Gelora Tajdid KH. Ahmad Dahlan, dari Pelurusan Kiblat hingga Pemberdayaan Wanita

Agama
KH. Ahmad Dahlan, sosok di balik lahirnya organisasi dan gerakan Muhammadiyah.

KH. Ahmad Dahlan adalah sosok dibalik berdirinya Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi dan gerakan terbesar di Indonesia. Memiliki nama kecil Muhammad Darwisy. Lahir di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868, dan kembali menghadap Sang Khaliq pada tanggal 23 Februari 1923.

Pergantian nama menjadi Ahmad Dahlan tersebut dilakukan sesuai tradisi bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji pada saat itu. Hingga kini, sosoknya lebih dikenal dengan nama Ahmad Dahlan dibanding nama masa kecilnya.

Sebagai seorang tokoh dan ulama, Kiai Dahlan dikenal dengan pemikiran dan gagasannya yang cerdas dan kritis. Langkah pembaharuan yang dilakukannya tidak terlepas dari perjalanan intelektual sekaligus wacananya terhadap pemikiran para mujaddid Islam di Timur Tengah.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Indahnya Kepemimpinan Berfikir dalam Islam

Beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah kegelisahan dan keprihatinannya terhadap kondisi umat, di mana Al-Qur’an dan Sunnah bersentuhan dengan animisme dan dinamisme. Syirik, bidah, dan khurafat merajalela. Memudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam.

Kegagalan lembaga pendidikan dalam memproduksi kader-kader Islam. Umat Islam berada pada fase jumud dan statis, di mana umat lebih memilih berpegang pada tradisi dan menolak perubahan.

Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Kiai Dahlan sering dijuluki sebagai man of action, manusia amal, kendati sosoknya yang sangat menonjol dalam melahirkan pembaharuan di bidang amal.

Sepanjang hidupnya, Kiai Dahlan tidak menulis dan menuangkan pemikirannya selain yang telah disarah oleh Kiai Hadjid, sahabat sekaligus muridnya. Namun, benang merah pemikirannya dapat dilacak dan ditemukan hingga saat ini.

Kiai Dahlan dikenang dengan kepeloporan dan amal pembaharuannya yang sangat monumental. Magnum opus-nya lahir dari pemahaman cerdas terhadap agama dan  respon terhadap tuntutan zaman yang akhinya berhasil membawa perubahan dan kemajuan besar bagi umat dan bangsa.

Di antara amal pembaharuannya adalah: Pertama, meluruskan arah kiblat. Sepulang dari ibadah haji pertama pada tahun 1889, Kiai Dahlan memperkenalkan ilmu pengetahuan dan paham agamanya pada masyarakat tentang arah kiblat yang dinilai tidak tepat saat itu.

Usulan tersebut selanjutnya dimusyawarahkan oleh para khatib dan penghulu Yogyakarta. Kendati para ulama lebih cenderung berfikir tradisional, musyawarah tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Sejak saat itu, pelurusan arah kiblat menjadi isu keagaaman dan semakin heboh ketika murid Kiai Dahlan ‘berulah’ dengan membuat garis kapur putih dalam shaf Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Setelah mendapat penolakan, Kiai Dahlan mendirikan surau dengan persepsi arah kiblat yang benar, namun dirobohkan oleh masyarakat setempat.

Sempat ingin pergi meninggalkan Kauman, namun berhasil dicegah dan dibangunkan kembali surau oleh keluarganya dengan arah kiblat yang benar sesuai yang diyakini oleh Kiai Dahlan.

Baca Juga: Perkembangan Islam Liberal

Pada perkembangan selanjutnya, arah kiblat Masjid Besar Kauman maupun masjid lainnya di Indonesia ditentukan oleh dasar ilmu pengetahuan, dan bukan lagi kecenderungan mengarah ke Barat.

Kedua, pembinaan umat melalui pengajian-pengajian secara melembaga. Kiai Dahlan memperkenalkan paham Islam untuk kembali pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (al-ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah). Pernah melakukan tablig Bersama H.O.S. Tjokroaminoto ke Pekalongan.

Pada kesempatan tersebut, Kiai Dahlan menjelaskan Islam secara gamblang dan didukung dengan semangat membangkitkan kesadaran umat dengan kemandirian ekonomi dan politik yang disampaikan tokoh Sarekat Islam tersebut (Tjokroaminoto).

Kiai Dahlan juga mendapat kesempatan menjadi tuan rumah Kongres Boedi Oetomo pada tahun 1917 di rumahnya, sebagai ajang dakwah Islam di lingkungan elite pergerakan nasional dan bangsawan Jawa.

Ketiga, mempelopori pendirian sekolah Islam modern. Diawali dengan pendirian Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah tahun 1911 sebagai perintisan lanjutan dari ‘sekolah’ yang dikembangkan Kiai Dahlan di rumahnya.

Bukan seperti model pembelajaran di surau yang umum pada masa itu, tetapi sekolah tersebut dilangsungkan di ruangan berukuran 2,5 x 6 m dalam rumah Kiai Dahlan. Mengajarkan ilmu agama dan umum dengan menggunakan sarana seperti papan tulis dan meja ala sekolah Barat.

Pada tahun 1922, didirikan pula kweekschool yang kemudian berkembang menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Tepat satu tahun sebelum beliau wafat, telah berhasil didirikan 8 sampai 9 sekolah dengan lebih dari 1000 siswa.

Keempat, melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan mempelopori berdirinya lembaga pelayanan kesehatan, sosial, dan kesejahteraan. Satu bulan sebelum wafat, Kiai Dahlan bersama H.M. Soedja’ mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) atau PKU, yang kemudian dikenal dengan Rumah Sakit Muhammadiyah di Yogyakarta.

Gagasan awal pelayanan sosial Muhammadiyah merupakan realisasi Surat Al-Ma’un di mana Islam diwujudkan dalam amal shalih yang melembaga untuk pemberdayaan kamum miskin, lemah, dan mustadh’afin.

Baca Juga: Muhammadiyah dan Tantangan Pendidikan di Era Virtual

Kelima, mendirikan Taman Pustaka pada tahun 1921 sebagai lembaga penyebaran informasi dan sarana meningkatkan tradisi baca tulis. Selain itu, adanya majalah Suara Muhammadiyah menunjukkan kesadaran tinggi akan publikasi.

Pendiri Muhammadiyah dari Kauman ini seolah tak Lelah melakukan terobosan baru. Atas usul dari H.M. Fachrodin sepulang dari tanah suci, Kiai Dahlan mendirikan Bagian Penolong Haji yang bertugas membantu pelaksanaan ibadah haji bagi muslim Indonesia.

Keenam, mendirikan ‘Aisyiyah sebagai organisasi pemberdayaan wanita Islam pertama di ruang publik pada tahun 1917, yang sebelumnya merupakan pengajian ibu-ibu dan anak-anak yang diketuai oleh Nyai Walidah Dahlan.

Inilah organisasi perempuan yang pada saat itu dianggap tabu, karena perempuan secara budaya dan keagamaan hanya dipandang dari tugas domestiknya. Namun, Kiai Dahlan dan Nyai Walidah justru melawan arus dengan mendirikan ‘Aisyiyah.

Melalui organisasi inilah, dua tokohnya yaitu Hayinah dan Munijah, termasuk perintis Kongres Pertama Perempuan Indonesia pada tahun 1928.

Melalui berbagai terobosan baru dan sepak terjang seorang Kiai Dahlan, dapat dipahami bahwa pemikirannya telah jauh melampaui zamannya.

Dari ketokohannya dan berbagai rintisan amaliah Islamnya yang cemerlang telah menorehkan sejarah baru bagi perkembangan umat dan menjadi implementasi Islam sebagai rahmatan lil alamin di muka bumi ini. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis: Ana Maulida Sabila
Mahasiswa Program Doktor PAI Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI