Ruang bagi LGBTQ dalam Perspektif Pancasila dan Hukum Indonesia

Penyimpangan Seksual
Ilustrasi Penyimpangan Seksual (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pancasila merupakan ideologi yang fleksibel karena menerima pluralitas masyarakat serta senantiasa beradaptasi dengan perubahan dan dinamika masyarakat.

Interpretasi dan pemahaman nilai-nilai Pancasila juga dapat berbeda tergantung konteks tertentu. Konsekuensi fleksibilitas Pancasila adalah timbulnya kontroversi di kalangan masyarakat dalam menanggapi isu yang berkembang, salah satunya LGBTQ.

LGBTQ merupakan singkatan yang mengacu pada sekelompok identitas seksual dan identitas gender yang berbeda, meliputi lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer.

Bacaan Lainnya

Maraknya keberadaan individu LGBTQ di Indonesia dapat difaktori oleh perubahan sosial seperti urbanisasi, globalisasi, dan modernisasi yang turut mempengaruhi perubahan pandangan mayarakat, terutama kalangan muda, terhadap norma-norma yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender.

Pandangan konservatif masyarakat terhadap para individu LGBTQ seringkali berujung pada aksi diskriminasi.

Di tempat kerja, para individu LGBTQ kerap mengalami penghentian kerja, perlakuan, penolakan, dan promosi yang tidak adil. Individu LGBTQ juga tidak jarang menjadi target kekerasan dan pelecehan secara verbal maupun fisik.

Hukum Indonesia juga belum membuat peraturan yang jelas terkait hak-hak pernikahan dan berkeluarga para kaum LGBTQ.

Fenomena LGBTQ memiliki kajian yang cukup kompleks menurut perspektif Pancasila. Pandangan konservatif masyarakat tentang LGBTQ berdasarkan Sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa” merujuk pada ketidaksesuaian perilaku LGBTQ dengan ajaran agama mayoritas yang ada di Indonesia.

Akan tetapi, sila tersebut yang mengandung prinsip keberagaman dan penghormatan terhadap kepercayaan serta agama-agama di Indonesia pada kenyataannya menampilkan dua sisi dalam menghadapi fenomena LGBTQ.

Berdasarkan pernghormatan terhadap keberagaman agama dan martabat manusia, toleransi, keadilan sosial, serta penolakan diskriminasi, para individu LGBTQ berhak dan mengamalkannya tanpa diskriminasi yang didasari identitas seksual maupun gender.

Pengabaian dan eksploitasi hak-hak individu LGBTQ juga berarti melanggar martabat manusia.

Sementara pada sila ke-2 “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” kajian terhadap LGBTQ kembali lagi pada topik martabat manusia, penolakan diskriminasi, serta penerimaan dan penghormatan terhadap kebeberagaman.

Hanya saja lebih ke dalam konteks Hak Asasi Manusia. Hal ini berkaitan dengan keadilan dalam menggunakan ruang publik dengan aman tanpa ancaman.

Dengan memandang LGBTQ sebagai bagian dari keberagaman dalam masyarakat yang diwujudkan dalam aksi toleransi dan membentuk solidaritas yang tidak berdasarkan identitas seksual maupun gender, nilai persatuan pada sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dapat terwujud.

Sebab dengan pandangan tersebut, perpecahan yang timbul dari kekerasan hingga diskriminasi dapat dihindari.

Kembali lagi ke konteks hak asasi manusia, dukungan sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” terhadap kaum LGBTQ berkaitan dengan hak berpendapat dan berpartisipasi di ruang publik, politik, dan masyarakat.

Berdasarkan seluruh kajian di atas, keadilan sosial yang merupakan inti dari sila ke-5 dapat ditegaskan sebagai hak seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang identitas seksual maupun gender.

Pada dasarnya, hak-hak asasi para individu LGBTQ yang tidak berkaitan langsung dengan seksualitas mereka diatur dalam perundang-undangan Indonesia tentang hak asasi manusia, termasuk dalam UUD Tahun 1945 pasal pasal 22 ayat 3, pasal 28 E ayat 2 dan 3, serta pasal 28 J.

Selain itu ada juga UU RI No. 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang hak asasi manusia. Namun, perundang-undangan yang melarang perilaku LGBTQ secara tegas belum ada.

Hak-hak para individu LGBTQ yang terjamin dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tentang hak asasi manusiapun masih dibatasi, misalnya dengan UU RI No. 39 Tahun 1999 Pasal 70 dan 73 yang pada dasarnya membahas pembatasan hak-hak individu untuk kepentingan umum.

Selain itu, para individu LGBTQ juga tidak dapat dipidanakan kecuali jika melakukan aksi kriminal seperti pencabulan sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa kepada korban di bawah umur sebagaimana dalam pasal 292 KUHP dan batasan di bawah umur adalah di bawah 18 tahun berdasarkan pasal 495 ayat (1) RUU KUHP. Para individu LGBTQ juga dapat dipidanakan jika mempublikasikan aksi pornografi menurut UU Nomor 44 Tahun 2008.

Fenomena LGBTQ yang tengah marak di Indonesia menjadi kontroversi di kalangan masyarakat karena fleksibilitas Pancasila dan ketiadaan hukum yang tegas dalam mengatur hal tersebut sehingga menimbulkan keberagaman penafsiran hukum yang ada.

Para Individu LGBTQ memiliki hak atas perlakuan yang sama sebagai manusia dalam pandangan hukum pada konteks tertentu dan pembatasan yang tidak menyinggung kepentingan umum.

Walau demikian, hukum yang tegas tetap diperlukan agar tidak terjadi diskriminasi dan perpecahan di kalangan masyarakat atas dasar identitas seksual dan gender.

 

Penulis: Nadhia Sk Muhinda Putri
Mahasiswi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Yogyakarta

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI