Analisis HAM di Lingkungan Perguruan Tinggi terhadap Kasus Pelecehan/Kekerasan Seksual

kekerasan seksual.
Sumber ilustrasi: istockphoto.com

Abstrak

Pelecehan seksual/ kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi di mana-mana. Bahkan jika perempuan memiliki hak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di semua domain, kekerasan terhadap mereka adalah tindakan yang sangat brutal.

Karena kecemasan mereka, mahasiswi dan korban pelecehan seksual takut untuk memberi tahu otoritas universitas, apa yang sebenarnya terjadi. Pendekatan penelitian ini menggunakan hukum normatif dan metode kualitatif dengan analisis kepustakaan.

Temuan studi menunjukkan bahwa kekerasan seksual melanggar sejumlah hak mahasiswa sebagai warga negara dan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Universitas seringkali membungkam para penyintas yang mengalami pelanggaran HAM dengan dalih menjaga nama baik kampus.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Guru Melakukan Kekerasan Seksual, Bagaimana Dampak Trauma yang Dialami Korban?

Selain itu, banyak pelanggaran hak asasi manusia ditemukan ketika menyelidiki tuduhan penyerangan seksual di institusi perguruan tinggi. Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk pelecehan/kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun 2015 hingga 2021.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pelaku kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan bervariasi. Data dari Komnas Perempuan dari tahun 2015-2021 ada 67 pelaku, yaitu Guru 28 orang, Dosen 15 orang, Peserta Didik 10 orang, Kepala Sekolah 9 orang, Pelatih 2 orang, dan Lain-lain 3 orang.

Kata Kunci: Pelecehan/Kekerasan Seksual, Perguruan Tinggi, Hak Asasi Manusia.

Pendahuluan

Isu kekerasan seksual telah menarik perhatian lebih di pendidikan tinggi selama beberapa tahun terakhir, menarik minat berbagai pemangku kepentingan, termasuk Mahasiswa, Orang Tua, Pembuat Kebijakan (dalam dan luar kampus), Akademisi, Staf, dan Administrator, dan lain-lain.

Selama beberapa dekade terakhir, penelitian tentang kekerasan seksual di kampus telah meningkat secara dramatis, tetapi analisis literatur mengungkapkan bahwa sebagian besar penelitian ini masih dilakukan secara terpisah oleh berbagai disiplin ilmu (Harris & Linder, 2017).

Kekerasan seksual memiliki kekuatan dan dominasi sebagai penyebab yang mendasarinya (Deer, 2015; Harris & Linder, 2017; Hong, 2017), namun hanya sedikit inisiatif pendidikan dan metodologi penelitian yang secara jelas menangani masalah ini.

Misalnya, banyak kampanye untuk mencegah serangan seksual di kampus-kampus menekankan teknik mitigasi risiko bagi calon korban dalam bentuk nasihat keselamatan yang ditujukan terutama untuk perempuan (Badera & Nordmeyer, 2015) atau program intervensi pengamat, yang berfokus pada penghentian tindakan individu.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Berujung Maut

Kejahatan, tetapi bukan budaya pemerkosaan, termasuk dinamika kekuasaan, yang memungkinkan kekerasan seksual berkembang (Chief Elk & Devereaux, 2014; Hong, 2017; Reid & Dundes, 2017).

Untuk lebih memahami pola dalam literatur, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi komprehensif tentang kekerasan seksual kampus. Peneliti secara khusus ingin mengkonsolidasikan bidang literatur kekerasan seksual dengan hukum yang berlaku.

Tinjauan Pustaka

Kekerasan/ Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual atau kekerasan seksual adalah perilaku yang terjadi di kantor, di lingkungan profesional, atau di lingkaran sosial lainnya, dan ditandai dengan komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas, atau pendekatan fisik dengan orientasi seksual (Azis, 2020).

Insiden pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk di tempat umum seperti jalan, trotoar, atau angkutan umum oleh pelaku yang tidak disadari oleh korban (pelecehan seksual orang asing).

Selain aktivitas seksual, kekerasan seksual juga mengacu pada ekspresi seksualitas manusia terhadap orang-orang yang tidak dapat memberikan persetujuan yang sebenarnya, serta mereka yang ditekan, diintimidasi, diancam, dikurung, ditekan secara psikologis, atau disalahgunakan.

Kekerasan seksual menurut RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai perbuatan yang menyinggung, menyerang, menghina, atau dengan cara lain merusak tubuh, hasrat seksual, atau kesuburan seseorang. RUU tersebut membuat sangat jelas bahwa langkah-langkah ini dikenakan terhadap kehendak rakyat.

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak yang Tidak Diseriusi Oleh Pemerintah

Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan metode penelitian literature research (penelitian kepustakaan) dan hukum normatif. Studi kepustakaan (literature research) merupakan serangkaian kegiatan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, serta mengelola bahan penelitian.

Menurut J. Supranto seperti yang dikutip Ruslan dalam bukunya metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, bahwa studi kepustakaan adalah dilakukan mencari data atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Ruslan, 2008:31).

Studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penelitian.

Menurut Ronald Dworkin (2003), penelitian Hukum Normatif adalah penelitian yang mengacu pada “Hukum sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab dan hukum itu diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan”. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa hak asasi manusia di Indonesia.

Baca Juga: Kasus Kekerasan terhadap Orang Tua kepada Anak di RW 01 Kelurahan Ciseureuh Purwakarta

Pembahasan

Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Pada peringatan Women’s Day bulan Maret 2019 lalu, ditemukan beberapa mahasiswa yang menyuarakan keresahannya mengenai kekerasan seksual yang menimpa mereka. Setidaknya didapatkan 174 cerita dari penyintas, yang mengungkapkan bahwa pelecehan dan pelecehan seksual di kampus-kampus di Indonesia tersebar luas di 29 kota dari bagian barat hingga timur Indonesia, meliputi 79 Universitas Negeri, Swasta, dan berbasis Agama.

Kota-kota tersebut antara lain Serang dan Tangerang di Banten, Medan di Sumatera Utara, Makassar di Sulawesi Selatan, dan Malang di Jawa Timur. Banyak kasus yang tidak dilaporkan dan sebagian besar belum terselesaikan.[1]

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan laporan pelecehan seksual biasanya puncak gunung es, dengan lebih banyak laporan berarti lebih banyak korban yang berbicara, tetapi tidak ada laporan dari lembaga tertentu berarti tidak ada pelecehan di lembaga itu.

Terjadi di dalam dan di luar kampus, sebagian besar korban yang selamat adalah mahasiswi pada saat dugaan pelecehan tersebut, dengan tujuh di antaranya adalah laki-laki.

Data yang dikumpulkan dari kesaksian mereka menunjukkan bahwa 50 persen penyintas mengatakan mereka telah mengalami pelecehan seksual berkali-kali, sementara 50 persen lainnya mengatakan itu hanya terjadi sekali.

Baca Juga: Apakah Salah Pendidikan Seksual Diajarkan Sejak Dini?

Mereka dilecehkan di dalam dan di luar kampus oleh mahasiswa dan dosen saat melakukan kegiatan sehari-hari, saat acara universitas, program magang, program pengabdian masyarakat atau saat melakukan penelitian.

Sebagian besar kampus tidak memiliki prosedur yang diketahui untuk membantu para penyintas melaporkan kasus mereka. Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Ismunandar, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan VICE Indonesia pada bulan Februari 2019, bahwa universitas di Indonesia adalah entitas “otonom” dan kasus pelecehan seksual semacam itu harus ditangani oleh masing-masing institusi.

Kementerian tidak memiliki rencana untuk mengeluarkan pedoman pemberantasan pelecehan seksual di kampus, termasuk pelecehan yang dilakukan oleh dosen. Beberapa penyintas juga tidak melaporkan kasusnya karena mereka curiga pejabat universitas akan lebih peduli dengan reputasi universitas.

Bahkan, tak jarang penyintas dibungkam oleh pihak kampus demi menjaga  nama baik universitas. Sebagian besar kasus semacam itu berakhir dengan “penyelesaian damai” yang dinegosiasikan dengan gagal memberikan keadilan bagi para korban, yang merasa tidak berdaya melawan staf senior dan pejabat universitas.

Laporan telah muncul di media Indonesia tentang dosen atau mahasiswa senior yang melecehkan, menyerang, dan memperkosa mahasiswi. Keputusasaan para korban yang merasa tidak mampu mencari keadilan tercermin dari tagar viral yang mengiringi isu tersebut, antara lain #NamaBaikKampus (demi nama baik kampus)[2].

Baca Juga: Keadilan yang Ada dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

Hak Asasi Manusia bagi Penyintas

Setiap Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, terjangkau, dan berkualitas. Hal tersebut seiring dengan amanah konstitusi yang tertuang dalam UUD NRI Tahun1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2).

Juga dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal (12), “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”

Dalam hal ini, perlindungan mengacu pada hak atas pendidikan yang aman dan berkualitas tinggi. Mahasiswa akan mengalami rasa khawatir, tidak nyaman, dan ketakutan akibat insiden kekerasan seksual yang terjadi di kampus, termasuk yang dilakukan oleh dosen.

Berdasarkan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari 2015-2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Namun hanya 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan 174 testimoni, dari 79 kampus di 29 kota, ada sebesar 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.

Sementara itu, Tim Tenaga Ahli Pencegahan dan Penanganan Seksual Kemendikbudristek Rika Rosvianti, menyatakan Kemendikbudristek telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS).

Baca Juga: ‘Kado’ dari Kemendikbud-Ristek: Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 jadi Peringkus Pelaku Predator Seksual Kampus

Regulasi ini disebutkan hadir untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan. Khususnya para korban yang seringkali terputus pendidikannya karena kekerasan seksual.

Pelecehan seksual mengacu pada pelanggaran yang melanggar hak privasi seseorang dan terkait dengan seksualitas mereka, baik kecil (seperti pelecehan verbal) atau berat (seperti pemerkosaan). Dengan cara yang sama, hal itu merusak kepentingan publik yang diwakili oleh jaminan hak asasi manusia yang ditegakkan bersama.

Tentang kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan, KUHP memuat pasal-pasal yang mengatur tentang delik-delik tersebut. Pasal 289 sampai 296 dan 2 mengaitkan kecabulan dengan pelanggaran lain (pasal 286-288). Sebenarnya, kategori yang disebutkan dalam pasal-pasal ini mungkin tidak mencakup apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual.

Menurut definisi yang luas ini, pelecehan seksual mencakup semua tindakan yang bernuansa seksual, dilakukan secara sepihak, tidak diharapkan oleh target, dan diperhitungkan penerimaan atau penolakan korban terhadap tindakan tersebut, baik secara implisit maupun eksplisit, ketika mengambil keputusan tentang tindakan tersebut.

karier atau pekerjaan seseorang. Termasuk juga tindakan yang mengganggu ketentraman di tempat kerja, mengintimidasi orang lain, dan membuat tidak aman dan tidak nyaman bagi karyawan untuk bekerja.

Baca Juga: Isu Pelecehan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Kampus Universitas Riau

Pada tanggal 10 Desember 1948, penekanan ditempatkan pada fakta bahwa “setiap manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak” dalam perjanjian internasional (terutama yang lebih diratifikasi oleh pemerintah Indonesia) yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi perempuan.

Dengan kata lain, hak asasi manusia merupakan hal yang fundamental dan vital bagi manusia untuk dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, nilai, dan martabatnya. Mereka adalah hak yang melekat pada manusia.

Hak bersifat universal, yang berarti bahwa setiap orang memiliki akses terhadapnya tanpa memandang negara asal, ras, agama, atau jenis kelamin. Perlindungan hak asasi manusia merupakan cita-cita universal yang berlaku bagi semua bangsa.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara historis ada kesamaan dalam jenis hal yang harus dilindungi dan diatur, ada juga perbedaan dalam cara negara-negara yang berbeda memandang dan menafsirkan hak asasi manusia. Kesulitan ini disebabkan oleh disparitas kepentingan nasional masing-masing bangsa serta landasan ideologis, politik, ekonomi, dan sosial budayanya.

Kekerasan terhadap perempuan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan Pasal 18 dan 38 Deklarasi Wina 1993 tentang Hak Asasi Manusia. Ketika kekerasan dilihat dari kacamata hak asasi manusia, menjadi jelas bahwa itu harus dilarang karena melanggar hak-hak itu dan mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Baca Juga: Hukum Tidak Berguna dalam Mengurangi Ketidakadilan dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Namun terkadang penggunaan kekerasan seperti yang disebutkan di atas tidak bisa dihindari, terutama untuk penegakan hukum. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat diterapkan adalah dengan membatasi dan mengatur penggunaan tindakan kekerasan tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan yang termasuk dalam kategori pelecehan seksual harus dikriminalisasi karena merupakan ketidakadilan dalam peran dan perbedaan gender. Kekerasan terhadap perempuan yang termasuk dalam kategori pelecehan seksual harus dikriminalisasi karena merupakan ketidakadilan dalam peran dan perbedaan gender.

Pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah individu, melainkan ini adalah masalah kejahatan yang mengakar dalam norma-norma sosial, politik, dan ekonomi. Selain hak, korban kekerasan seksual juga memiliki kewajiban.

Berikut ini adalah hak-hak korban kejahatan yang melibatkan pelecehan seksual atau penyerangan fisik: hak untuk menerima bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian), hak untuk menerima bantuan dalam menyelesaikan masalah dari tingkat awal melalui proses selanjutnya, seperti bantuan oleh pengacara dan sebagainya, dan hak untuk memperoleh bantuan keuangan.

Mendapatkan ganti rugi, menerima ganti rugi dari pelaku, menggunakan rechtsmiddelen, dan terlindung dari potensi ancaman dari orang yang melakukan kejahatan atau keluarganya, semuanya merupakan bagian dari rehabilitasi dan pembinaan (remedies hukum).

Baca Juga: HIPMA MPH Soroti Dugaan Pelecehan Seksual di KPI

Pelanggaran hak asasi manusia juga terjadi ketika mahasiswa yang selamat dari kekerasan seksual tetap diam tentang insiden tersebut. Mahasiswa yang merupakan penyintas kekerasan seksual dan mereka yang mencari bantuan dari Organisasi Kemahasiswaan seringkali tidak menerima tanggapan yang pasti dari universitas.

Ada dua jenis tanggapan dari pemangku kepentingan kampus dalam berbagai insiden kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Pertama, melindungi pelaku dan tidak memproses laporan korban atau kejadian yang sengaja ditutup-tutupi agar tidak diketahui orang luar untuk menjaga nama baik kampus.

Karena tidak ada atau sedikit komitmen institusional terhadap kasus kekerasan seksual, pihak kampus tidak bereaksi dengan baik. Dalam beberapa kasus, korban diperingatkan untuk tetap diam dan disalahkan karena membiarkan penjahat melakukan apa yang mereka lakukan.

Bahkan pelaku menghindari dengan berbagai alasan, antara lain salah tafsir, distorsi faktual, dan memojokkan korban dengan mengklaim sebaliknya. Beberapa mahasiswa yang menyebarkan informasi ini bahkan menghadapi hukuman karena dianggap telah memfitnah universitas.

Tidak ada keraguan bahwa ini melanggar kebebasan berekspresi orang. Menurut komnasham.go.id, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berorganisasi, berkumpul, dan berbicara” berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3).

Baca Juga: Tanggap Tangani Kasus Kekerasan Anak, Kapolsek Panakkukang dapat Penghargaan

Permendikbud PPKS benar-benar dapat menghentikan kekerasan dalam konteks perguruan tinggi jika dievaluasi. Undang-undang tersebut juga memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan keamanan dan perwakilan di pengadilan.

Menurut standar Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Pasal 10(b) menyatakan bahwa lembaga harus mengelola kekerasan seksual dengan memberikan perlindungan, dan Pasal 11(c)(1) mengatur dukungan hukum.

Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi), menegaskan, ada jaminan berat bagi penyintas jika kejadian berulang serta sanksi bagi pelanggar. Sanksi administratif yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar antara lain pemecatan dari komunitas kampus dan pembatalan beasiswa.

Aturan ini juga menjamin perlindungan penyintas dari pihak kampus terkait bantuan berupa penyuluhan, pelayanan kesehatan, dukungan hukum, advokasi, dan/atau nasihat sosial dan spiritual, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1). Namun, aturan itu dipertanyakan oleh mahasiswa di seluruh kampus mengingat kejadian ketika suara korban dibungkam.

Kesimpulan

Tingginya tingkat kekerasan seksual atau pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia menimbulkan kekhawatiran bagi mahasiswa khususnya Perempuan. Kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang melanggar beberapa poin hak asasi mahasiswa sebagai warga Negara.

Penyintas yang HAM-nya telah dilanggar, acapkali dibungkam oleh pihak universitas dengan alasan menjaga reputasi kampus. Selama penanganan kasus-kasus yang melibatkan kekerasan seksual di perguruan tinggi, hal ini hendaknya menjadi fokus Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam menangani kasus pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Baca Juga: Dampak Pelecehan Seksual Terhadap Psikologis

Saran

Berdasarkan uraian pembahasan dan kesimpulan dapat disampaikan saran bahwa perlu adanya penegasan kembali dalam bentuk sosialisasi dari pihak universitas tentang kode etik mahasiswa dan dosen harus dijunjung tinggi sehingga tidak terjadi hal-hal yang di luar konteks.

Dosen tidak semena-mena memperlakukan mahasiswa hanya untuk dalil pemberian nilai bagus sedangkan mahasiswa tersebut diperlakukan semaunya sehingga dalam hal ini merupakan salah satu indikator penyebab terjadinya pelecehan seksual baik itu secara verbal maupun non verbal.

Di sini mahasiswa khususnya perempuan juga harus menjaga kode etik dalam berpakaian yang mengundang syahwat pria (seperti contoh berbusana seksi/ terlalu ketat), hal ini dapat dilakukan sebagai tindakan preventif untuk terjadinya tindakan asusila/ pelecehan seksual di lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi.

Ucapan Terimakasih

Bersama Bapak Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. (Pak Jeto).

Penulis menghaturkan terimakasih kepada Yth. Bapak Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. (Pak Jeto) sebagai Dosen Mata Kuliah “Hak Asasi Manusia” di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta 2022 yang telah memberikan motivasi sehingga penulis dapat membuat suatu karya tulis sebagai bentuk pengembangan diri dalam memahami teori dari issue/ peristiwa hukum yang terjadi.

Semoga nantinya penulis mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan hukum secara profesional dan bermoral yang merupakan salah satu misi capaian pembelajaran di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta ini.

Baca Juga: Maskulinitas dan Pelecehan Seksual pada Laki-Laki


[1] Dikutip dari artikel pada laman TheJakartaPost; “Sexual abuse on campus: 174 survivors across Indonesia speak up” dipublikasikan pada 29 April 2019.

[2] Dikutip dari artikel; Epidemic of Sexual Harassment on Indonesian Campuses Continues due to Culture of Impunity pada laman hrw.com; https://www.hrw.org/news/2022/04/12/epidemic-sexual-harassment-indonesian-campuses-continues-due-culture-impunity April, 2022.

Penulis:

Hari Nugraha, S.H.
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum FH UGM Kampus Jakarta, Konsentrasi Litigasi.

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Harsono, Andreas. (2022) Epidemic of Sexual Harassment on Indonesian Campuses Continues due to Culture of Impunity. Dipublikasikan pada 12 April 2022 secara online di laman https://www.hrw.org/news/2022/04/12/epidemic-sexual-harassment-indonesian-campuses-continues-due-culture-impunity Diakses pada 2 September 2022.

Cahya, G. Holliani. Mariani, Eva. (2019) Sexual abuse on campus: 174 survivors across Indonesia speak up This article was published in thejakartapost.com on March 2019: https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/28/sexual-abuse-on-campus-174-survivors-across-indonesia-speak-up.html Diakses pada 2 September 2022.

Stanko, Elizabeth A., (1996)  “Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self -Protection,” dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power: Feminist Activism, Research and Practice (Buckingham: Open University Press)

Chief Elk, L., & Devereaux, S. (2014, December 23). The failure of bystander intervention. The New Inquiry. Retrieved https://thenewinquiry.com/failure-ofbystander-intervention/.

Deer, S. (2015). The Beginning and End of Rape: Confronting Sexual Violence in Native America. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

Harris, J. C., & Linder, C. (2017). Introduction. In J. C. Harris & C. Linder (Eds.), Intersections of identity and sexual violence on campus: Centering minoritized students’ experiences (pp. 1–20). Sterling, VA: Stylus.

Harris, J. C., & Linder, C. (2017). Introduction. In J. C. Harris & C. Linder (Eds.), Intersections of identity and sexual violence on campus: Centering minoritized students’ experiences (pp. 1–20). Sterling, VA: Stylus.

Fahlevi, Fahdi (2021) Banyak Pelecehan Seksual di Perguruan Tinggi, Komnas HAM : Kampus Tak Steril dari Kesalahan. Dipublikasikan pada 13 November 2021 di laman https://www.tribunnews.com/nasional/2021/11/13/banyak-pelecehan-seksual-di-perguruan-tinggi-ketua-komnas-ham-kampus-tak-steril-dari-kesalahan diakses pada 02 September 2022

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI