Pernikahan Beda Agama Apakah Diperbolehkan? Berikut Penjelasan Perspektif Islam dan Psikologi

Pernikahan Beda Agama

Manusia merupakan makhluk sosial dimana makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain, saling bersosialisasi. Karena adanya sosialisasi muncul rasa peduli, saling menyayangi, saling mencintai dan ingin memiliki hidup yang bahagia serta memiliki keturunan dengan melangsungkan pernikahan.

Pernikahan merupakan suatu acara yang sakral. Pernikahan seperti membuka pintu kehidupan yang baru, bukan hanya di kehidupan sekarang namun juga di kehidupan selanjutnya, seperti yang sudah ajarkan oleh agama.

Esensi dari pernikahan bukan hanya kebutuhan biologis saja, namun melestarikan keturunan. Nabi Saw memberikan suri teladan kepada kita bagaimana memilih kriteria pasangan agar rumah tangga yang sedang dibangun sesuai dengan manfaat dan tujuan menikah. 

Bacaan Lainnya

Rasulullah SAW telah mengajarkan bahwa ajaran agama merupakan prioritas utama dalam menentukan pasangan ke jenjang pernikahan. Dijelaskan dalam sebuah hadist: “Wanita dinikahi didasarkan pada empat hal: karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan agamanya.

Utamakanlah kualitas agamanya, agar kamu tidak celaka” (Riwayat Bukhari-Muslim). Pada hadist tersebut ditekankan pada agama dengan maksud untuk memilih yang seagama.

Islam mengajarkan umatnya agar hidup lurus dalam hidayah Allah SWT, tidak tergoda dengan kesesatan  setan, jin maupun manusia. Oleh karena itu seorang muslim dilarang menikah dengan orang musyrik.  Pada masalah ini, QS. al-Baqarah: 221 dijadikan dasar utama dalam membangun ketentuan larangan nikah antar agama. Seperti firman Allah SWT “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,  sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,   walaupun Dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang  musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga  dan ampunan dengan izin-Nya.dan Allah menerangkan  ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada  manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Dalam “Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam” juga diterangkan bahwa pada tanggal 1 Juni tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengemukakan fatwa berkaitan dengan kawin lintas agama. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraan kawin lintas agama yang telah dibicarakan pada  Konferensi Tahunan Kedua MUI pada tahun 1980.

Fatwa tersebut menghasilkan dua butir ketetapan. Yang pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dinikahi dengan seorang laki-laki bukan Islam; kedua, bahwa laki-laki muslim tidak diizinkan menikahi seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahli Kitab).

Laki-laki tidak diperkenankan menikahi wanita musyrik sedangkan wanita muslimah tidak diperkenankan dinikahi oleh laki-laki musyrik dan ahli kitab.

Pernikahan beda agama di Indonesia seringkali menjadi bahan pembicaraan bahkan beberapa dari kalangan artis sudah melakukannya.

Perbedaan agama di antara kedua belah pihak seringkali menimbulkan permasalahan seperti pelaksanaan ibadah, peraturan dalam hal makanan dan berpakaian, serta ritual keagamaan, contoh: idul fitri, natal, nyepi dan lain-lain. Dan ada pula peraturan yang melarang hal tersebut yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Secara nyata dan jelas, Pasal 40 KHI menyebut larangan laki-laki untuk menikahi perempuan yang non muslim. Hal ini diperkuat dengan Pasal 2 UU 1/1974 yang mengatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan keyakinan dan ajaran masing-masing.

Pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan agama memiliki potensi yang akan berdampak pada kehidupan individu maupun lingkungan di sekitarnya.

Pasal 100 KHI menyebutkan bahwa anak yang lahir dari pasangan beda agama tidak dapat diakui secara sah, dikarenakan perkawinan orang tuanya sendiri sudah tidak sah secara hukum.

Akibatnya adalah anak mempunyai hubungan hukum hanya dengan ibu, bukan dengan ayah. Namun walaupun demikian, anak secara administrasi mempunyai hak untuk diakui keberadaannya di depan hukum melalui pencatatan sipil.

KUHPerdata memandang perkawinan hanyalah hubungan perdata, sebagaimana tertuang pada Pasal 26. Tidak adanya definisi yang jelas dalam hal agama di perkawinan menjadikan perkawinan beda agama dapat dilakukan.

Pernikahan beda agama tidak selalu indah, meskipun bagi mereka menikah beda agama tidak menjadi masalah.

Pada kenyataanya banyak yang mengalami konflik hingga berujung perceraian. Akibat yang timbul karena dampak psikologis perkawinan antar agama adalah memudarnya keharmonisan suami istri yang telah berjalan sekian lama.

Pada awalnya sewaktu perbedaan itu dianggap sepele mereka berpikir bisa diatasi di kemudian hari atas dasar cinta.Tapi lama kelamaan ternyata perbedaan itu menjadi masalah dalam menjalankan rumah  tangga.

Sebagai contoh, ketika seorang istri (muslimah) ingin melakukan kewajiban sebagai orang muslim yakni pergi pergi Haji, tentunya merupakan kebahagiaan seorang istri adalah ketika suami dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Namun rasa sedih yang ia dapatkan melihat anak-anak dan suaminya tidak bisa bersamanya.

Maka rumah tangga yang awalnya saling mencintai, lama kelamaan akan memudar akibat perbedaan keyakinan tersebut. Sedangkan dampak yuridisnya, yaitu jika melakukan perkawinan beda agama adalah masalah keabsahan perkawinan tersebut.

Begitu juga dengan perceraian yang terjadi akibat masalah perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan tidak dapat diterima oleh kedua suami istri tersebut

Bahkan tidak jarang mereka memperebutkan hak asuh anaknya agar mengikuti agama salah satu orang tuanya. Ini merupakan salah satu dampak negatif nikah beda agama, anak menjadi korban.

Ini akan berpengaruh ke psikologis anak, anak akan merasa tertekan atas dirinya sehingga anak tersebut bingung atas keyakinannya.

Anak harus mengikuti salah satu agama dari ayah atau ibunya karena kedua orang tua mereka terikat sebuah perjanjian yang mengakibatkan si anak harus mengikut agama sesuai dengan kesepakatan orang tuanya. Oleh karena itu anak memiliki gejolak yang terpendam di antaranya:

1. Anak Mengalami Kebingungan

Perkawinan antar agama dalam kenyataannya lebih banyak mengalami dampak negatif. Perkawinan antar  agama mengakibatkan dampak psikologis pada keluarga. Terlebih kepada anak, salah satunya anak akan mengalami kebingungan karena ada dua agama dalam keluarganya. Oleh karena itu menyebabkan anak tidak mendapatkan pendidikan moral secara benar. Sebagai akibatnya akan timbul tekanan dalam diri anak. Perkawinan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang dari sisi psikologis.

Prinsipnya, semua agama tidak memperkenan pernikahan yang berbeda agama. Bukan  hanya dari segi hukum agama  itu sendiri, tetapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan itu sendiri. Dalam membina   rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan, membesarkan dan mendidik anak, serta terkandung pula hak dan kewajiban orang tua. Sebagai amanat Allah yang dititipkan kepada kedua orang tua, anak pada dasarnya harus memperoleh perawatan, peran yang cukup dari kedua orang tua dimasa kecil akan bergantung pada kepribadiannya ketika dewasa.

2. Gangguan Jiwa pada Anak

Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terdapat dua agama dalam keluarganya, selain anak mengalami kebingungan sebenarnya akan terjadi gangguan pada jiwa anak.

Pertama, anak mengalami  gangguan kecemasan, anak-anak dengan gangguan kecemasan seperti ini menanggapi hal-hal tertentu atau situasi dengan rasa takut dan ketakutan.

Apalagi saat anak melihat orang tuanya sedang bertengkar. Kedua, Gangguan perilaku, anak-anak dengan gangguan ini cenderung untuk menentang aturan yang diberikan oleh orang tuanya dan sering mengganggu di lingkungan sekitar. Ketiga, anak mengalami gangguan perkembangan, anak-anak dengan gangguan ini biasanya pola pemikiran mereka memiliki masalah dalam memahami dunia di sekitar mereka.

Mereka tidak bisa mengatasi berbagai masalah yang akan dihadapinya. Karena, di dalam keluarganya saja anak sudah mengalami kebingungan dengan status kedua orang tuanya yang berbeda keyakinan. Oleh karena itu,semua tingkah laku dan  perkembangan anak terwujud sebagaimana didikan kedua orang tuanya.

Penulis: Zahira Khairunisa
Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

Daftar Pustaka

Halim, A., & Hosnan, M. (2020, sep). Perkawinan Antar Agama dan Dampaknya Terhadap Psikologi Pendidikan Anak. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman, [Sl], 3(n. 2), 301-325. https://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik/article/view/161

Jalil, A. (2018, Juli – Desember). PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA. Andragogi Jurnal Diklat Teknis, Vol: VI(2).

Makalew, J. M. (2013). AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA. Lex Privatum, Vol.I(2).

Putri, A. H., & Sari, A. (2019, Juli). AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA. Jurnal Hukum Kenotariatan, 1(2). https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/otentik/article/view/2053

Surahman, S. (2022, 04 29). Perkawinan Beda Agama Itu Boleh (?). Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA), 2(4). https://doi.org/10.55927/mudima.v2i4.290

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI