Pentingnya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual

memahami hadis

Pendahuluan

Hadis atau as-Sunnah merupakan salah satu sumber ajaran dalam Islam yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an, sebagai bayan (penjelas) al-Qur’an dari ayat-ayat yang mujmal (global). Hadis juga menjadi rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Keberadaan hadis menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama.

Mehami hadis atau as-Sunnah merupakan pekerjaan yang rumit, karena harus meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya. Upaya itu bagi generasi muslim awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Selain itu, tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding dengan zaman modern saat ini. Hal yang sama terjadi pada generasi tabi’in, dimana mereka hidup tak jauh dari zaman nabi. Di samping itu masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh nabi dan sahabatnya.

Bacaan Lainnya

Berbeda dengan generasi muslim akhir yang hidup pada abad modern, gemerlap dunia melahirkan berbagai pertanyaan yang pelik dan rumit, tidak hanya untuk dicari jawabanya tetapi juga mengidentifikasikannya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua setelah al-Qur’an.

Perihal ini menjadi pengaruh pada pola pemahaman hadis. Dalam melakukan upaya memahami hadis tidak bisa hanya dengan menggunakan metode tekstual maka dari itu dalam rangka menanggapi perkara ini perlu dihadirkan pendekatan kontekstual.

Pembahasan

Pengertian Tekstual dan Kontekstual dalam Memahami Hadis

1. Tekstual

Pendekatan tekstual merupakan pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, memahami sebuah teks adalah terlebih dahulu dengan mencoba menangkap makna asalnya, makna yang populer dan mudah ditangkap. Bila tidak dipahami , karena berbagai alasan, baru kemudian digunakan pendekatan lainya.

Tekstual berasal dari kata teks yang berarti kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis sebagai dasar memberikan pengajaran. Pendekatan tekstual adalah cara memahami hadis yang cenderug memfokuskan pada riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatika bahasa dengan pola pikir episteme bayani.

Adapun secara istilah pendekatan tekstual berkaitan dengan pemahaman hadis adalah memahami makna dan maksud yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi Saw dengan cara bertumpu pada analisis teks hadis.

Dari definisi di atas, maka yang menjadi perhatian pendekatan ini adalah makna-makna kata dan struktur gramatika teks. Pendekatan ini tentu menjadikan dominasi teks sangat kuat. Teks menjadi bagian yang paling sentral dalam konstelasi pemahaman pesan-pesan Nabi Saw, sehingga konteks cenderung terabaikan.

Disisi lain, pendekatan tekstual cenderung melahirkan kesimpulan parsialistik. Hal ini karena teks tidak diletakkan dalam konstelasi hadis-hadis Nabi yang lebih luas sehingga tidak perlu membutuhkan hadis-hadis lain dalam analisisnya. Kalaupun ada, pengaitan dengan hadis-hadis lain terbatas pada kepentingan analisis teks tertentu, seperti ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad.

2. Kontekstual

Kontekstual secara etimologis, berasal dari kata benda bahasa Inggris context, yang berarti susunan, keadaan. Dalam penjelasan lain disebutkan ia berarti; pertama, bagian dari teks atau pernyataan yang meliputi kata atau bagian tertulis tertentu yang menentukan maknanya; dan kedua, situasi di mana suatu peristiwa terjadi.

Kontekstual, berarti sesuatu yang berkaitan dengan atau bergantung pada konteks. Jadi, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang didasarkan bukan hanya pada pendekatan kebahasaan, tetapi juga teks dipahami melalui situasi dan kondisi ketika teks itu muncul.

Dengan demikian kontekstual adalah upaya untuk melihat hubungan dalam kalimat yang terdapat dalam suatu naskah atau matan, karena hubungan kata-kata seringkali penting untuk memahami apa yang telah dikatakan. Jadi, pemahaman hadis secara kontekstual adalah memahami hadis dengan melihat sisi-sisi konteks yang berhubungan dengan hadis.

Untuk memahami hadis, apakah lebih tepat dipahami secara tekstual maupun kontekstual, maka diperlukan petunjuk dan kaidah-kaidah tertentu dalam memahaminya. Menurut Yusuf al-Qardawi, hadis Nabi Saw mempunyai tiga karaktersitik:

  1. Komperhensif (manhaj syumuli), yaitu manhaj bahwa hadis Nabi Saw mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan dapat diterapkan di semua tempat dan zaman.
  2. Seimbang (manhaj mutawazin), yaitu manhaj bahwa hadis Nabi Saw mempertimbangkan keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan kalbu, dunia dan akhirat, ideal dan realitas, teori dan praktek, alam gaib dan kasat mata, kebebasan dan tanggung jawab, kebutuhan individu dan masyarakat, ittiba’ dan ibtida’ dan seterusnya.
  3. Memudahkan (manhaj muyassar), yaitu bahwa hadis Nabi Saw bersifat memudahkan dan tidak memberikan beban yang tidak semestinya.

Ketiga karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis, sehingga pemahaman yang dihasilkan akan lebih moderat, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual

Secara gari besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan peroses sejarah yang melahirkan ahistoris, tipologi ini disebut tekstualis; kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbabul wurud) hadis, dan konteks yang mengitarinya, pemahaman hadis dengan cara yang demikian, disebut kontekstual.

Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edri Safri adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji ketertarikannya dengan peristiwa atau situasi yang melatar belakangi munculnya, atau dengan kata lain, memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Dengan demikian asbabul al-wurud dalam kajian kontekstual merupakan bagian yang paling penting.

Hal kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbabul al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi konteks historis-sosiologis di mana asbabul al-wurud merupakan bagian darinya.

Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa hadis ditujukan. Artinya, hadis Nabi Saw dipahami melalui redaksi lahiriah dan aspek-aspek kontekstualnya.

Meskipun di sini kelihatanya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Aspek terakhir itu tak kalah pentingya dalam rangka membatasi dan menangkap makna yang leih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.

Pemahaman kontekstualitas ini sebagai sebuah teori dalam lintasan sejarah sudah diawali pembahasanya oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya, Ar-Risalah, dan kitab yang lebih khusus, Ikhtilaf al-hadis. Termasuk dalam nuansa ini juga, karya-karya para ahli hadis yang berbicara dengan asbabul al-wurud al-hadis, seperti yang ditulis as-Suyuthi.

Dalam diskursus ilmu hadis juga dikenal bahwa hadis itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak. Untuk kategori pertama, yakni hadis-hadis yang memiliki sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknya.

Persoalannya adalah bagaimana jika suatu hadis itu tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Disinilah kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadis (fiqhul hadis) dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis bahkan mungkin pendekatan psikologis.

Hal itu berangkat dari suatu asumsi dasar bahwa ketika Nabi Saw bersabda pasti beliau tidak lepas dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu. Dengan lain ungkapan, adalah mustahil Nabi Saw bicara dalam ruang yang hampa sejarah (vakum historis). Bagaimanapun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini bersabda Nabi Saw selalu based on historial problems, yakni terkait dalam problem historis-kultural waktu itu.

Dengan pendekatan-pendektan historis, sosiologis, dan antropologis semacam itu, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis yang relative lebih tepat, aspresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami hadis kita tidak hanya terpaku pada dhzahirnya teks hadis, melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.

Dengan demikian, hadis-hadis Nabi Saw sebagai mitra al-Qur’an, secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan al-Hadis.

Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam hal ini suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis, empiris pada hadis itu disampaikan Nabi Saw. Dengan kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara idea tau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial situasi historis cultural yang mengitarinya.

Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbabul Wurud yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengap Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya. Atau ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada hadis disampaikan oleh Nabi.

Adapun pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawa kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.

Kalau kita mencoba menggambarkannya dengan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis secara sintetik, maka hadis yang juga merupakan fenomena keagamaan dan yang berakumulasi pada perilaku manusia dapat didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan tersebut, sesuai konteks masing-masing. Tegasnya, pendekatan historis, sosiologis dan antroplogis dapat disebut sebagai asbabul wurud ‘am (asbabul wurud secara makro).

Adapun aplikasi pemahaman hadis dalam pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis sebagai berikut.

Hadis Tentang Larangan Wanita Berpergian Sendirian

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مُحْرِمٌ

“Tidak dibolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seseorang maham bersamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadis tersbut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim dipahami oleh jumhur ulama sebagai suatu larangan bagi wanita untuk berpergian yang bersifat sunnah atau mubah, tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedangkan untuk berpergian yang sifatnya wajib, seperti menunaikan ibadah haji, para ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Abu Hanifah dan didukung oleh mayoritas ulama hadis, adalah wajib hukumnya wanita yang mau haji, harus disertai mahram atau suaminya. Namun menurut Imam Malik, al-Auza’I dan asy-Syafi’I, tidak wajib. Mereka hanya menysaratkan “keamanan” saja.

Keamanan itu bisa diperoleh dengan mahram atau suami atau wanita-wanita lain yang terpercaya (tsiqat). Dengan demikian, jika pemikiran itu kita kembangkan, maka konsep “mahram” yang tadinya bersifat personal, dapat digantikan dengan system keamanan yang menjamin keselamatan dan keamanan wanita itu.

Hadis tersebut tidak mempunyai asbabul wurud khusus. Sementara, jika melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat itu, sangat mungkin larangan itu di latar belakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan keselamatan perempuan, jika dia berpergian jauh tanpa disertai suami dan mahram.

Mengingat pula masa itu, ketika seseorang berpergian, ia bisa menggunakan kendaraan onta, bighal (sejenis kuda), maupun keledai dalam perjalanannya. Mereka seringkali harus mengarungi padang pasir yang luas, daerah-daerah yang jauh dari lautan manusia.

Di samping itu, sistem nilai yang berlaku pada saat itu, wanita dianggap tabu atau kurang etis jika pergi jauh sendirian. Dalam kondisi seperti tentunya seorang wanita yang berpergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya tercemar.

Oleh sebab itu, jika kondisi masyarakat sekarang sudah berubah. Dimana jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya sistem keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam berpergian maka sah-sah saja wanita pergi sendiri untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainya.

Dengan demikian, di sini perlu reinterpretasi baru mengenai konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita itu.

Pemahaman semacam ini tampaknya akan lebih kontekstual, apresiasip dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan terjebak oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat kultural, temporal, dan lokal.

Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis, dan antropologis cenderung lebih lentur, kenyal, elastis. Namun kemudian hal ini, tidak berarti kita harus kehilangan ruh semangat nilai yang terkandung dalam hadis tersebut.

Kaidah-Kaidah dalam Memahami Hadis Agar Menghasilkan Pemahaman Yang Moderat

Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah memberikan delapan petunjuk dalam memahami hadis Nabi Saw dengan baik.

1. Memahami Hadis sesuai Petunjuk Al-Qur’an

Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsirannya yang buruk, maka harus memahami hadis tersebut sesuai dengan al-Qur’an, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tidak diragukan keadilannya. Sesuai dengan firman Allah Swt:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ 

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dial ah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An’am: 115)

2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Berkaitan dalam Tema yang Sama

Untuk berhasil memahami hadis secara benar kita harus menghimpun hadis sahih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutashabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas. Dengan cara itu dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis satu dan lainnya.

Berkenaan dengan kaidah ini, Imam Ahmad berkata:

الحديث إذا لم تجمع طرقه لم تفهمه و الديث يفسر بعضه بعضا

“Suatu hadis, kalau tidak engkau kumpulkan jalur-jalurnya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadis menafsirkan sebagian yang lainya.”

3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-Hadis yang Bertentangan

Pada dasarnya nas-nas shar’iyyah tidak mungkin saling bertentangan, karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Oleh karena itu, apabila seandainya terjadi pertentangan, maka hal itu hanya tampak dalam luarnya saja, bukan pada kenyataannya yang hakiki.

Atas dasar itu, maka kita wajib menghilangkan pertentangan tersebut dengan jalan sebagai berikut:

a. Al-Jam’u (kompromisasi) didahulukan dari pada tarjih

Memahami hadis dengan baik termasuk hal yang sangat penting, yaitu dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-olah bertentangan, demikian pula makna kandungannya yang tampak berbeda.

Cara yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan semua hadis kemudian dinilai secara proposional, sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan. Mengapa harus hadis sahih? Karena hadis-hadis da’if  tidak termasuk konteks ini.

b. Naskh dalam Hadis

Diantara persoalan kandungan hadis yang dianggap saling bertentangan adalah persoalan naskh (penghapusan) atau adanya hadis yang nasikh (yang menghapus suatu ketentuan dan yang mansukh (yang terhapus ketentuannya).

Persoalan naskh ini ada hubungannya dengan ilmu-ilmu al-Qur’an sebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu hadis, namun dakwaan tentang adanya naskh dalam hadis tidak sebesar yang didakwakan dalam al-Qur’an. Apabila diteliti lebih jauh hadis-hadis yang diasumsikan sebagai mansukh tidaklah demikian.

Hal ini mengingat bahwa diantara hadis-hadis ada yang dimaksudkan sebagai ‘azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun secara berat), dan ada pula yang dimaksdukan sebagai rukhsah (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Dan karena itu, kedua-duanya mengandung kadar yang berbeda, sesuai dengan keadaan masing-masing.

4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya

Untuk dapat memahami hadis Nabi Saw dapat dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadis, atau terkait dengan suatu ‘illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.

Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilihan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan selamanya, serta antara yang partikular dan yang universal yang masing-masing mempunyai hukum tersendiri.

Sesuai dengan kaidah “suatu hukum berjalan dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”, sehingga apabila kondisi telah berubah dan tidak ada lagi illat, maka hukum yang berkenaan dengan suatu naskh akan gugur dengan sendirinya.

Begitu pula hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan temorer yang berlaku pada zaman Nabi dan melalui perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.

Contoh penerapan kaidah ini adalah hadis: “Seseorang perempuan tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali bersama mahramny” (HR. Bukhari dan Muslim)

Illat dibalik larangan hadis tersebut adalah kekhawatiran akan bahaya yang menimpa kaum perempuan tatkala ia berpergian seorang diri, dimana pada zaman Nabi, sarana transportasi yang digunakan adalah onta, keledai dan kuda.

Sementara mereka harus melewati padang gurun dalam waktu lama yang sepi dan rawan akan kejahatan. Hal ini tentu berbeda jika kondisi perjalanan aman. Terlebih sarana yang digunakan sudah canggih seperti yang terjadi pada zaman sekarang.

5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap

Diantara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami hadis ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh al-sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadang kala menunjang pencapaian sasaran itu dituju.

Mereka memusatkan diri pada berbagai prasarana ini, seolah-olah hal ini merupakan hal yang sebenarnya. Padahal siapa saja yang berusaha benar-benar memahami hadis serta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana ada kalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.

Setiap sarana ada prasarana mungkin saja berubah dari suatu masa kemasa lainya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan mengatai kita dengannya, atau membekukan diri dengannya.

Bahkan sekiranya al-Qur’an sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.

Contoh dari kaidah ini adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang pengobatan ala  Nabi Saw, seperti halnya hadis yang menyebutkan tentang habbat al-sauda’, dimana dalam hadis itu disebutkan bahwa habbat al-sauda’ merupakan obat dari segala macam penyakit, kecuali kematian.

Hadis-hadis semacam ini menjelaskan tentang khasiat biji-bijian atau obat-obatan tertentu pada hakekatnya bukanlah ruh pengobatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena ruh pengobatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hakekatnya adalah menjaga kesehatan itu sendiri, baik kesehatan jasmani maupun rohani.

Jika seorang manusia mengalami kecapean, maka hendaknya ia istirahat, jika ia lapar, maka hendaknya makan dan jika sakit, maka hendaknya ia berobat, karena berobat tidak menafikan tawakkal kepada Allah Swt, karena setiap penyakit ada obatnya.

Prinsip pengobatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga lebih menekankan kepada prinsip “menjaga lebih baik dari pada mengobati”. Juga menghindari dari mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat membahayakan tubuh.

Dengan demikian, ketika sebuah hadis menjelaskan tentang obat tertentu, sesungguhnya hal itu menjelaskan tentang media obat pada waktu itu, sesuai dengan penyakit yang muncul pad waktu itu. Bukan berarti membatasi kita agar hanya berobat dengan obat itu.

6. Membedakan antara Ungkapan Haqiqat dan Majaz dalam Memahami Hadis

Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majaz (kiasan atau metafora), sebab Rasulullah Saw adalah orang Arab yang menguasai balaghah (retorika).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majaz adalah majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.

Menurut al-Qardawi, pemahaman berdasarkan majaz terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Untuk hadis yang tidak bisa dipahami secara tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil terhadapnya.

Upaya ta’wil harus didukung oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut ditolak oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut harus ditolak, begitu juga pena’wilan yang dipaksakan.

Sedangkan pemahaman hadis yang hanya sesuai dengan susunan lahiriahnya atau tekstualnya sajapun harus ditolak, jika bertentangan dengan konklusi yang jelas, atau hukum syari’ah yang benar, atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.

Contoh dari kaidah ini adalah pemahaman tentang hakikat Dajjal yang banyak disebutkan dalam berbagai macam hadis.

Menurut Syuhudi Isma’il, Dajjal disini merupakan ungkapan simbolik yang merupakan keadaan yang penuh ketimpangan. Para penguasa pada saat itu bersikapn dzalim, kaum dhu’afa tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiaatan lainnya telah melanda di tengah-tengag masyarakat.

Namun pena’wilan semacam ini dibantah oleh al-Qardawi, karena bertentangan dengan keterangan yang telah ditetapkan oleh hadis-hadis yang banyak bahwa Dajjal adalah seseorang manusia yang pergi di pagi dan sore hari, masuk dan keluar, memanggil, marah dan menakut-nakuti.

7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Nyata

Diantara kandungan hadis, ada beberapa hal yang berkaitan dengan alam gaib, yang sebagianya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan oleh Allah Swt untuk melakukan tugas terntentu.

Didalam hadis terdapat pembicaraan tentang alam gaib yang luas, dengan menguraikan terinci apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an dalam garis besarnya saja. Seorang muslim wajib menerima hadis-hadis sahih yang berbicara tentang alam gaib ini dan tidak dibenarkan menolaknya semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan dengan pengetahuan.

Selama hal itu masih dalam batas kemungkinan menurut akal, walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan. Sikap yang benar yang haruskan oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal adalah mengatkan; “kami beriman dan percaya” setiap kali dihadapkan hal-hal gaib yang ditetapkan dalam agama.

8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-Kata dalam Hadis

Dalam memahami hadis dengan sebaik-baiknya penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalannya berubah dari suatu masa ke masa lainnya.

Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk pada makna-makna tertentu pula. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam hadis (atau juga dalam al-Qur’an) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau juga dalam al-Qur’an) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau hanya digunakan di kalangan mereka saja). Di sini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.

Contoh penerapan kaidah ini adalah hadis yang menjelaskan tentang ancaman bagi mushawwir. Dalam sebuah hadis Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang siksaanya paling bedih di sisi Allah Swt pada hari kiamat adalah al-Musawwirun.”

Sebagian orang menganggap bahwa pekerjaan fotografi termasuk dalam ancaman hadis itu, karena fotografer dalam bahas Arab kekinian disebut musawwir. Padahal, istilah fotografi belum muncul di zaman Nabi Saw. Dengan demikian salah besar jika mengharamkan fotografi dengan memakai hadis di atas.

Kesimpulan

Memahami hadis merupakan bukanlah suatu hal yang mudah, dikarenakan hadis merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw, baik perkataan, perbuatan, persifatan maupun ketetapan.

Persoalan ini dizaman Rasulullah bukan merupakan perkara yang sukar, karena bila mana ada salah seorang sahabat mengalami kesukaran dalam memahami hadis, maka para sahabat dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah, begitupun pada masa setelahnya, didukung dengan permasalahan hidup yang terbilang sederhana.

Hal ini berbanding terbalik dengan era sekarang, dengan perkembangan zaman yang sangat maju menciptakan berbagai inovasi kehidupan baru sehingga lahir problem kehidupan yang elusif, yang mempengaruhi pada pola pemahaman hadis.

Dalam upaya ini tidak bisa misal hanya dengan menggunakan metode tekstual maka dari itu dalam rangka menanggapi perkara ini perlu dihadirkan pendekatan kontekstual, pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis, dan antropologis cenderung lebih lentur, kenyal, elastis.

Namun kemudian hal ini, tidak berarti kita harus kehilangan ruh semangat nilai yang terkandung dalam hadis tersebut. Dengan memahami hadis secara tekstual dan kontekstual akan melahirkan pemahaman yang moderat yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Penulis: Muhammad Dakhilullah

Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Referensi

Khudori, Muhammad. 2017. “Perlunya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual untuk Mendapatakan Pemahaman Yang Moderat ‘Alaa Madhab Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Al-fithrah 3

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI