Chinmoku: Konsep Diam Beragam Makna dalam Komunikasi Jepang

Jepang
Sumber: https://www.pexels.com/photo/woman-walking-in-the-street-during-night-time-1134166/

Jepang merupakan negara dengan budaya komunikasi tingkat tinggi (high context culture). Budaya konteks tinggi adalah budaya yang menganut sifat kolektif dan cenderung menyampaikan pesan secara tersirat, yaitu dengan menggunakan simbol, kiasan, atau kata-kata halus (Diani, 2011).

Oleh karena itu, kebanyakan komunikasi masyarakat Jepang dilakukan secara non verbal guna menghindari konflik. Cara komunikasi mereka terkesan berbelit-belit dan sulit untuk dipahami bagi orang luar negeri, terutama orang Barat. Salah satunya adalah chinmoku(沈黙).

Apa itu Chinmoku?

Kata Chinmoku(沈黙) dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi ‘diam’. Tannen (dalam Harumi: 1999) berpendapat bahwa “diam bisa diartikan sebagai tidak mengatakan apapun dan mengandung maksud tertentu”.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Bushido: Konsep Kesetiaan yang Membentuk Citra Jepang di Mata Dunia

Bisa dikatakan bahwa periode diam atau jeda dalam suatu komunikasi bagi orang Jepang digunakan untuk menyampaikan makna tertentu yang ditujukan kepada lawan bicara.

Chinmoku sebagai Pelindung Harmoni Kelompok

Konsep Chinmoku juga berkaitan dengan konsep wa (和)yang memiliki arti ‘harmoni’. Orang Jepang sangat menjunjung tinggi harmoni kelompoknya dan sebisa mungkin untuk menghindari terjadinya konflik dalam kelompok.

Sikap memaksakan pendapat sendiri tanpa memperhatikan kondisi sekitar dianggap sebagai bentuk wa o toosu(和を通す) atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘memaksakan individulitas’. Sikap ini sangat tidak disukai dalam kehidupan masyarakat Jepang karena dapat menghancurkan harmoni kelompok (Rini, 2017).

Oleh karena itu, masyarakat Jepang lebih memilih untuk diam dalam mengekspresikan pendapat atau keinginan mereka.

Chinmoku sebagai Bentuk Komunikasi Enryo

Bentuk komunikasi orang Jepang dikenal dengan istilah enryo-sasshi (遠慮・察し) yang bisa diartikan menjadi “menahan diri dan membaca pikiran”. Enryo (遠慮) adalah ungkapan yang dituturkan oleh pembicara secara tersirat atau samar dengan memikirkan keadaan fisik dan psikologis lawan bicara. Diam merupakan salah satu bentuk ungkapan tersirat atau samar.

Sedangkan sasshi (察し) adalah kepekaan lawan bicara dalam memahami maksud tersirat tersebut, bahkan sebelum pembicara mengatakannya. Dengan komunikasi sasshi inilah masyarakat Jepang dapat memahami maksud dan tujuan dari keterdiaman lawan bicaranya.

Baca Juga: Makanan Khas Jepang yang Sedang Hits di Jogja

Chinmoku sebagai Wujud Kebenaran

Orang Jepang memandang orang sebagai dua bagian yang terpisah, yaitu bagian dalam dan luar diri. Mereka percaya bahwa kebenaran hanya terletak di alam batin yang secara simbolis berada di hati atau perut.

Bagian luar diri, seperti wajah, mulut, kata-kata yang diucapkan, dan lain sebagainya merupakan suatu bentuk penyamaran maksud dan tujuan seseorang. Dapat dikatakan bahwa komponen luar diri terkadang bisa mencerminkan suatu kepalsuan.

Dalam ajaran Buddhisme Zen disebutkan juga bahwa “kebenaran tidak dapat diucapkan secara verbal dan hanya terdapat dalam diam” (Ikeno, 2002). Oleh karena itu, orang Jepang terkadang diam dalam berkomunikasi. Dan dengan kemampuan sasshi, mereka dapat membaca pikiran lawan bicaranya dan memahami maksud tersembunyi yang enggan diutarakannya.

Chinmoku sebagai Teknik Penyembunyian

「出る杭は打たれる」

”Deru kui wa utareru”

Salah satu peribahasa Jepang yang dapat diartikan menjadi “paku yang mencuat akan dipukul”. Orang Jepang percaya bahwa seseorang yang mencolok dalam kelompok biasanya dikucilkan yang kemudian dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, diam merupakan salah satu hal penting untuk menjaga harmoni kelompok dan menghindari konflik secara langsung.

Sesuai dengan peribahasa tersebut, orang Jepang menganggap bahwa seseorang yang terlalu banyak bicara, memperlihatkan kehebatan atau kepintaran, dan mengungkapkan pertentangan merupakan perilaku yang tidak sopan dan tidak dewasa.

Mereka hanya membuktikan kemampuan mereka berdasarkan hasil kerja mereka. Dengan hal itu, mereka dapat membuktikan bahwa kemampuan mereka tidak hanya sebuah bualan belaka. Saat mendengarkan pendapat orang lain, terutama atasan mereka, mereka biasanya terdiam untuk menganalisis pendapat tersebut.

Apakah mereka akan setuju atau menentangnya. Ketika mengungkapkan pertentangan atau rasa tidak suka mereka di depan umum. Mereka biasanya mengungkapkannya secara pribadi dan mendiskusikannya dengan pihak yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan.

Di samping itu, orang Jepang juga dapat bermaksud untuk melindungi muka mereka dari rasa malu. Perbedaan bahasa adalah salah satu penyebabnya. Ketika berkomunikasi dengan orang asing, mereka akan terdiam karena tidak mengerti apa yang diucapkan orang asing tersebut. Sehingga mereka tidak perlu merasa malu karena salah menjawab ujaran orang asing tersebut.

Baca Juga: Belenggu Budaya Patriarki terhadap Kesetaraan Gender dalam Seleksi Universitas di Jepang dan Indonesia

Chinmoku sebagai Ekspresi Terkejut

Diamnya orang Jepang juga bisa mencerminkan rasa terkejut mereka. Sikap diam ini diikuti dengan gestur tubuh yang terdiam kaku, mata yang melotot, atau senyum yang dipaksakan. Meskipun orang Jepang dikenal dengan ekspresi senyumnya dalam segala situasi, rasa terkejut mereka masih bisa terlihat.

Sebagai contoh, seorang siswa saat belajar di dalam kelas. Siswa akan terkejut bila diberikan tugas banyak dengan waktu pengerjaan yang singkat atau saat tiba-tiba ditunjuk untuk menjelaskan sesuatu. Mereka akan secara tidak sadar terdiam, baik mulut maupun tubuhnya. Keadaan ini juga berlaku di Jepang.

Chinmoku sebagai Ekspresi Feminim Wanita Jepang

Orang Jepang memiliki pandangan bahwa diamnya seorang wanita menunjukkan ekspresi yang lembut, penuh kasih sayang, dan sikap feminim yang ideal. Wanita Jepang biasanya diam dan tidak melakukan kontak mata ketika berbicara dengan orang lain, kecuali berbicara dengan wanita sebaya dan memiliki derajat yang sama dengannya.

Bahkan mereka tetap diam dan menunduk ketika berbicara dengan wanita yang derajatnya lebih tinggi darinya atau me ue no hito (目上の人). Dalam kehidupan rumah tangga pun, seorang istri akan menunjukkan rasa kasih sayangnya dalam diam kepada si suami.

Dampak Negatif yang Hadir dalam Masyarakat

Chinmoku dalam komunikasi orang Jepang memiliki maksud untuk menjaga harmoni kelompok dan menghindari konflik. Meskipun demikian, diamnya seseorang ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman meskipun sesama orang Jepang.

Hal ini karena maksud dari keterdiaman tersebut hanya dapat dimengerti oleh orang yang pernah mengalaminya. Sehingga menyulitkan seseorang yang tidak memiliki pengalaman yang sama. Selain itu, sikap diam ini juga dapat menunjukkan ekspresi kemarahan dan sikap menjaga jarak yang dapat mempengaruhi harmoni kelompok.

Diam juga menunjukkan sikap lepas tanggung jawab serta ketidakpedulian. Misalnya, seseorang tetap diam meskipun melihat terjadinya perundungan (いじめ、 ijime) dan pelecehan seksual (せくはら、 sekuhara) karena untuk menghindari konflik dengan orang bersangkutan yang kemudian menyebabkan dirinya menjadi korban selanjutnya.

Baca Juga: Aspek Problematik Sistem Senioritas dalam Masyarakat Jepang

Chinmoku merupakan salah satu budaya Jepang bersifat ambigu karena memiliki banyak makna dan tujuan. Ada lima makna dan tujuan diamnya orang Jepang, yaitu diam untuk menjaga perdamaian/ harmoni kelompok, diam sebagai bentuk komunikasi enryo, sebagai wujud kebenaran, sebagai teknik penyembunyian, ekspresi terkejut, dan ekspresi feminim wanita Jepang yang ideal.

Penulis: Nadia Prudence Syeel Zevana
Mahasiswa Prodi Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Sumber Referensi:

Diani, M. P. 2011. Representasi High Context Culture Dalam Film (Studi Semiotik tentang Representasi Kebudayaan Jepang sebagai High Context Culture dalam film The Last Samurai). Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Harumi, S. 1999. The Use of Silence by Japanese Learners of English in Cross-Cultural Communication and its Pedagogical Implications.

Ikeno, O. 2002. The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle Publishing.

Repository UNJ. (Online), dalam (http://repository.unj.ac.id/4901/2/BAB%201.pdf) diakses pada 19 September 2022 pukul 13.00. Rini, E. I. 2017. Karakteristik Masyarakat Jepang. Kiryoku , 1(3), 34.

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI