Pencegahan Bullying di Perguruan Tinggi

Bullying
Ilustrasi: istockphoto

Pendahuluan

Bullying di perguruan tinggi bukan lagi sekadar isu sepele, namun telah menjadi tantangan serius yang mengancam kesejahteraan mahasiswa dan keberlangsungan proses pendidikan. Fenomena tersebut tidak hanya mempengaruhi korban secara psikologis, tetapi juga merusak iklim akademik secara keseluruhan.

Penelitian yang dilakukan oleh Young-Jones et al. (2015) menunjukkan bahwa bullying di lingkungan perguruan tinggi memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan prestasi akademis mahasiswa. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya upaya bersama dari semua pihak untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut agar perguruan tinggi dapat menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua.

Pencegahan bullying di perguruan tinggi membutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Kesadaran, kebijakan, program pembinaan, perubahan budaya, dan peran dosen merupakan elemen-elemen penting dalam menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari intimidasi.

Bacaan Lainnya

Dengan melibatkan seluruh komunitas kampus, seperti mahasiswa, dosen, dan staf, perguruan tinggi dapat membangun fondasi yang kokoh untuk lingkungan akademik yang aman dan inklusif. Melalui pendekatan tersebut, diharapkan bahwa upaya pencegahan bullying bukan hanya akan mengurangi insiden bullying, tetapi juga akan membentuk individu yang peduli, bertanggung jawab, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

Pembahasan

Pertama, penting untuk memahami bentuk-bentuk bullying yang terjadi di perguruan tinggi. Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti verbal, fisik, sosial, dan cyberbullying. Dalam lingkungan akademik, bullying seringkali muncul dalam bentuk pelecehan verbal atau intimidasi oleh rekan seangkatan atau bahkan oleh dosen.

Salah satu pendekatan utama untuk mencegah bullying adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap fenomena tersebut. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan workshop, seminar, dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa, dosen, dan staf tentang dampak negatif bullying (Cismaru & Cismaru, 2018).

Selanjutnya, dibutuhkan untuk menciptakan kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas. Perguruan tinggi perlu menetapkan norma-norma perilaku yang diterima dan memberlakukan sanksi yang tegas bagi pelanggarannya.

Dalam implementasinya, keterlibatan seluruh pihak seperti dosen, staf administrasi, dan mahasiswa sangat penting. Selain itu, membentuk tim khusus atau lembaga yang bertugas menangani kasus bullying dengan cepat dan efektif dapat menjadi langkah strategis dalam pencegahan (Knoff, 2014).

Aspek teknologi juga perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan bullying di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, cyberbullying telah menjadi masalah serius yang perlu ditangani.

Perguruan tinggi dapat memperkenalkan kebijakan yang mengatur penggunaan media sosial di lingkungan kampus dan memberikan edukasi kepada mahasiswa tentang risiko cyberbullying. Selain itu, platform online dapat digunakan untuk melaporkan insiden bullying secara anonim, sehingga memberikan mahasiswa rasa aman untuk melaporkan kejadian yang mereka alami.

Dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif, penting juga untuk mengembangkan program-program pembinaan dan pelatihan untuk membentuk kepemimpinan yang positif di antara mahasiswa.

Dengan mengedepankan nilai-nilai seperti empati, kerjasama, dan penghargaan terhadap keberagaman, perguruan tinggi dapat menciptakan atmosfer yang mendukung pertumbuhan pribadi dan akademis. Dukungan psikologis dan konseling juga seharusnya tersedia untuk mahasiswa yang menjadi korban bullying atau mengalami tekanan mental akibat insiden tersebut (Foody et al., 2015).

Selain kesadaran, kebijakan, dan program-program pembinaan, perlu juga dicermati aspek budaya dan sosial dalam upaya pencegahan bullying di perguruan tinggi. Kebiasaan dan norma-norma yang mendukung perilaku bullying dapat menjadi akar permasalahan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya kampanye-kampanye budaya di kampus untuk mengubah pandangan dan norma yang berkaitan dengan intimidasi. Inisiatif tersebut dapat melibatkan mahasiswa, dosen, dan staf dalam diskusi terbuka tentang dampak negatif bullying serta mendorong pengembangan budaya saling menghargai dan menghormati perbedaan.

Dalam konteks tersebut, penelitian oleh Bradshaw (2013) menunjukkan bahwa pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek budaya dapat lebih efektif dalam menciptakan perubahan positif.

Mereka menemukan bahwa proyek-proyek yang melibatkan kolaborasi antara fakultas, mahasiswa, dan kelompok kepentingan lainnya cenderung lebih berhasil dalam menciptakan lingkungan kampus yang inklusif. Oleh sebab itu, melibatkan seluruh komunitas kampus dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan kebijakan dapat meningkatkan efektivitas upaya pencegahan bullying.

Penting juga untuk mengakui peran penting dosen sebagai model perilaku positif dan mentor bagi mahasiswa. Dosen dapat berperan sebagai pengawas dan mendeteksi tanda-tanda bullying di dalam dan di luar kelas. Program pelatihan khusus untuk dosen tentang cara mengenali, mencegah, dan menanggapi bullying dapat memperkuat peran mereka dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan keterlibatan dosen dalam kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan sosial di kampus dapat memperkuat hubungan antara dosen dan mahasiswa, serta menciptakan suasana di mana komunikasi terbuka dan saling pengertian dapat berkembang.

Sejalan dengan hal tersebut, para peneliti seperti Grady dan Gough (2014) menyoroti pentingnya pendekatan komprehensif yang melibatkan pendidikan karakter dalam kurikulum perguruan tinggi.

Pendidikan karakter bukan hanya memberikan pengetahuan akademik, tetapi juga menekankan pengembangan nilai-nilai moral dan etika yang penting dalam membentuk individu yang bertanggung jawab dan peduli terhadap kesejahteraan individu lain. Integrasi nilai-nilai tersebut dalam kurikulum dapat membantu menciptakan budaya yang menghargai keberagaman dan mengutuk segala bentuk perilaku bullying.

Tidak kalah pentingnya, penerapan mekanisme pelaporan dan penanganan kasus bullying harus transparan dan mudah diakses. Mahasiswa harus merasa nyaman melaporkan insiden bullying tanpa takut akan reaksi negatif atau pembalasan.

Penelitian oleh Holton et al. (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa lebih cenderung melaporkan insiden bullying ketika mekanisme pelaporan disederhanakan dan terdapat jaminan keamanan bagi pelapor. Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan pelaporan diterapkan secara konsisten dan bahwa tindakan pencegahan atau penindakan diambil dengan cepat.

Penting untuk menyoroti peran teknologi dalam pencegahan bullying di perguruan tinggi. Dalam era digital saat ini, mahasiswa sering terpapar pada risiko cyberbullying melalui platform media sosial dan pesan daring. Oleh sebab itu, pengembangan program edukasi teknologi yang bertujuan memberikan pemahaman tentang etika digital dan risiko cyberbullying dapat menjadi langkah proaktif.

Penelitian oleh Byers dan Cerulli (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki pemahaman baik tentang risiko cyberbullying cenderung lebih waspada dan mampu melindungi diri mereka sendiri secara online. Oleh sebab itu, integrasi pendekatan teknologi dalam inisiatif pencegahan menjadi semakin penting untuk menghadapi perkembangan dinamika interaksi sosial di dunia maya.

Selain itu, dukungan dan konseling bagi korban bullying atau individu yang terlibat dalam perilaku intimidasi juga merupakan elemen penting dalam upaya pencegahan. Penanganan kasus bullying tidak hanya sebatas pada sanksi dan tindakan disiplin, tetapi juga membutuhkan pendekatan rehabilitatif dan restoratif.

Program konseling yang memfasilitasi dialog dan pemahaman antara pelaku dan korban dapat membantu memecahkan konflik dan mengurangi potensi pengulangan perilaku bullying. Penelitian oleh Barsky (2016) menunjukkan bahwa program konseling restoratif di perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung transformasi perilaku dan rekonsiliasi antar individu yang terlibat dalam konflik.

Aspek keberlanjutan dari upaya pencegahan juga tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi perlu mengintegrasikan pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan untuk menilai efektivitas program pencegahan yang diimplementasikan. Evaluasi ini dapat melibatkan survei reguler, analisis data insiden bullying, serta umpan balik dari mahasiswa, dosen, dan staf.

Penelitian oleh Nahum-Shani et al. (2018) menyoroti pentingnya pemantauan berkelanjutan dalam mendeteksi perubahan tren perilaku dan menyesuaikan strategi pencegahan secara tepat waktu. Dengan pendekatan tersebut, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pencegahan serta melakukan perbaikan yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan kampus yang aman dan inklusif.

Sementara itu, kolaborasi antar perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat memperkuat upaya pencegahan bullying. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar lembaga dapat memberikan wawasan baru dan memungkinkan adopsi praktik terbaik.

Dengan berbagi sumber daya dan hasil penelitian, perguruan tinggi dapat saling mendukung dalam upaya pencegahan. Penelitian oleh Soan (2013) menunjukkan bahwa kolaborasi antar lembaga memiliki dampak positif dalam menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman dan mendukung pertumbuhan mahasiswa.

Kesimpulan

Pencegahan bullying di perguruan tinggi membutuhkan komitmen bersama dari seluruh komunitas kampus. Dengan meningkatkan kesadaran, menerapkan kebijakan yang tegas, memanfaatkan teknologi dengan bijak, dan mengembangkan program pembinaan yang inklusif, perguruan tinggi dapat menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua anggotanya.

Melibatkan dosen, staf, dan mahasiswa dalam upaya pencegahan tersebut akan memperkuat ikatan komunitas dan menciptakan lingkungan akademik yang positif. Dalam mengatasi bullying, tidak hanya melindungi korban, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk pembelajaran dan pertumbuhan bersama.

Dengan demikian, pencegahan bullying di perguruan tinggi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan investasi dalam masa depan pendidikan yang lebih baik.

Penulis: Luh Gede Karisma Dewi (2362201010)
Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Triatma Mulya

Dosen Pengampu: Laras Oktaviani, S.Pd., M.Pd.

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Barsky, A. (2016). Conflict resolution for the helping professions: Negotiation, mediation, advocacy, facilitation, and restorative justice. Oxford University Press.

Bradshaw, C. P. (2013). Preventing bullying through positive behavioral interventions and supports (PBIS): A multitiered approach to prevention and integration. Theory into Practice, 52(4), 288–295.

Byers, D. S., & Cerulli, M. (2021). Staying in their own lane: Ethical reasoning among college students witnessing cyberbullying. Journal of Diversity in Higher Education, 14(4), 508.

Cismaru, M., & Cismaru, R. (2018). Protecting university students from bullying and harassment: A review of the initiatives at Canadian universities. Contemporary Issues in Education Research, 11(4), 145–152.

Foody, M., Samara, M., & Carlbring, P. (2015). A review of cyberbullying and suggestions for online psychological therapy. Internet Interventions, 2(3), 235–242.

Grady, P. A., & Gough, L. L. (2014). Self-management: A comprehensive approach to management of chronic conditions. American Journal of Public Health, 104(8), 25–31.

Holton, A. E., Belair-Gagnon, V., Bossio, D., & Molyneux, L. (2023). “Not their fault, but their problem”: Organizational responses to the online harassment of journalists. Journalism Practice, 17(4), 859–874.

Knoff, H. M. (2014). Teasing, taunting, bullying, harassment, and aggression: A school-wide approach to prevention, strategic intervention, and crisis management. In Bullying, victimization, and peer harassment (pp. 389–412). Routledge.

Nahum-Shani, I., Smith, S. N., Spring, B. J., Collins, L. M., Witkiewitz, K., Tewari, A., & Murphy, S. A. (2018). Just-in-time adaptive interventions (JITAIs) in mobile health: Key components and design principles for ongoing health behavior support. Annals of Behavioral Medicine, 1–17.

Soan, S. (2013). Inter-agency collaboration and partnership with parents: Roles and responsibilities. In Additional educational needs (pp. 13–31). Routledge.

Young-Jones, A., Fursa, S., Byrket, J. S., & Sly, J. S. (2015). Bullying affects more than feelings: The long-term implications of victimization on academic motivation in higher education. Social Psychology of Education, 18, 185–200.

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI