Wajah Demokrasi Indonesia yang Kian Muram

Wajah Demokrasi Indonesia
Ilustrasi Demokrasi (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Dalam beberapa waktu belakangan, masyarakat Indonesia disuguhkan oleh berbagai macam berita politik yang membuat geram dan naik pitam.

Kita sedang diperlihatkan bagaimana demokrasi yang telah dibangun sejak 20-an tahun lalu sedang diinjak-injak melalui berbagai macam peraturan yang sedang dibahas dan menimbulkan polemik di kalangan masyarakat sipil. Bagaimana tidak, sejumlah peraturan itu mengancam demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia.

Aturan itu terdiri dari revisi RUU Penyiaran, RUU Polri, serta RUU TNI. Ketiga aturan tersebut sangat membahayakan demokrasi di Indonesia, karena didalamnya memuat sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi untuk masyarakat sipil.

Bacaan Lainnya

Selain itu, ada juga soal Tapera yang memotong gaji atau pendapatan masyarakat sebesar 3%. Aturan itu hanya ditunda, bukan dibatalkan. Masyarakat harus terus mengawal soal aturan yang semakin membebani dan menyulitkan kita semua.

Tak hanya itu, ada pula putusan MA mengenai syarat usia bagi orang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan MA menimbulkan aroma nepotisme sebagaimana putusan MK terkait batas usia cawapres yang memberikan keuntungan segelintir orang atau keluarga. Bahkan, terdapat anekdot di media sosial mengenai kepanjangan dari MK yang berarti “Mahkamah Kakak”, sedangkan MA berarti “Mahkamah Adik”.

Pada 20-an tahun silam, masyarakat sipil mengecam keras praktik KKN yang terjadi di lingkaran kekuasaan, tetapi saat ini KKN muncul kembali di wajah pemerintahan yang menggunakan “topeng demokratis” dan terjadi secara terang-terangan.

Fenomena itu sangat memalukan dan juga menjijikan. Negara seolah-olah dijadikan sebagai kebutuhan dan penyaluran hasrat kekuasaan untuk satu keluarga semata.

Praktik politik kotor tersebut disebut juga sebagai politik dinasti. Di samping itu, wajah demokrasi Indonesia semakin muram saat seseorang dengan rekam jejak sebagai pelanggar HAM mampu meraih jabatan tertinggi di Republik ini. Ini akan menjadi ironi dan tantangan tersendiri bagi demokrasi dan penegakkan hak asasi di Indonesia, paling tidak selama 5 tahun ke depan.

Sementara itu, di ujung timur Indonesia, tepatnya di Papua, terdapat dua suku masyarakat adat, yaitu suku Awyu (Papua Selatan) dan suku Moi (Papua Barat Daya) yang sedang berjuang untuk mempertahankan hutan adat atau ruang hidupnya dari aktivitas perusahaan sawit yang dapat mengancam eksistensi mereka sebagai masyarakat adat. Perusahaan tersebut bernama PT Indo Asiana Lestari, perusahaan asal Cangkang Malaysia.

Baca juga: Politik Identitas dan Dampaknya terhadap Demokrasi di Asia Tenggara, Terkhusus Indonesia

Demi mempertahankan ruang hidupnya yang terancam, mereka rela jauh-jauh datang ke Jakarta dengan mengenakan pakaian adat, melakukan ritual, serta pertunjukan tari tradisional di depan gedung Mahkamah Agung.

Mereka meminta MA untuk mencabut izin perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka yang luasnya hampir separuh provinsi Jakarta. Kasus tersebut berujung pada menggemanya kampanye “All Eyes On Papua” di media sosial.

Masyarakat Indonesia dibawa dari satu persoalan ke persoalan lain. Persoalan satu tidak diselesaikan sebagimana seharusnya, melainkan ditutupi dengan persoalan-persoalan baru. Oleh karena itu, timbul satu pertanyaan, bagaimana wajah demokrasi Indonesia ke depannya, utamanya dalam kebebasan berekspresi atau berpendapat?

Bagaimana penegakkan hak asasi manusia? Pertanyaaan ini timbul setelah pasangan yang menang di Pemilu 2024 lalu menggunakan tagline “keberlanjutan”. Apakah masih ada harapan dan cahaya terang, setelah masa yang suram ini?

Paket RUU yang Mengekang Kebebasan Sipil

Sejak tahun 2019, terdapat sejumlah revisi undang-undang yang mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. Salah satunya ialah terkait RKUHP. RUU tersebut mendapatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, dimulai dari mahasiswa, aktivis, hingga jurnalis. Bersama RKUHP, ada juga penolakan terhadap revisi UU KPK yang sangat melemahkan kewenangan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Penolakan itu terjadi di berbagai kota besar yang berujung pada jatuhnya korban jiwa sebanyak 5 orang dan 200-an orang lainnya luka-luka. Demonstrasi itu merupakan demonstrasi mahasiswa terbesar setelah era reformasi 1998.

Dalam demonstrasi itu mengangkat tajuk #ReformasidiKorupsi. Para mahasiswa juga mengajukan mosi tidak percaya kepada DPR.

Penolakan massa aksi terhadap RKUHP sangatlah beralasan. Alasan dari banyaknya penolakan terhadap RKUHP saat itu dikarenakan terdapat sejumlah pasal yang membahayakan demokrasi serta hak asasi warga negara Indonesia.

Misalnya, seperti pasal penghinaan presiden yang ditentang oleh kalangan masyarakat sipil. Lalu, ada pula terkait pasal unjuk rasa tanpa pemberitahuan akan dikenakan hukuman pidana.

Pasal tersebut dapat dijadikan sebagai alat pembenaran untuk melarang atau membubarkan aksi massa atau demonstrasi. Kemudian, ada pasal-pasal bermasalah lainnya dalam RKUHP diantaranya pasal terkait living law, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, hingga meringankan ancaman bagi koruptor.

Penolakan yang luas dari masyarakat sipil dianggap angin lalu saja oleh Pemerintah-DPR, karena pada akhirnya DPR telah mengesahkannya pada 6 Desember 2022 lalu.

Ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi di Indonesia tak selesai setelah pengesahan KUHP. Dua tahun berselang, Pemerintah dan DPR membawa paket aturan (lagi-lagi) problematik. Aturan-aturan tersebut berpotensi mengancam dan mengekang kebebasan sipil yang terdiri atas RUU Penyiaran, RUU Polri, RUU TNI.

Dalam draf RUU Penyiaran, terdapat pasal-pasal yang tak sejalan dengan semangat kebebasan pers. Salah satunya ialah soal larangan konten jurnalistik investigasi. Hal ini tentu sebuah kekeliruan, karena investigasi merupakan nyawa dari produk jurnalistik.

Dapat dibayangkan dalam suatu negeri yang di mana warganya sudah tidak percaya dengan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan atau kejahatan yang ada, maka kehadiran jurnalisme investigasi dapat sangat membantu.

Di samping itu, dalam penyusuan draf RUU Penyiaran, DPR tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Banyak tokoh-tokoh publik yang angkat suara terkait polemik RUU Penyiaran dan mereka semua satu suara bahwa terdapat upaya pembungkaman pers yang nyata.

Selain RUU Penyiaran, juga ada RUU Polri dan RUU TNI. Kedua RUU tersebut dapat mengembalikan TNI-Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Paket RUU tersebut benar-benar tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat reformasi.

Dalam draf RUU Polri, institusi kepolisan memiliki kewenangan dalam mengamankan, membina, dan mengawasi ruang siber seperti yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 huruf b. Pasal tersebut mendapatkan sorotan dari KontraS, dikarenakan rentan atau berpotensi disalahgunakan.

Selain itu, pasal tersebut jangan sampai menjadi justifikasi untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat di media sosial.

Baca juga:Apakah Demokrasi Membungkam Masyarakat?

Kemudian, pasal tersebut juga membatasi ekspresi-ekspresi dari publik di ruang maya. Jangan sampai RUU tersebut membuat lembaga kepolisian dapat bertindak lebih jauh untuk memberangus suara-suara masyarakat, terlebih dalam soal isu kebijakan publik.

Bagaimanapun juga, media sosial memiliki peran penting dalam mengawal suatu isu. Terlebih, dalam soal warga negara yang suaranya kerap kali terpinggirkan.

Sementara itu, dalam draf RUU TNI, perwira aktif dapat kembali menduduki jabatan sipil atau pos-pos strategis. Kekhawatiran masyarakat sipil semakin bertambah, setelah ada pernyataan bahwa TNI bukan dwi-fungsi, melainkan multifungsi. Jika dicermati pernyataan tersebut, maka peran TNI melampaui sebagaimana peran dan fungsinya di masa Orde Baru.

Selain itu, dalam draf revisi UU TNI dapat memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Pada regulasi yang sebelumnya, anggota TNI harus tunduk pada peradilan militer, jika ia melakukan pelanggaran hukum militer dan harus tunduk para peradilan umum jika melakukan pelanggaran hukum pidana umum.

Akan tetapi, dalam RUU TNI, anggota TNI hanya tunduk pada peradilan militer, baik saat melakukan pelanggaran pidana militer maupun pidana umum. Jika memang benar begitu, maka ini tidak sejalan dengan prinsip equality before the law sebagai salah satu pilar penting dalam negara hukum. Namun, bukankah selama ini prinsip tersebut hanya sekadar slogan dan omong kosong belaka?

Demokrasi Dipreteli, Reformasi Dikorupsi

Di seluruh dunia memang terjadi fenomena terhadap pembajakan demokrasi- istilah lainnya democratic regression. Di Indonesia pun juga demikian, bahwasanya setiap tahunnya indeks demokrasi terus menurun, terutama dalam sektor kebebasan berekspresi. Seperti data yang dikemukakan oleh Freedom House, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023.

Kemudian, data yang lain datang dari Economist Intelligence Unit (EIU) menyatakan, bahwa Indonesia skor 6,71 pada indeks demokrasi pada tahun 2021 dan 2022. Walaupun memiliki skor yang sama, rangking Indonesia turun di tingkat global dari 52 menjadi 54. Demokrasi di Indonesia masuk ke dalam kategori demokrasi yang cacat (flawed democracy).

Menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti hampir tiadanya keberadaan kelompok oposisi. Selama 10 tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, peran dan fungsi dari kelompok oposisi tidak begitu berpengaruh dalam menyeimbangkan kekuasan dan mekanisme check & balances. Dalam negara demokrasi yang sehat, peran oposisi sangat penting.

Selain itu, masih terdapat upaya dari pihak penguasa dalam melakukan kriminalisasi terhadap aktivis atau suara-suara kritis. Sebagian besar aktivis umumnya dijerat dengan UU ITE dan pasal pencemaran nama baik. Berdasarkan data dari Safenet, aktivis, jurnalis, dan akademisi merupakan pihak yang paling banyak dilaporkan sepanjang tahun 2008-2020.

Sementara itu, para pelapor terbanyak dalam penggunaan UU ITE ialah para politisi atau pejabat publik. Mereka menggunakan UU ITE sebagai alat untuk memberangus orang-orang kritis.

Kemudian, upaya pelemahan KPK yang juga tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 membuat lembaga tersebut kehilangan integritas dan kepercayaaan dari publik. Revisi UU KPK telah menggerogoti kelincahan KPK sebagai lembaga penting dalam agenda pemberantasan korupsi di Republik ini. Pelemahan KPK merupakan pengkhianatan awal terhadap agenda reformasi 1998.

Setelah berhasil melumpuhkan KPK, kini muncul kembali wacana diperbolehkannya anggota Polri-TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Sepertinya, bangsa kita adalah bangsa yang lemah dalam mengingat sejarah bangsanya sendiri di masa lalu. Selain itu, pada reformasi 1998, salah satu agendanya ialah menghapus atau mencabut dwi-fungsi ABRI.

Baca juga: Kemunduran Demokrasi di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo: Studi Masuknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden 2024-2029

Terakhir, kini kembali terjadi praktik KKN yang dilakukan secara terang-terangan. Jabatan-jabatan penting tidak diberikan berdasarkan kemampuan atau kapasitas, melainkan berdasarkan ikatan keluarga dan kasih sayang dari orang tua kepada anak, menantu, ipar, saudara, atau mungkin cucu. Sepertinya, kita tidak benar-benar menghancurkan Orde Baru, sebab ia kembali datang dengan wajah yang lugu dan polos.

 

Penulis: Arman Ramadhan
Mahasiswa Manajemen Komunikasi, Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik Jakarta

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI