Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma‘Na-Cum-Maghza

Metode Penafsiran dan Pendekatan

Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan kedisinian.

Tujuan utama pendekatan ini ialah menggali makna dan signifikansi historis dari ayat yang ditafsirkan dan kemudian mengembangkan signifikansi historis tersebut menjadi signifikasi dinamis (signifikansi kekinian dan kedisinian). Adapun langkah-langkah metodisnya ialah sebagai berikut:

Untuk menggali makna historis dan signifikansi fenomenal historis seorang penafsir melakukan langkah-langkah berikut:

Bacaan Lainnya

a. Analisa Bahasa Teks

Penafsir harus memperhatikan bahasa yang digunakan dalam teks Al-Qur’an yaitu bahasa Arab abad ke-7 M. yang mempunyai karakteristiknya sendiri, baik dari segi kosa kata maupun struktur tata bahasanya. Karena ketika menerjemahkan atau menafsirkan kosakata dari Al-Qur’an, seseorang harus memperhatikan penggunaan dan makna kosakata tersebut saat diturunkannya, misalnya: kata Arab ikhlāṣ yang mempunyai makna dasar “memurnikan sesuatu” mengalami diakroni atau perkembangan makna.

Dalam tradisi pra-Islam, kata tersebut merujuk pada tindakan membuat sesuatu secara murni, tidak bercampur dengan yang lain, dalam konteks sekuler. Sementara itu, dalam Al-Qur’an ia digunakan dengan tetap membawa makna dasar tersebut, baik dalam konteks sekuler maupun dalam konteks agama.

Baca Juga: Menguji Kehebatan Perpu Sebagai “Juru Selamat” KPK

Dalam konteks keagamaan, ia berarti “keyakinan pada satu Tuhan‟ (monoteisme), sehingga maknanya sama dengan tawḥīd (keesaan Allah), yang belum digunakan untuk makna tersebut pada saat diturunkannya Al-Qur’an. Salah satu bukti yang dapat mendukung hal ini adalah bahwa surat yang ayat-ayatnya berbicara tentang tauhid disebut dengan Sūrat al-Ikhlāsh. Adapun di antara contoh penggunaan kata ikhlāṣ atau derivasinya dengan makna tauhid adalah penyebutan kata mukhliṣīna lahu l-dīn pada Sūrat al-Bayyinah ayat 5.

Terjemahan ayat ini tidak logis karena bagaimana mungkin orang-orang musyrik itu diperintah menyembah Allah dengan ikhlas, sementara mereka belum masuk Islam. Jadi terjemahan yang tepat ialah “menyembah Allah dengan memurnikan penyembahan (semata-mata) kepada-Nya”.

b. Intratekstualitas

Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas, dalam arti membandingkan dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat lain. Sebagai contoh, ketika seorang penafsir ingin lebih meyakinkan bahwa kata ikhlāṣ dan derivasinya dalam Al-Qur’an itu bermakna tawīd (iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan), dia mengumpulkan penggunaan kata tersebut di semua ayat dan memperhatikan konteks tekstualnya (siyāq al-kalām) dalam masing-masing ayat.

Kata mukhlilahū al-dīn di Q.S. al-Zumar: 2, misalnya, dapat bisa dipastikan berarti “orang yang memurnikan penyembahan hanya kepada Allah” dengan memperhatikan hubungan ayat tersebut dengan ayat-ayat berikutnya (yakni: Q.S. al-Zumar: 3-6) yang berbicara tentang ketauhidan dan larangan syirik (menyekutukan Allah).

c. Intertekstualitas

Yakni analisa dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain. Misalnya, dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan Al-Qur’an. Dalam hal ini, penafsir menganalisa sejauh mana makna sebuah kosa kata dalam Al-Qur’an bisa diperkuat oleh teks di luar Al-Qur’an.

d. Analisa Konteks Historis Turunnya Ayat

Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat Al-Qur’an, baik itu yang bersifat mikro ataupun bersifat makro. Tujuan utama memperhatikan konteks historis penurunan ayat tertentu adalah, selain memahami makna historis dari kosa kata dalam ayat tertentu, juga menangkap apa yang disebut dengan “signifikansi fenomena historis”, atau maksud utama ayat (maqad al-āyah) itu ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

e. Rekonstruksi Signifikansi/Pesan Utama Historis Ayat

Penafsir mencoba menggali maqad atau maghzā al-āyah (tujuan/pesan utama ayat yang sedang ditafsirkan). Maqad atau maghzā al-āyah ini terkadang disebutkan secara eksplisit di dalam ayat dan sering sekali tidak disebutkan. Apabila ia disebutkan secara eksplisit, maka penafsir melakukan analisa terhadapnya. Namun, apabila ia tidak disebutkan dalam ayat, maka konteks historis, baik mikro maupun makro, dapat membantu penafsir untuk menemukan maqad atau maghzā al-āyah.

Baca Juga: Apa dan Siapa Itu Kaum Intelektual?

Selanjutnya, untuk membentuk signifikansi dinamis dari ayat, penafsir mencoba mengkontekstualisasikan maqad atau maghzā al-āyah untuk konteks kekinian, dengan kata lain seorang penafsir berusaha mengembangkan definisi dan kemudian mengimplementasi signikansi ayat untuk konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkah-langkah metodisnya adalah sebagai berikut:

1) Menentukan Kategori Ayat

Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian, yakni: Pertama, ayat-ayat tentang ketauhidan, Kedua, ayat-ayat hukum, dan Ketiga, ayat-ayat tentang kisah-kisah nabi dan umat terdahulu. Terkait dengan ayat-ayat hukum, Abdullah Saeed membaginya ke dalam lima hirarki nilai:

Pertama, Nilai-nilai kewajiban, seperti ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat dan haji, Kedua, Nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang menunaikan keadilan dan berbuat baik kepada sesama, Ketiga, Nilai-nilai proteksi, seperti ayat-ayat tentang larangan membunuh orang, Keempat, Nilai-nilai yang implementasikan, seperti ayat-ayat tentang hukuman qisas bagi pembunuh, Kelima, Nilai-nilai instruksi, seperti ayat poligami diturunkan untuk mengatasi problem anak yatim dan problem ketidakadilan dalam keluarga.

2) Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Signifikansi Ayat

Penafsir mengembangkan hakikat/definisi dan cakupan “signifikansi fenomenal historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Sebagai contoh, Peristiwa pengkhianatan Yahudi yang menjadi dasar pelarangan menjadikan mereka sebagai “teman setia” atau “pembela Madinah” adalah “signifikasi fenomenal historis”. Hal ini lalu dikonstruksi secara lebih luas untuk konteks kekinian dan kedisinian, sebagai berikut:

(1) semua orang tidak boleh mengkhianati kesepakatan bersama, baik dalam bidang politik, kemasyarakatan maupun bisnis, dan (2) siapa pun yang melakukan pengkhianatan harus siap untuk tidak dipercaya lagi oleh orang yang dikhianati. Kedua poin inilah disebut dengan “signifikansi fenomenal dinamis.” Dalam mengembangkan “signifikansi fenomenal dinamis”, seseorang memperhatikan perkembangan nilai sosial.

Baca Juga: Melihat Sisi Positif dan Negatif Pelaksanaannya Asian Games 2018 bagi Bangsa dan Dunia

3) Menangkap Makna Simbolik Ayat

Sebagian ulama berpandangan bahwa makna lafal dalam Al-Qur’an itu memiliki empat level makna, diantaranya: Ẓāhir, Bāṭin, add, Maṭla’. Ketiga level makna yang disebutkan terakhir (yakni: bāṭin, ḥadd dan maṭla’) merupakan makna-makna simbolik yang dimaksud di sini. Sebagai contoh, pendekatan dialogis merupakan makna simbolik dari Q.S. al-Ṣaffāt: 102:

Dalam ayat tersebut terdapat dialog Nabi Ibrahim dan Ismail yang Ketika Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih Ismail. Dalam ungkapan Nabi Ibrahim di ayat tersebut mengajarkan kepada kita untuk melakukan pendekatan dialogis dalam menyampaikan pesan atau ajaran apa pun, termasuk di dalamnya pesan dan ajaran yang telah diyakini kebenarannya. Makna-makna simbolik tersebut bisa kita kembangkan menjadi “signifikansi fenomenal dinamis”.

4) Memperkuat Konstruksi Signifikansi Dinamis Ayat Dengan Ilmu Bantu Lainnya

Seorang penafsir memperkuat argumentasinya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu lain, seperti Psikologi, Sosiologi, Antropologi dan lain sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak terlalu berpanjang lebar. Agar bangunan “signifikansi fenomenal dinamis” lebih kuat dan meyakinkan.

Lusiatus Sa’adah
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI