Catatan Demokrasi di Penghujung Tahun 2020

Demokrasi di Penghujung Tahun

“Demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat sekali hubungannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik. Bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif” (Moh. Mahfud MD, 1999: 1).

”Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950- an. Yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana Barat dan Timur, bahwa di Negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda. Di samping itu, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam rute yang berbeda-beda” (S.Pamudji, 1995: 1)

Hukum dan demokrasi adalah dua hal yang sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa hukum adalah produk dari proses-proses politik demokrasi, sedangkan demokrasi adalah “pagar pembatas” yang dapat menjaga agar produk-produk hukum tidak cenderung represif. Memuat kepentingan-kepentingan yang menguntungkan golongan-golongan tertentu atau bahkan abuse of Power.

Bacaan Lainnya

UUD 1945

Telah tertuang dalam amandemen ke II undang-undang dasar republik indonesia tahun 1945 bahwa Indonesia telah mengaku sebagai negara hukum yang kekuasaan tertingginya ada di tangan rakyat. Hal ini jelas dan dapat dilihat pada pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi; “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasar pasal tersebut, maka jelas Negara Indonesia adalah negara hukum yang mengakui bahwa rakyat yang berkuasa. Hal ini adalah implementasi praktik hukum demokrasi dan bukan hukum otoriter. Bahwa sangat jelas rakyat memiliki hak-hak suara yang dijamin oleh hukum di Indonesia melalui tatacara dan mekanisme yang jelas pula.

Namun pada praktiknya, tak bisa kita pungkiri dan harus kita akui bahwa hukum di Negara Demokrasi kita ini lebih cenderung tajam ke bawah dan sangat lembut jika mengarah ke atas. Equality Before the law seakan hanya menjadi slogan pemanis dan harapan palsu bagi rakyat kelas bawah.

Contoh-contoh kecil yang mungkin masih sangat terngiang dibenak kita semua tentang rancangan-rancangan UU yang terkesan sangat terburu-buru. Dipaksakan dan sempat menjadi kontroversi serta pada akhirnya menimbulkan reaksi gelombang penolakan besar-besaran di indonesia. Sebut saja RUU Ciptaker, RUU Minerba dan lainnya. Produk hukum yang seharusnya melibatkan masyarakat sejak awal ini seakan dipaksakan, dibahas hampir tengah malam di akhir pekan. Pemerintah dan DPR seolah menutup rapat mata dan telinga terhadap gelombang penolakan tersebut dan menuding bahwa aksi-aksi penolakan tersebut “ditunggangi” oleh kepentingan politik.

Semenjak rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah lama diperbincangkan oleh kalangan akademisi maupun masyarakat awam mengenai Cipta Kerja untuk disetujui oleh tujuh fraksi menjadi Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 dalam Rapat Paripurna menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Khususnya mahasiswa dan buruh, maka peristiwa tersebut menjadi buah bibir dimanapun kita berada. Pengesahan tersebut menimbulkan aksi masa di berbagai daerah di seluruh nusantara dan berujung pada demo besar-besaran di Jakarta hingga pembakaran halte Sarinah. Seluruh media dipenuhi dengan berita mengenai kasus tersebut. Polisi siap berjaga di seluruh lokasi rawan aksi masa. Munculnya berita palsu yang memprofokasi golongan tertentu saja semua ini makin meresahkan masyarakat.

Melihat kenyataan tersebut, sebagaian orang berpendapat bahwa kejadian pada tahun 1998 akan terulang kembali. Hingga pada akhirnya masyarakat tetap harus berlapang dada dengan pemerintah tetap bersikukuh untuk tetap memegang teguh RUU yang telah disahkan dan sekali peraturan tetaplah peraturan. Kejadian tersebut membuat sebagian orang bertanya-tanya, sekecil itukah peran masyarakat di negara demokrasi yang sebharusnya pemerintahan dijalankan oleh rakyatnya sendiri? Jika pemerintahan memang tujuannya untuk rakyat, maka apakah bisa disebut demikian jika rakyat justru malah tidak berkenan? Hanya diri kita sendirilah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut karena pada hakikatnya manusia mempunyai hati nurani untuk menilai sesuatu dari kenyataan yang ada.

Pesta Demokrasi

Beranjak dari pro dan kontra UU Cipta Kerja, kini kita beranjak untuk mengulas kisah demokrasi yang terjadi pada bulan terakhir pada penanggalan masehi. Beberapa waktu yang lalu kita baru saja menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara untuk memilih kepala daerah. Dengan segala protocol kesehatan yang telah diberlakukan, KPU tetap mengadakan pemilihan kepala daerah di era pandemi seperti pada saat ini. Pesta demokrasi yang selalu disambut dengan suka cita oleh masyarakat pada periode sebelumnya, pada tahun ini justru harus dilakukan dengan penuh kebimbangan.

Di satu sisi hampir setiap dari kita menginginkan regenerasi kepala daerah yang memiliki kemampuan untuk memajukan daerahnya. Namun di sisi lain kita juga harus menjaga keselamatan diri kita dari virus yang bisa kita jumpai di setiap tempat. Khususnya pada kerumunan. Pilihan tersebutlah membuat masyarakat kembali pada keyakinan di dalam dirinya. Ada yang tetap datang ke TPS dengan keteguhan untuk berdemokrasi dan sebagian yang lain hanya diam di rumah mereka masing-masing. Sehingga mau tidak mau ia harus menerima siapapun yang jadi pemimpin mereka. Padahal kita tahu dalam sistem demokrasi kita harus cermat menentukan siapa pemimpin yang pantas menerima amanat. Agar manfaatnya kembali kepada rakyat.

Demokrasi memang selalu membiasakan masyarakat pada pilihan-pilihan yang pada akhirnya kembali pada keyakinan yang bersifat personal.

Berikut adalah sedikit kenangan perjalanan demokrasi di tahun 2020, apapun yang telah terjadi kita harus selalu berkeyakian bahwa selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Kembali kepada masa lalu adalah hal yang mustahil, hingga kita harus terus melangkah ke depan dengan demi tercapainya apa yang menjadi cita-cita dari demokrasi di negara kita ini yang hakikatnya memang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Aulia Khisan Ahadsa
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan Yogykarta

Editor: Diana Pratiwi

Baca Juga:
Eksistensi Demokrasi dalam Negara Hukum
Dilema Negara Hukum & Demokrasi
Nasib Demokrasi di Masa Pandemi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui e-mail: redaksi@mahasiswaindonesia.id
Lalu konfirmasi pengiriman artikel via WA Admin: +62 811-2564-888 (Rahmat Al Kafi)
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI