Pernahkah terbesit dalam pikiran kita keadaan seperti apa nantinya saat ajal menjemput? Apakah sedang melakukan kebaikan atau justru bermaksiat? Apakah kita tidak takut, jika di akhir hidup ini justru malah melakukan hal-hal yang tidak Allah suka?
Haruskah kita bekerja untuk kehidupan ini? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah ya. Islam adalah agama yang mendorong semua manusia untuk bekerja. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa manusia harus sepenuhnya meninggalkan pekerjaan untuk mencari rezekinya. Tapi bahwa kesenangan duniawi tidak boleh menjadi tujuan utamanya. Islam mendorong manusia untuk bekerja dan menganggap bekerja sebagai ibadah jika niatnya tulus. (Abdul Malik Al-Qashim)
Seorang laki-laki datang ke Sufyan Ath-Thauri untuk meminta nasihat dan ia berkata kepada laki-laki tersebut, “Bekerjalah untuk hidup ini sampai batas kehidupanmu didalamnya dan bekerjalah untuk akhirat sampai batas kehidupanmu didalamnya.”
Oleh karena itu, kita harus membandingkan masa hidup di dunia ini dan di akhirat nanti. Masa hidup manusia di zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam berkisar 60-70 tahun (bahkan ada meninggal sebelumnya). Pertanyaannya, berapa lama kita akan berada di akhirat? Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj ayat 47, “Dan sesungguhnya sehari di sisi Allah adalah sama seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Siapapun yang berpikir dengan baik tentang hasil yang akan diperolehnya dalam kehidupan di dunia ini, tentu akan berhati-hati. Dan bagi mereka yang yakin akan panjangnya jalan yang masih harus ditempuh, tentu akan menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Wahai sobat, kita telah banyak menghabiskan waktu untuk menikmati kesenangan dunia dan tidak terasa dosa-dosa yang kita lakukan semakin bertumpuk. Adakah kesempatan bagi kita untuk merenungkannya?
Hal ini senada dan seirama dengan sabda yang diriwayatkan oleh Anas bin ‘Ayyad Radhiyallahu ‘Anhu, “Aku melihat Safwan bin Salim berkata, jika esok hari adalah akhir kehidupan dunia, maka manusia tidak perlu melakukan ibadah tambahan apapun.”
Tidakkah kita sadari, kehidupan yang kita jalani berjalan meninggalkan kita dan kehidupan akhirat berjalan mendekati kita, akan tetapi kita sibuk dengan kehidupan yang akan meninggalkan kita dan mengabaikan kehidupan yang akan segera datang menghampiri kita, seolah-olah kita tidak akan tiba disana dan tinggal didalamnya.
Kehidupan tidak pernah hanya berjalan pada satu pola, ia akan selalu mengalami perubahan, yang kaya menjadi miskin, kebahagiaan berubah menjadi kesedihan. Sebagai seorang Muslim, hendaknya tidak mempunyai perasaan bahwa kehidupan dunia tanpa ada batas akhirnya. Akan tetapi, ia harus merasa bahwa dirinya adalah seorang musafir di dunia.
Jika kita ingin tahu seberapa penting diri ini di mata Allah, kita harus melihat dulu hasil kerja keras untuk Allah. Kita harus melihat tentang apa yang telah kita lakukan untuk Allah. Jika kita telah melakukan hal yang terbaik untuk beribadah dan patuh kepada-Nya, maka kita akan selamat. Dan jika tidak, maka kita harus kembali ke jalan Allah dengan penuh penyesalan dan meminta ampunan Allah dan malu terhadap-Nya, Zat Pemelihara dan Pencipta kita.
Oleh sebab itu, jika kebiasaannya adalah pergi ke Diskotik misalnya, yang jelas-jelas itu melanggar perintah Allah, maka di akhir hidupnya ia juga akan diwafatkan dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, jika kebiasaannya melakukan hal yang baik, mengisi kultum di masjid misalnya, maka kita akan diwafatkan dalam keadaan seperti itu juga.
Penulis: Nizar Sadat
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
Referensi:
Abdul Malik Al-Qashim. 2006. Dunia Hanyalah Persinggahan. Jakarta. Cakrawala Publishing.