Relevansi Hukum Pidana Internasional dalam Upaya Penyelesaian Pidana Internasional dan Pengaruhnya bagi Hubungan Bilateral antar Negara

Source: Pixabay.com
Gavel and stethoscope. medical jurisprudence. legal definition of medical malpractice. attorney. common errors doctors, nurses and hospitals make

Tindak pidana Internasional adalah suatu bentuk kejahatan agresi, Genoisade ataupun kejahatan kemanusiaan. Semua pelanggaran dan kasus dijerat dalam landasan hukum yang tertera pada hukum Internasional dan hukum pidana Internasional.

Segala bentuk pidana Internasional diselesaikan oleh peradilan Internasional dan diiringi oleh peradilan Nasional. Beberapa bentuk contoh dari tindak pidana Internasional yaitu dengan kejahatan terorisme, prostitusi dan pengedaran narkotika sehingga menyebabkan lahirnya permasalahan-permasalahan yang dialami antarnegara dan mampu merusak hubungan bilateral antarnegara itu sendiri.

Hukuman yang berlaku tentunya sudah disepakati oleh beberapa negara-negara anggota dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengafirmasi konvensi dan meratifikasi landasan hukum negara masing-masing. Adanya tumpang tindih hukuman yang berlaku dan tidak sesuai budaya maupun aturan perundang-undangan yang disahkan masing-masing negara mampu merusak hubungan bilateral antarnegara.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Gentingnya Kependudukan, Lingkungan dan Ekonomi di Indonesia

Beberapa upaya penyelesaian yang selaras dalam penyesuaian hukum negara masing-masing masih menjadi masalah yang rumit disebabkan oleh tingkatan peran peradilan Internasional sebagai perwakilan dunia untuk menegakkan keadilan justru kalah dalam segi otoritas dengan peradilan Nasional. 

Kata Kunci: Pidana, Peradilan, Internasional, Narkotika, Hak Asasi Manusia, Terorisme, Prostitusi, Bilateral, Antarnegara. 

Abstract 

International crime is a form of crime, crime or crime. All cases are found in the legal basis stated in international law and international criminal law. All forms of international crime are realized by international courts and accompanied by national courts.

Several international criminal acts, namely crimes which constitute crimes against crime, prostitution and narcotics trafficking which cause problems that occur and are capable of damaging bilateral relations between countries themselves.

The appropriate punishment of course has been approved by several member states of the United Nations (UN) which affirmed the convention and ratified the legal basis of their respective countries. Overlapping Some efforts to solve problems in the law of each country are still a complicated problem because the level of the international court as the world’s representative for upholding justice has lost in terms of authority with the national court.  

Keywords: Criminal, Justice, International, Narcotics, Human Rights, Terrorism, Prostitution, Bilateral, Interstate.

PENDAHULUAN 

Hukum pidana Internasional dalam arti praktis adalah cabang hukum baru yang mampu memberikan solusi hukum yang kongkrit dari timbulnya sengketa yurisidiksi kriminal antar dua negara atau lebih. Adapun menurut Bassiouni hukum pidana Internasional adalah: 

“Hukum pidana Internasional merupakan produk gabungan dari dua disiplin hukum yang berbeda yang telah muncul dan berkembang di sepanjang jalur yang berbeda untuk menjadi komplementer dan koextensif. Mereka adalah: aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional”.[1] 

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum pidana Internasional dapat dipahami jika seseorang memiliki penguasaan yang memadai tentang hukum Internasional pada umumnya dan khususnya pada hukum perjanjian Internasional. Hukum tersebut sebagian besar terdiri dari beberapa instrumen hukum Internasional yang berupa perjanjian Internasional dengan diiringi sudut hukum perjanjian Internasional.

[2] 

Akan tetapi karena substansi dari instrumen hukum pidana Internasional itu sendiri akan menjadi bagian dari hukum pidana nasional baik itu prosedur peratifikasian dan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional ataupun melalui pengadopsian substansinya menjadi bagian dari hukum atau perundang-undangan pidana nasional.

Maka hukum pidana Internasional perlu diiringi dengan sudut hukum pidana nasional pula. [3]  Masing-masing negara mempunyai asas-asas hukum yang berbeda dengan dimensi-dimensi Internasional dalam penginterpretasian dalam beberapa kasus kejahatan atau tindak pidana.  Aspek-aspek Internasional pada suatu tindak kejahatan bisa atas orang atau pelaku itu sendiri, alat-alat bukti kejahatan, hasil-hasil atau dampak dari kejahatan yang dilakukan bahkan atas korban-korbannya.  

Baca Juga: Status Kewarganegaraan Anak yang Lahir di Kapal: Impikasi Hukum dan Sosial

Maka dapat disimpulkan bahwa tindak kejahatan tersebut disebut dengan istilah kejahatan Internasional, kejahatan transnasional ataupun kejahatan berdasarkan hukum  Internasional.[1] 

Hukum pidana Internasional berjalan melalui sosok-sosok yang menjalankan peradilannya sendiri. Namun karena substansi hukum

Internasional yang harus selalu didekati dan diiringi oleh hukum nasional dari negara ketiga maka terdapat beberapa kelemahan. Bila menengok kepada tragedi yang terjadi di masa lalu dapat dilihat bahwa banyak sekali tindak kejahatan tingkat Internasional baik itu berbentuk tindak kejahatan agresi, kejahatan kemanusiaan maupun kejahatan genosida.

Tragedi yang telah terjadi bermacam baik itu pelanggaran karena narkotika, terorisme, perdagangan manusia dan bisnis prostitusi Internasional dan pastinya pengklasifikasian atau penempatan tindak pidana Internasional tersebut sudah melalui prosedural yang ditetapkan oleh negara-negara anggota dari peradilan pidana Internasional. 

Baca Juga: Analisis Politik Identitas di Indonesia

Peradilan pidana Internasional diharapkan mampu menyelesaikan segala tindak kejahatan yang dilakukan oleh tersangka yang pastinya memiliki kelemahan terkhusus pada hubungan bilateral antarnegara baik itu negara asal dari tersangka dan negara (wilayah persekusi) yang menjadi tempat tindak kejahatan. 

Lebih parah lagi pada beberapa negara peradilan pidana Internaional memiliki campur tangan oknum dari wilayah persekusi itu sendiri sehingga tindak kejahatan yang ada mampu terjadi kembali di kesempatan berikutnya.  

Peran dari peradilan pidana Internasional pun dianggap sangat miris karena berada pada tingkat sekunder apalagi tindak kejahatan yang terjadi kembali diberikan luang oleh oknum dari wilayah persekusi. 

1.2  Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahn di atas maka peneliti dapat simpulkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: (1) apa saja hak dan peran pengadilan internasional dalam mengadili terdakwa? (2) apa saja kasus yang terjadi dalam negara dan mancanegara serta karakteristik menurut konvensi PBB?

METODE 

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan metode normatif bila dipertegas kembali metode ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Metode normatif yaitu sebuah metode penelitian atau aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan  (horizontal). [2]

Baca Juga: Gerakan Mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur Meminimalisir Pelanggaran Peraturan Perundangan-Undangan Bisnis UMKM

Sebelumnya peneliti telah mengemukakan beberapa kali tentang inti masalah dari penelitian kali ini yaitu hukum internasional, maka dapat dikemukakan kembali bahwa yang menjadi subjek penelitian kali ini adalah hukum internasional dari segi relevansi dan urgensinya untuk menjaga hubungan bilateral antarnegara.

Adapun data-data yang peneliti ambil yaitu berdasarkan data-data sekunder yang diperoleh dari suatu laporan atau publikasi dari sebuah tragedi, fenomena dan kasus yang telah terjadi baik dalam negeri maupun luar negeri.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

Hukum Internasional dapat ditegakkan dengan melewati tiga fase yang mampu mempengaruhi evolusi hukum Internasional. Pertama, hukum Internasioal memiliki peran dalam mengatur hubungan bilateral antarnegara. Kedua, pasca Perang Dunia I hukum Internasional mulai berani untuk menyentuh individu untuk melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia. Ketiga, hubungan hukum Internasional dan hukum Nasional menjadi semakin utuh karena kehadiran hukum Internasional dalam hukum nasional dengan pengujian dari segi legitimasi dekomratis.[3] 

Jika dibedah berdasarkan sumbernya maka hukum Internasional itu sendiri memiliki empat instrumen diantaranya, yaitu (1) perjanjian Internasional, (2) kebiasaan Internasional, (3) doktrin dan (4) putusan pengadilan.  

Baca Juga: Prosedur dan Jaminan Hukum Dalam Proses Pengangkatan Anak

Sumber hukum Internasional itu sendiri tertulis dalam Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 Ayat (1) yang mana konteks perkembangan hukum nasional otomatis mengikuti perkembangan hukum Internasional.[4] 

1. Hak dan Peran Pengadilan Pidana Internasional 

Tentunya masing-masing insan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang tak mengacuhkan keseluruhan hukum yang berlaku. Beberapa hak dari negara atau wilayah persekusi bagi para pengungsi maupun pencari suaka di negara ketiga ataupun pidana Internasional termaktub dalam pasal 33 prinsip non-refoulement tentang hak para pengungsi asing untuk tidak dikembalikan ke negara asal disebabkan oleh beberapa pelanggaran yang dilakukan.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada perjanjian Internasional bahwa perjanjian yang telah disepakati tidak dapat mengenakan kewajiban kepada negara ketiga yang mana terdapat standarisasi dalam memperlakukan para warga asing (para pengungsi atau pencari suaka) yang singgah maupun tinggal di suatu negara yang terbagi menjadi dua pandangan yaitu memperlakukannya dengan standar Internasional atau dengan ukuran perlakuan nasional.

Baca Juga: Toleransi Berbahasa dalam Interaksi Nonformal Pencegah Terjadinya Perundungan

Standar Internasional menitikberatkan pada pedoman timbangan Internasional sedangkan standar nasional meninjau bahwa orang-orang asing harus diperlakukan sama dengan warga negara sesuai dengan hukum negara masingmasing.

[5] Lalu, terdapat beraneka ragam problematika terkait hak asasi yang harus diperoleh para warga negara asing tersebut yang mungkin akan melahirkan peritstiwa yang problematis terhadap hubungan bilateral antarnegara.

Adapun penyebab utama dari masalah tersebut yaitu terdapat keputusan sepihak negara masing-masing dalam menindaklanjuti warga negara asing yang terjerat hukuman pidana di negara ketiga sehingga munculnya kesalahpahaman antarnegara 

Baca Juga: Restorative Justice di Indonesia dalam Menyelesaikan Tindak Pidana dan Pengaruhnya di dalam Sistem Peradilan Pidana

Segala kejahatan genosaide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi merupakan jenis kejahatan yang paling serius dalam kacamata Internasional dalam beberapa dekade terakhir. Peradilan Pidana Internasional (International Criminal Court) dibentuk berdasarkan Statuta Roma (Rome Statute) pada tanggal 17 Juli 1998 di The Haque, Belanda.

Peradilan Pidana Internasional merupakan media pengadilan dari segala kejahatan tersebut.[6] Berdasarkan Statuta Roma pasal 77 para sanksi pidana yang terancam dalam kejahatan tersebut menjalani hukuman di sel tahanan hanya dalam kurun waktu tertentu yaitu tidak lebih dari 30 tahun namun apabila pelanggaran yang dilakukan dibenarkan oleh kegawatan yang luar biasa dari kejahatan dan kondisi-kondisi individual dari orang yang dituntut maka mampu menjalani hukuman penjara sampai seumur hidup. Selain hukuman di penjara.

Para pidana dapat diadilkan dengan denda sesuai kriteria yang tersedia oleh aturan prosedural dan sesuai bukti dengan denda yang ditebus dari kekayaan langsung atau tidak langsung berasal dari kejahatan itu sendiri tanpa berprasangka terhadap hak pihak ketiga.[7]  

Baca Juga: Status Kewarganegaraan Anak yang Lahir di Kapal: Impikasi Hukum dan Sosial

Komposisi dan administrasi peradilan pidana Internasional terdiri dari empat bagian, yaitu kepresidenan, divisi banding, divisi peradilan dan divisi pra-peradilan (pemeriksaan sebelum proses peradilan).  

Kepresidenan adalah lembaga yang memiliki peran untuk mengkoordinir administrasi peradilan pidana Internasional. Lembaga ini terdiri dari seorang presiden dan dua orang wakil presiden yang dipilih oleh hakim-hakim peradilan pidana Internasional.

Para hakim peradilan pidana Internasional diangkat oleh negara-negara anggota untuk kurun waktu tiga tahun atau sampai akhir masa jabatan mereka sebagai hakim. Peran lembaga ini tertera dalam Statuta Roma pasal 38 antara lain, yaitu: (1) bertanggung jawab atas administrasi peradilan yang pantas, (2) mengkoordinir dan mencari persetujuan dengan Penuntut Umum dalam semua masalah yang menjadi keprihatinan keduanya, (3) mengajukan penambahan jumlah hakim kepada negara-negara anggota dan (4) fungsi-fungsi lain yang diberikan oleh Statuta.[8] 

Sedangkan divisi pra-peradilan, divisi peradilan dan divisi banding merupakan bagian pelaksana fungsi yudisial untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang terdiri dari 18 hakim anggota penuh peradilan dan disiapkan untuk melayani keperluan peradilan dari masa awal kerja mereka. Para hakim terpilih bekerja untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak satu kali untuk jangka waktu yang sama.[9] 

Baca Juga: Tidak Semua Orang Mendapatkan Perlakuan Hak Asasi Manusia

Setiap calon hakim yang akan dipilih harus mempunyai kredibilitas dan kompetensi yang mapan dalam hukum pidana, hukum acara pidana dan pengalaman relevan yang diperlukan, mempunyai kompetensi yang relevan dalam bidang hukum Internasional seperti hukum HAM dan pengalaman yang luas dalam bidang profesi hukum yang relevan untuk kerja yudisial dari peradilan serta mempunyai pengetahuan yang baik dan lancar itu pun sekurang-kurangnya dalam satu bahasa yang disyaratkan.

Peradilan pidana Internaisonal mempunyai prinsip-prinsip umum hukum pidana baku untuk menjalani pengadilan yang ada. Negara-negara anggota akan bekerja sama secara penuh dengan peradilan dalam kegiatan investigasi dan penuntutannya mengenai kejahatan yang menjadi yusridiksinya dan peradilan juga mempunyai kebijakan untuk mengajukan permintaan kepada negara anggota untuk bekerja sama melalui cara diplomasi atau cara lain yang dirancang oleh setiap negara anggota melalui ratifikasi, penerimaan, persetujua dan pemberian jalan.

Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan peradilan pidana Internasional yaitu:

  1. Peradilan pidana Internasional mempunyai kedudukan sebagai institusi pelengkap bagi peradilan domestik yang dimiliki setiap negara anggotanya sehingga peran peradilan pidana Internasional menjadi institusi peradilan sekunder karena apabila peradilan domestik mampu untuk menyelesaikan dan mengadili perkara tersebut maka peran lembaga tersebut tidak diperlukan lagi.
  2. Sulitnya mengumpulkan alat bukti karena peradilan pidana Internasional tidak mempunyai kekuasaan memaksa untuk memberikan arahan dan melakukan investigasi guna keperluan proses peradilan.
  3. Adanya disparitas kekuasaan ekonomi, politik dan militer antara negara-negara anggota peradilan pidana Internasional karena efektivitas yang dimiliki peradilan pidana Internasional dipengaruhi dan tergantung atas kerjasama dengan pemerintah negara-negara yang melakukan kejahatan, tekanan ekonomi dan politik masyarakat Internasional.[10]   

Peran peradilan pidana Internasional memiliki hak penuh untuk mengadili penjahat-penjahat yang berasal dunia ketiga yaitu mereka yang berasal dari negara berkembang bukan negara maju. Hal ini disebabkan oleh minimnya kekuatan politik, ekonomi dan militer untuk mempengaruhi opini Internasional terkait pelanggaran kejahatan dalam yurisidiksi peradilan pidana Internasional. 

2. Kasus dalam Negara dan Mancanegara serta Karaktreristik Sesuai Konvensi PBB

Dalam beberapa pembaruan hukum nasional di bidang kontrak jual-beli barang Internasional tidak tercantum di dalamnya barang-barang narkotika disebabkan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berbeda dari tiap negara. Adapun negeri “Paman Sam” yaitu Amerika Serikat, negeri “Kincir Angin” yaitu Belanda, Kolombia dan beberapa negara lain mempunyai kebebasan dalam bisnis narkotika dengan landasan prosedural yang terbentuk masing-masing negara.[11] 

Baca Juga: Mengenali Perang Rusia-Ukraina dan Dampaknya terhadap Perekonomian Global

Contoh dari pelanggaran hukum Internasional yaitu penangkapan tiga oknum polisi Polres Sampang, Madura, Jawa Timur yang diduga terlibat dalam jaringan peredaran narkoba Internasional, pendanaan terorisme dari tidak pidana pencucian uang yang terjadi pada serangan 9/11 di New York dan Washington, Amerika Serikat dan perdagangan manusia untuk pengedaran narkoba, prostitusi dan konsumsi pedofil. 

Mari menyelam lebih dalam kembali untuk menganalisa kasus-kasus nasional dimana tindak kejahatan Internasional masih banyak yang diimpor ke Indonesia dan terulang kembali. Beberapa pertanyaan yang harus dilontarkan yaitu apakah oknumoknum nakal ikut andil dalam terjadinya tindak kejahatan tingkat Internasional ini sehingga terjadi berulang kali seperti contoh kasus kejahatan pengerdaran narkotika?

Apakah kasus terorisme yang terjadi pada mancanegara terdapat bantuan sistem dari negara masing-masing? Lalu apakah maraknya perdagangan manusia masih terbilang banyak karena dinikmati oleh oknum-oknum nakal itu sendiri? 

Terorisme lebih tepat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan kekerasan yang disengaja yang ditujukan pada sasaran-sasaran sipil dengan maksud untuk mempromosikan suatu tujuan-tujuan politik yang telah diduga sebelumnya.

Tujuan-tujuan politik ini hanya dapat diraih dengan cara mengitimidasi sasaransasaran tersebut seperti dengan melakukan kekerasan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari para pelaku kejahatan, yang dapat menghasilkan rasa takut dan kebencian yang nyata terhadap tindakan tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 1972, pada Olimpiade di Munich, Jerman, kelompok The Black September membunuh 11 atlet Israel sehingga orang Israel ini dengan segera menjadi korban. Namun target sesungguhnya bukan para korban tersebut lebih ditujukan kepada para penonton yang menonton acara Olimpiade tersebut. [12] 

Berbagai pakar terorisme Internasional telah memaparkan karateristik terhadap tindakan terorisme. Salah satunya yaitu James H. Wolfe mengemukakan karakteristik terorisme dapat dilihat sebagai berikut:

  1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun non politis;
  2. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil (supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya)maupun sasaran non–sipil (fasilitas militer , kamp militer);
  3. Aksi teror dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijalan pemerintah negara,
  4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional (serangan yang dilakukan dengan sengaja untuk membinasakan penduduk sipil seperti yang terjadi di kuta adalah pelanggaran hukum internasional sebab dalam keadaan apapun, sasaran sipil harus dilindungi);
  5. Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan gangguan psikologis untuk masyarakat;
  6. Persiapan atau perencanaan aksi terori bisa bersifat multinasional;
  7. Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian media massa dan untuk menarik perhatian publik. (Pemberitaan yang gencar di media massa tentang persitiwa bom Bali dapat disebut sebagai cara teroris untuk menarik perhatian public;
  8. Terorisme mempunyai nilai mengagetkan (shock value) yang bagi teroris berguna untuk mendapatkan perhatian. [13] 

Dengan segala kriteria di atas teroris harus ditindaklanjuti dengan aturan yang tertera dalam hukum Internasional melalui beberapa konvensi dan resolusi DK PBB antara lain:

  1. The Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons Including Diplomatic Agents;
  2. (Konvensi New York, 1973 mengenai Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orangorang Yang Dilindungi Secara Internasional termasuk agen-agen diplomatik);
  3. The Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft;
  4. (Konvensi Tokyo, 1963 tentang Kejahatan dan Tindakan-tindakan Tertentu Lainnya Di Dalam Pesawat);
  5. The Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation;
  6. (Konvensi Montreal, 1971 tentang Penghentian Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil);
  7. The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material;
  8. (Konvensi Vienna, 1980 tentang Perlindungan Fisik terhadap Bahan- Bahan Nuklir);
  9. The Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation
  10. (Konvensi Roma, 1988 tentang Penghentian atas Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Navigasi Perairan);
  11. The Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed. Platforms Located on the Continental Shelf;
  12. (Protokol tentang Penghentian Tindakan-Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Platform Yang Terletak Pada Lapisan Kontinental);
  13. The Convention on the Continental Shelf;
  14. (Konvensi Roma, 1988 tentang Continental Shelf);
  15. The Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection;
  16. (Konvensi Montreal, 1991 tentang Penandaan terhadap Bahan-Bahan Peledak dari Plastik Untuk Pendeteksi);
  17. International Convention for the Suppression of the Bombings (Konvensi New York, 1997);
  18. (Konvensi New York, 1997,Internasional mengenai Penghentian Pengeboman oleh Teroris);
  19. International Convention,1999, for the Suppression of the Financing of Terrorism (Konvensi New York, 1999 mengenai Penghentian Pendanaan Terorisme);
  20. International Convention for the Suppression of Acts of Nuklear Terrorism, 2005;
  21. (Konvensi Internasional Pemberantasan Nuklir, 2005, mengenai penghentian Tindakan-Tindakan Terorisme Nuklir);
  22. Convention on the Suppression of Unlawful Acts Relating to International Civil Aviation , 2010.[14] 

Baca Juga: Status Kewarganegaraan Anak yang Lahir di Kapal: Impikasi Hukum dan Sosial

Tindak kejahatan para teroris pun merupakan sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan luar biasa yang harus ditegakkan melalui hukum pidana Internasional secara langsung dan tidak langsung.  

Sistem penegakan hukum tidak langsung (Indirect Law Enforcement System) adalah dengan menuntut dan mengadili tindak pidana internasional melalui pengadilan nasional. Dengan kata lain, pelaku diadili berdasarkan sistem hukum nasional suatu negara, baik itu negara tempat tindak pidana itu telah dia lakukan atau negara lain yang berkepentingan terhadap tindak pidana yang telah terjadi.

Sistem penegakan hukum secara tidak langsung (indirect law enforcement system) ini dapat ditempuh melalui dua (2) cara yaitu; 72 pertama, melalui pengadilan nasional suatu negara yang berdaulat secara penuh baik pengadilan yang sudah ada atau pun pengadilan yang dibentuk khusus untuk tujuan tersebut, tanpa ada campur tangan internasional.

Indonesia adalah salah satu contoh untuk model pertama ini dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan undang-undang No. 26 Tahun 2000. Proses pembentukan pengadilan HAM ini mengarah pada prinsip-prinsip hukum internasional dan berlakunya prinsip universal pelanggaran HAM berat sebagai extraordinarycrimes mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula sehingga inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan Pengadilan HAM.

Kedua, melalui suatu pengadilan nasional, yang khusus dibentuk dengan campur tangan atau bantuan dari dunia internasional yang disebut dengan Hybrid Model atau Mixed National International Court. Campur tangan atau bantuan dunia internasional tersebut bisa saja dalam bentuk hakim atau jaksa internasional yang diperbantukan di pengadilan nasional tersebut. Contoh bagi penegakan tidak langsung model kedua ini adalah pengadilan nasional yang berlangsung di Sierra Leone, Cambodia, dan Timor Leste. [15] 

Baca Juga: Mengenali Perang Rusia-Ukraina dan Dampaknya terhadap Perekonomian Global

Perdagangan manusia, eksploitasi pelacur, perdagangan anak untuk konsumsi pedofil beberapa dekade terakhir muncul dan lahir menjadi suatu isu yang sangat menraik perhatian di kanca regional maupun global (Internasional).

Sampai saat ini banyak instrumen-instrumen yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi banyak negara yang belum meratifikasi dan ikut serta mengesahkan atau melegitimasi dan mengimplementasikan konvensikonvensi yang mempunyai peran penting dan berhubungan dengan maslahmasalah di atas.

Masing-masing negara mempunyai tanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada korban-korban sudah tentu tanggung jawab tersebut didasari oleh perjanjian Internasional yang menjadi acuan. Perdagangan perempuan akhir-akhir ini muncul menjadi suatu isu yang menarik perhatian regional maupun global.

Hingga saat ini terdapat banyak instrumen-tinstrumen yang berkaitan dengan masalah perdagangan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi masih banyak negara yang belum ikut meratifikasi, ataupun ikut serta mensyahkan dan mengimplementasikan konvensikonvensi yang berkaitan langsung dengan perdagangan perempuan.

Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menjadi korban perdagangan. Tanggung jawab negara ini didasari oleh perjanjian Internasional yang telah dan belum diratifikasi oleh Indonesia namun menjadi acuan.[16] 

Baca Juga: Banyaknya Penegak Hukum yang Melanggar Hukum, Mau Jadi Apa Negara Ini?

Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostution of Other), 25 Juli 1951. Konvensi ini mencerminkan pandangan umum saat itu, bahwa pelacur adalah korban dan karena itu hukuman harus dijatuhkan terhadap yang menjerumuskan mereka.

Negara peserta diwajibkan untuk menghukum mereka yang menjerumuskan orang-orang, bahkan jika korban menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya. Negara peserta juga terikat untuk menghukum mereka yang mengeksploitasi pelacur.

Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacuran atau siapapun yang menyewakan atau menyewa bangunan atau tempat lain atau bagian-bagiannya untuk memelacurkan orang lain.

Hukuman yang pernah dijatuhkan di negara lain bagi pelanggaran seperti yang dimaksudkan di atas sejauh dimungkinkan oleh perundangundangan nasional dapat dipertimbangkan untuk tujuan menetapkan status residivis dan mencabut hak-hak sipil si pelanggar.

Baca Juga: Analisis HAM dalam Kasus Dugaan KDRT Rizky Billar terhadap Lesti Kejora

Ekstradisi dapat dilakukan terhadap pelanggar sesuai dengan hukum yang berlaku di negara yang mengajukan permohonan ekstradisi tersebut, namun jika tidak dibenarkan oleh hukum di negara tempat dilakukan pelanggaran maka akan diadili setelah kembali ke negara mereka sendiri.

Negara peserta memberikan perlindungan dengan melakukan langkah-langkah  pencegahan dan rehabilitasi pelacuran melalui pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan pelayanan dalam bentuk lainnya. Bagi korban eksploitasi pelacuran dan perdagangan diberikan penyesuaian sosial.

Sehubungan dengan masalah imigrasi dan emigrasi, negara peserta akan mengadopsi langkah-langkah yang dibutuhkan atau menpertahankan langkah-langkah yang telah ada guna meninjau masalah perdagangan manusia untuk tujuan pelacuran.

Pengawasan terhadap biro-biro penempatan tenaga kerja perlu diadakan guna mencegah orangorang yang mencari pekerjaan terjerumus ke dalam pelacuran. Konvensi ini akan melindungi para buruh migran dari perdagangan untuk eksploitasi seks dan prostitusi.

Baca Juga: Pengaruh Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia 

Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women), New York, 18 Desember 1979. Kovensi ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas untuk memajukan persamaan kaum perempuan.

Konvensi ini memberikan pengertian mengenai diskriminasi terhadap perempuan, penghapusan diskriminasi, hak-hak perempuan dan jaminan atas hak-hak tersebut. Perdagangan perempuan diuraikan dalam satu pasal yang secara eksplisit berisikan tindakan yang perlu dilakukan oleh negara peserta.

Pasal tersebut mewajibkan negara peserta konvensi untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran.

Dalam  konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja (26 Juni 1973) diterangkan bahwa untuk negara maju diperbolehkan seorang yang berusia 15 tahun dalam keadaan apapun untuk bekerja namun pada negara berkembang dalam segi perekonomian dan pendidikan diperbolehkan pada usia 14 tahun. Adapun untuk pekerjaan yang sifat dan keadaannya membahayakan keselamatan, kesehatan dan moral mempunyai usia minimum 18 tahun.[17] 

Untuk melindungi anak dalam pekerjaan yang buruk dijelaskan bentukbentuknya dalam konvensi ILO No. 182 tentang bentuk-bentuk terbuuruk pekerja anak (17 Juni 1999). Peran masing-masing negara untuk mengambil tindakan yang efektif guna mengambil langkah-langkah pada para pelanggar untuk memberikan sanksi pidana dan memberikan laporan pelaksanaan konvensi.22 

Baca Juga: Ketimpangan Gender dalam Dunia Kerja Toko Retail: Perspektif Administrasi Bisnis

Optional Protocol to the Convention on the Reight of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornographi, New York, 25 Mei 2000. Protokol ini mengatur tentang apa yang menjadi kewajiban negara peserta untuk melarang perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak.

tindakan percobaan atau partisipasi dari tindakan tersebut baik secara individu atau terorganisir dianggap sebagai tindak kriminal atau melanggar hukum pidana dan juga harus dikenai denda yang sesuai.

Negara peserta harus mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk meminta pertanggungjawaban secara hukum dalam bentuk kriminal, sipil atau administratif atas kejahatan perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak.21 

Tindakan kejahatan di atas harus dianggap sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi sesuai dengan peraturan ekstradisi, dan jika negara peserta yang memberlakukan keadaan ekstradisi menerima permohonan ekstradisi dari negara lain yang belum memiliki perjanjian hukum antar negara, maka dapat menggunakan protokol ini sebagai dasar ekstradisi. Negara-negara peserta harus saling membantu dalam penyelidikan kriminal atau pemberlakuan ekstradisi (Pasal 5 dan 6 Ayat 1).

Baca juga: Patologi Birokrasi dalam Pelayanan Publik di Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasar Kemis

Protokol ini mengharuskan negara peserta untuk (Pasal 8 Ayat 1). mengambil tindakantindakan yang perlu guna melindungi hakhak dan kepentingan korban anak dari praktek-praktek terlarang seperti perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dalam semua tahapan proses peradilan kriminal, menjamin bahwa usia sesungguhnya para korban tidak menghalangi inisiatif penyelidikan kasus criminal, menjamin bahwa dalam system peradilan kriminal, memperlakukan korban dengan pertimbangan kepentingan terbaik untuk korban, memberikan pelatihan psikologi kepada orang-orang yang bekerja dengan para korban, mengambil tindakan untuk melindungi keselamatan dan keutuhan orang-orang atau organisasi yang terlibat dalam pencegahan dan/ atau perlindungan serta rehabilitasi korban.[18] 

Kelemahan dari hukum pidana Internasional dan faktor pendorong perkembangannya yaitu terdapat beberapa perbedaan budaya dan hukuman yang ada di peradilan Internasional dan nasional sehingga banyak pula penegakkan keadilan yang tidak sesuai dengan landasan aturan yang berlaku pada peradilan Internasional karena otoritas peradilan Internasional berada pada tingkatan sekunder setelah peradilan nasional. Belum lagi ada beberapa oknum yang memanfaatkan bukti pelanggaran dengan semaunya sehingga tindak kejahatan-kejahatan mampu direproduksi kembali dan akan terus berulang dengan siklus yang sama. 

Upaya penyelesaian tindak pidana Internasional merujuk kepada otoritas peradilan nasional maupun wilayah persekusi yang mana peran peradilan Internasional berada pada tingkat sekunder yaitu hanya mengawasi dan mngeurus administrasi. Adapun hak dan wewenang penuh yang dimiliki oleh peradilan Internasional jika peradilan nasional tak mampu menyelesaikan sesuatu kasus.  

Baca Juga: Rehabilitasi Narkoba: Definisi, Metode, dan Manfaatnya

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengadilan Internasional mempunyai hak dan peran yang sesuai untuk menghukum para terdakwa. Oleh karena itu, konvensi PBB yang diselenggarakan secara berkala dan terus menerus mempunyai peran yang penting sebagai acuan legal untuk menghukum dan mengadili para terdakwa berdasarkan karakteristiknya.

Segala kasus ataupun tindakan kejahatan pada tingkat Internasional dilandaskan dengan hukum yang berlaku pada hukum Internasional terkhusus pada hukum pidana Internasional dan akan dieksekusi oleh pengadilan Internasional dan nasional. Kasuskasus tersebut meliputi pengedaran narkotika, eksploitasi pelacur, pengedaran konsumsi pedofil, perdagangan manusia maupun anak dan tindakan terorisme.   

Hukuman yang berlaku untuk mengadili para pidana yang terjerat yaitu mengacu pada hukum Internasional. Adapun kewenangan primer dipegang utuh oleh pengadilan nasional yang diiringi oleh pengadilan Internasional. 

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang sebelumnya telah peneliti sampaikan, peneliti dapat memberikan beberapa saran seperti suatu negara harus memperkuat pelaksanaan penegakan undang-undang serta aturan oleh setiap negara dan memperberat sanksi kepada negara tersebut bila tak mampu menjalankan aturan seperti menyembunyikan kasus warga negaranya yang telah melanggar beberapa aturan yang berlaku dalam hukum internasional sebagaiman yang sudah disepakati bersama dibawah pengawasan dan ketuk palu undang-undang yang disahkan oleh mahkamah internasional.

Baca Juga: Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Warga Negara

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Atmasasmita, Romli. 2005. Hukum  Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. 

Marzuki, Peter Mahmud. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.

Parthiana, Wayan. 2006.  Hukum Pidana Internasional. Bandung: Yrama Widya. 

JURNAL

Fitria. 2015. Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Negara Ketiga: Praktik Indonesia. Bandung: PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2 No. 1. 

Luthan, Salman. 2000. Relevansi Peradilan Pidana Internasional bagi Perlindungan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum. Vol. 7 No. 15. 

Rochmiyatun, Siti. 2013. Perdagangan Perempuan Perspektif Yuridis. AN NISA’A.

Vol. 8 No. 1. 

Rosa Nasution, Aulia. 2015. Terorisme Di Abad Ke -21 Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Kejahatan Terorisme Dalam Perpektif Hukum Internasional Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Mercatoria. Vol. 8 No. 1. 

Sukarno, Karma. 2016. Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Studi terhadap Puusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Bandung:

PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 3. 

Taufiqurrahman. 2010. Upaya Pembaruan Hukum Nasional Di Bidang Kontrak JualBeli Barang Internasional.Yuridika. Vol. 25 No. 3. 


[1] 3 Ibid, h. 19-20. 

[2] Peter Mahmud  Marzuki. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, h. 23.

[3] Karma Sukarno. (2016). Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Studi terhadap PuTusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Bandung:

PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 3, h. 588. 

[4] Ibid., h. 588-589. 

[5] Fitria. (2015).  Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Negara Ketiga: Praktik Indonesia. Bandung: PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, h. 111. 

[6] Salman Luthan. (2000). Relevansi Peradilan Pidana Internasional bagi Perlindungan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum, Vol. 7 No. 15, h. 77. 

[7] 9 Ibid,  h. 78. 

[8] Ibid.  

[9] Ibid

[10] 12 Ibid, h. 87-89. 

[11] Taufiqurrahman. (2010). Upaya Pembaruan Hukum Nasional Di Bidang Kontrak Jual-Beli Barang Internasional. Jakarta: Yuridika, Vol. 25 No. 3, h. 274-276. 

[12] Aulia Rosa Nasution. (2015). Terorisme Di Abad Ke -21 Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Kejahatan Terorisme Dalam Perpektif Hukum Internasional Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Mercatoria, Vol. 8 No. 1, h. 58. 

[13] 15 Ibid, h. 58-59. 

[14] 16 h. 61. 

[15] 17 Ibid,  h. 66-72. 

[16] Ibid, h. 92 

[17] Ibid,  h. 97 

[18] Ibid.                         

Penulis: Dony Ardianto
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI