yang negatif. Keduanya tidak bisa dilepaskan dari dunia politik, karena keduanya sudah melekat sakaligus itulah konsekuensi politik. Konsekuensi elektoral (menang-kalah) misalkan, itulah konsekuensi bagi setiap kita memilih jalan demokrasi sebagai suatu cara menentukan seorang pemimpin. Dalam berbagai kesempatan, lanskap politik selalu menawarkan sebuah penentuan sikap yang mendorong setiap orang harus berpartisipasi didalamnya. Kini kita telah menunjukan sikap itu, namun barangkali yang masih sulit ialah melepaskan nuansa politik. Seperti yang penulis katakan di awal, keran politik tidak boleh kembali dihidupkan, karena bisa membuat kita seakan didorong untuk kembali pada situasi seperti beberapa waktu kemarin. Memang keran politik tersebut tidak boleh dimatikan secara total, tetapi ada bagian-bagian yang harus kita lupakan, seperti misalkan ujaran kebencian di media sosial, fitnah, dan hal-hal yang berbau negatif. Yang perlu dihidupkan ialah bagaimana setelah Pemilu, baik pemerintah dan masyarakat punya komitmen untuk meningkatkan kembali sistem pemilu ke depannya agar menjadi lebih baik lagi. Di sisi lain, peran pemerintah serta masyarakat harus mampu dioptimalkan kembali untuk mengajak seluruh masyarakat agar menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang.

Hampir 7 bulan lamanya, publik ramai dengan segala macam kampanye sekaligus debat pasangan calon. Dalam beberapa waktu tersebut tentunya segala peristiwa politik semakin sering terjadi. Ruang media setiap harinya dipenuhi dengan banyak gambar pasangan calon. Apalagi jika kita keluar sedikit dari rumah, di sana pasti kita akan menemukan banyak terpampang wajah-wajah pasangan calon yang dipajangkan. Suasana dan kondisi seperti itu telah kita lewatkan bersama, sekaligus peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin-kemarin harus kita lupakan bersama. Hal positif harus kita pegang sedangkan hal yang negatif harus kita jauhkan. Di tempat pemungutan suara (TPS) kita sudah melaksanakan apa yang menjadi hak kita sebagai warga negara. Hak itu telah kita penuhi secara bersama-sama. Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 22 E Ayat 1 dijelaskan, “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Melalui UUD 1945 itu kita sudah paham bahwa kita harus memilih dengan LUBERJURDIL, itulah yang seharusnya kita kedepankan.

Sikap Kita Membangun Demokrasi Yang Baik
Dalam buku yang ditulis oleh Profesor Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, di pandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi Konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi  konstitusional yang secara formal merupakan landasannya. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Keempat, masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa republik Indonesia III.

Dari sejarah demokrasi yang pernah di praktekan  di Indonesia mulai sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, kita telah melewati masa-masa demokrasi yang berbeda. Perbedaan demokrasi yang pernah dipraktekan tersebut, mengindikasikan bahwa bangsa ini telah menjadi bangsa yang dewasa dalam sikap berdemokrasi. Kedewasaan itu tidak hanya terletak pada sikap kita memilih dengan nalar kritis, tetapi yang lebih besar, yang juga turut mendewasakan cara berdemokrasi, ialah  sikap kita setelah pemilu. Pemilu telah usai, saatnya kita kembali menentukan sikap kita dalam membangun demokrasi yang lebih baik  kedepannya. Tentu sikap itu harus dimulai dari semua elemen, baik pemerintah, masyarakat dan swasta harus saling mendukung dan terbuka menunjukan sikap optimisme membangun demokrasi. Perbedaan pilihan politik selama masa-masa pemilu adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Terujinya kedewasaan kita dalam berpolitik diukur dari sikap kita sendiri. Apakah kita masih menjadi pribadi yang tertutup karena alasan pilihan politik yang berbeda, ataukah kita menjadikan pilihan politik  yang berbeda itu sebagai sebuah sumber konflik, disinilah kedewasaan itu diukur. Bangsa yang besar tidak diukur karena kesamaannya, melainkan karena perbedaan. Karena perbedaan pada hakikatnya adalah suatu jaminan mutu bahwa kita telah menjadi warga negara yang dewasa dalam berpolitik. 

Perjalanan panjang demokrasi bangsa Indonesia telah menunjukan betapa kita konsisten menjaga nilai-nilai demokrasi. Menjaga demokrasi tidak dengan suara yang lantang, lantas berteriak, “Saya siap menjaga demokrasi”. Tetapi harus diaktualisasikan lewat sikap  dan aksi nyata kita sebagai warga negara, yaitu melalui cara kita mendekatkan kembali diri kita masing-masing pada semua pihak. Membangun kesadaran untuk terbuka, baik hati  maupun pikiran adalah suatu hal yang luar biasa bagi perkembangan arah demokrasi. Pemimpin yang terlahir dari rahim demokrasi, adalah pemimpin yang harus kita dukung bersama. Membangun  dengan  sebuah komitmen dalam diri, optimisme untuk menjaga nilai-nilai demokrasi adalah suatu hal luar biasa. Busana pemilu yang selama ini diselimuti dengan  banyak kegaduhan, kini saatnya harus kembali menjadi suatu warna baru melalui sikap terbuka.  Capaian besar pemilu yang kita laksanakan pada hari kemarin, tidak terletak  pada bagaimana kita mencoblos, tidak pula pada pilihan politik yang  kita dukung harus  menang. Melainkan yang paling  besar ialah kita mampu berada dan  menunjukan sikap bahwa setelah pemilu sikap  yang perlu kita kedepankan, ialah membangun kekuatan bersama lewat cara kita mendekatkan diri sebagai satu anak bangsa, yaitu Indonesia.

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang

Baca juga:
Pemilu dan Terujinya Nalar Kritis Pemilih
Wajah Buram Disfungsi Kampanye Pemilu 2019
Debat Perdana Pilpres: Antara Optimisme dan Pesimisme Penyelenggaraan Pemilu 2019

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI