Kebijakan Pemerintah terhadap TikTok Shop, Sudah Sesuai?

TikTok
Ilustrasi Shop.

Di era milenial sekarang, banyaknya e-commerse yang beredar. Hal ini di tandai dengan masyarakat yang memilih untuk berbelanja dari rumah (online) dibandingkan dengan harus pergi ke toko offline langsung.

Fitur e-commerse ini pula dianggap sangat mempermudah masyarakat untuk membeli barang keperluan, karena lebih efesien waktu yang bisa dilakukan kapan pun dan di manapun.

Tapi hal itu bisa juga menjadi masalah bagi para pelaku usaha ekonomi. Mereka bisa saja sedikit demi sedikit tersingkir dengan maraknya e-commerse. Karena minat masyarakat yang turun terhadap perbelanjaan offline. Yang bisa dibilang harga barang pun relatif lebih tinggi, kenapa??

Bacaan Lainnya

Karena pasar offline memberikan keluasaan pembeli untuk melihat dan memilih secara langsung barang yang diinginkan. Tapi hal tersebut tidak bisa menjadi alasan penguat masyarakat untuk berbelanja secara offline (di toko).

Berawal dari keluh kesah dan laporan para pedagang Tanah Abang yang mengaku mengalami kerugian 50 persen karena mereka tidak dapat bersaing dengan produk-produk impor yang dijual dengan harga jauh lebih rendah melalui platfrom TikTok tersebut.

Tiktok Shop ini dinilai merugikan para pelaku UMKM. Dikarenakan permasalahan itu, pemerintah akhirnya turun tangan.

Tercatat bahwa Indonesia adalah rumah bagi 64,2 juta usaha mikro, kecil, dan menengah yang berkontribusi 61 persen bagi produk domestik bruto. JikaTiktok Shop ini tetap beroperasi maka berpotensi memonopoli pasar karena dinilai pembeli online dipengaruhi langsung dari percakapan di media sosial.

Dalam sebuah wawancara, Zulkifi Hasan Menteri Perdagangan berkata, “Kita harus atur agar perdagangan itu fair, bukan perdagangan bebas yang kuat menang yang kalah mati,” beliau mengatakan bahwa Indonesia mempunyai Pancasila, yang di mana ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Antara platfrom media digital online biasa, e-commerse, dan media media sosial. Media sosial jika ingin mengubah ke dalam sosial commerse harus mempunyai usahanya sendiri tidak diperbolehkan data orang lain dipakai, karena ada undang-undang perlindungan data yang tidak sembarang orang bisa mengakses dan menggunakan data orang lain.

Sosial commerse seperti media TV, diizinkan untuk mengiklankan produk mereka tapi tidak diperbolehkan untuk menjadi toko terlebih lagi langsung menjadi perbankan seperti meminjamkan uang, kredit, dan termasuk berjualan. Bapak Zulhas menetapkan bahwa tidak boleh satu platfrom digital memborong atau mencakup semua ketersedian fasilitas, jika seandainya satu dicakup semua yang lain akan mati.

Zulhas selaku Menteri Perdagangan mengeluarkan ultimatum penyelenggara sosial e-commerse untuk segera menghentikan aktivitas di TikTok Shop, dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Adapun ultimatum yang diberikan Zulhas sebagai berikut:

  1. Dilarang berjualan di media sosial. Zulhas mengatakan keberadaan media sosial yang sekaligus tergabung sebagai e-commerse resmi dilarang. Contohnya, TikTok yang menyelenggarakan aktivitas jual beli melalui TikTok Shop dan fitur “live”.
  2. Diberikan waktu sepekan. Zulhas memberi waktu seminggu kepada penyelenggara media sosial sekaligus e-commerse, seperti TikTok, untuk berhenti berbelanja dan berjualan. “Mulai kemarin (dilarang). Tetapi kita kasih waktu seminggu, kan ini sosialisasi. Besok saya surati,” tegas Zulhas. Hal itu juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Aturan itu merevisi aturan sebelumnya Permendag Nomor 50 Tahun 2020. “PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya,” tulis aturan tersebut di Pasal 21 Nomor 3.
  3. Sanksi jika melanggar. Zulhas mengatakan juga bahwa pemerintah mengatur dan menetapkan sanksi jika pelaku usaha atau e-commerse yang tidak mematuhi akan kebijakan yang diatur dalam Permendag 31 Tahun 2023 tersebut. “Kalau masih melanggar. Pertama tentu akan diperingatkan, kedua ada langkah dalam undang- undang, apa itu saya lupa. Ketiga kalau tidak juga ya dicabut izinnya agar ditindak tegas, sehingga terjadi ekosistem positif di bidang ini,” ucap Zulhas. Jika pelaku ekonomi melanggar sejumlah undang-undang tersebut, akan dikenakan sanksi. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 50 hingga 51.

Menurut saya, pemerintah sudah mulai memperhatikan dan lebih tegas dalam menyikapi ekonomi di Indonesia. Dengan menyuarakan persoalan ini, pelaku ekonomi offline pun diharapkan lebih dilirik oleh khalayak masyarakat.

Kebijakan ini pula sebagai peringatan bagi para e-commerse yang masih belum memenuhi syarat dan ketentuan dalam melakukan jual beli online yang berlaku sesuai dengan undang-undang. Dan terjadinya keseimbangan antara pelaku usaha offline dan online dengan pasarnya masing-masing.

Dan membahas persoalan awal bahwa munculnya kebijakan-kebijakan dalam perundang-undangan ini bisa dikatakan sangat membantu dalam memilah dan mengelompokan bagian-bagian dari e-commerse itu sendiri.

Pemerintah berusaha untuk melihat dari sudut pandang UMKM yang sekarang sedang surut pembeli terlebih UMKM yang menjalankannya secara offline.

Penulis: Haydi Aprilia
Mahasiswa  Ilmu Komunikasi (FISIP) Semester 1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mata Kuliah: Ilmu Politik

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI