Pelecehan Seksual Semakin Marak Terjadi, Guru hingga Pemuka Agama Dapat Menjadi Pelaku: Mengapa Demikian?

Opini
Ilustrasi: istockphoto

“Bisakah saya memeluk mahasiswi saya di kampus atau meraba-rabanya tanpa bertanya terlebih dahulu?”

 Apakah ini termasuk ke dalam pelecehan seksual? Jawabannya tentu saja iya. Mengapa?

Apa itu Pelecehan Seksual?

Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dapat membuat seseorang merasa kesal, takut, tersinggung atau terhina, atau dimaksudkan untuk membuat mereka merasa seperti itu.

Bacaan Lainnya

Pelecehan seksual adalah jenis kekerasan seksual yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas atau tindakan seksual apa pun yang terjadi tanpa persetujuan. Jenis kekerasan seksual lainnya termasuk pemerkosaan dan penyerangan seksual.

Baca Juga: Keadilan yang Ada dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

—“Cewe, sini dong! Bisa dibayar berapa nich?”

—“Canda sayang.”

Namun, Pelecehan Seksual Bukanlah Suatu Candaan dan Seharusnya Tidak Boleh Terjadi.

Hal ini seringkali dapat membuat korban merasa kesal, takut, terhina, atau tidak aman. Bagi sebagian orang, hal itu dapat berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta memengaruhi kualitas hidup mereka.

Anda mungkin pernah mendengar orang berbicara atau bahkan teman anda sendiri yang bercerita tentang pelecehan seksual yang terjadi di kampus. Tapi, pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan dapat terjadi dalam banyak bentuk.

Baca juga: Cara Mengirim Artikel, Berita dan Tulisan ke Media Online: 100% Terbit!

Berawal dari Masturbasi

Masturbasi adalah salah satu hal yang masih dianggap tabu dalam kehidupan sehari-hari, namun banyak orang yang melakukan masturbasi secara aktif. Akan tetapi, karena tekanan sosial mereka yang melakukan masturbasi biasanya tidak akan mengakuinya karena malu.

Masturbasi dapat dilakukan siapa saja baik laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan kepuasannya. Masturbasi biasanya dilakukan sampai tingkat seksualnya meningkat sampai puncak kenikmatan atau orgasme yang ditandai oleh ejakulasi dini.

Masturbasi yang terlalu sering dapat membuat seseorang terobsesi dan tidak jarang kaum adam dapat menjalankan aksi tercelanya dengan melakukan tindakan pelecehan seksual karena hawa nafsu yang tidak terkontrol.

Baca Juga: Isu Pelecehan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Kampus Universitas Riau

Menonton Film Porno Dapat Menyebabkan Seseorang Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

Seiring berkembangnya zaman, siapapun dapat mengakses media sosial di mana sudah tersebar luas dan tidak sedikit yang mengandung konten sensitif atau ‘dewasa.

Banyak orang tua bahkan hampir semua orang tua yang melarang anaknya menonton film porno, karena orang tua berpikir bahwa nanti jika anak menonton film porno, anak tersebut akan mengikuti adegan di dalam film tersebut.

Padahal sifat melarang itu akan membuat anak tersebut penasaran dan menonton film porno secara diam-diam, dan ahirnya mereka candu dengan film porno tersebut, karena mereka tidak mengerti apa itu film porno, yang mereka ketahui film porno hanya memuaskan mereka saja, adegan jorok yang seru ditonton yang akan merusak otak mereka dan ingin mencobanya secara langsung dengan melakukan pelecehan seksual terhadap lawan jenis. Mayoritas, pelaku pelecehan seksual dan para pecandu film porno adalah laki-laki.

Guru hingga Pemuka Agama Dapat Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

—“Kok bisa sih guru dari sekolah X melecehkan 3 siswi?”

—“Salah satu teman saya juga bercerita jika dia pernah dilecehkan oleh pemuka agama dengan cara memegang area sensitif di tubuhnya”

Bukannya mendidik malah menjadi predator seks.

Sebagai seorang guru, dosen atau bahkan pemuka agama, tidak bisa dipungkiri mereka pasti selalu berinteraksi dengan para siswa yang beragam dan tentunya secara manusiawi mereka punya rasa tertarik terhadap siswi atau mahasiswi yang berparas cantik. Belum lagi ada beberapa siswi ABG yang sangat menggoda iman mereka hingga terjadilah pelecehan seksual.

Tidak sedikit kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru bahkan pemuka agama yang menjadi predator seksual seringkali muncul di media massa dewasa ini.

Mulai dari kasus pelecehan seksual pada 2021 silam yang dilakukan oleh pemuka agama di pesantren dengan memperkosa 13 santriwati yang sempat viral pada masanya dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para guru dan pemuka agama hingga detik ini.

Baca Juga: HIPMA MPH Soroti Dugaan Pelecehan Seksual di KPI

Banyak yang mempercayai bahwa para predator seksual dapat terjadi karena terlalu sering mengonsumsi film porno. Misal, sering membaca atau menonton konten-konten porno.

Hal ini memicu adanya fantasi seksual dan apabila tidak disalurkan dengan baik maka bisa saja berujung pada pelecehan seksual dan dapat memakan banyak korban khususnya kaum hawa.

Pelaku kekerasan seksual terutama guru atau pemuka agama memiliki keinginan untuk mendominasi karena merasa ia paling hebat dan berpikir bahwa tidak ada satu pun korban yang dapat melawannya.

Terlepas dari hal itu, besar kemungkinan mereka mengalami stres pada pernikahannya. Beberapa dari mereka mungkin kurang mendapatkan perhatian dari pasangan atau tidak puas dengan seks yang didapatkan.

Guru yang jatuh cinta kepada anak didiknya sudah sering terjadi saat ini dan bukanlah suatu hal yang tabu. Biasanya, mereka tertarik secara fisik apalagi melihat anak didiknya yang sedang mengalami perkembangan secara fisik dan seksual.

Hal seperti inilah yang dapat memancing hawa nafsu mereka untuk melakukan tindakan tercela ini, terlebih lagi jika anak didiknya memiliki kulit yang putih dan mulus bak artis Korea, siapa yang tidak tergoda?

Dalam kasus seperti ini, hawa nafsu para predator seks sudah tidak tertahankan lagi hingga dimanfaatkan oleh mereka untuk memenuhi hawa nafsu mereka yang biasanya diawali dengan godaan-godaan biasa, kemudian mengarah ke arah yang lebih dewasa hingga ke tahap fisik seperti meraba-raba area sensitif, seperti area punggung hingga pinggul.

Tidak peduli sekuat apa ajaran agama yang mereka miliki, namun jika mereka tidak dapat mengontrol hawa nafsu dengan melihat perempuan-perempuan cantik yang dapat menggoda hati mereka rasanya sia-sia saja bahkan mereka tidak pantas disebut sebagai guru atau bahkan pemuka agama.

Sangatlah tidak pantas bagi mereka yang menjabat sebagai pemuka agama yang mengajarkan ilmu spiritual, akhlak dan moral, tapi mereka sendiri tidak memiliki akhlak karena melakukan tindakan asusila.

Perbuatan mereka hanyalah merugikan korban dan dapat menyebabkan PTSD (gangguan stres pasca-trauma) serta mencoreng nama baik para pengajar dan pemuka agama.

Baca Juga: Peran Psikolog Forensik dalam Kasus Pelecehan Seksual

PTSD dan Pelecehan Seksual

Salah satu dampak yang paling meresahkan dari kekerasan seksual adalah gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang merupakan pola gejala yang dialami orang setelah peristiwa traumatis.

Banyak korban pelecehan seksual melaporkan mengalami perasaan depresi, kecemasan, kemarahan atau kesedihan. Rasa malu, bersalah, menyalahkan diri sendiri, ketakutan, ketidakberdayaan, kilas balik, dan serangan panik juga dapat terjadi.

Sebuah penelitian terhadap wanita yang mengalami kekerasan seksual menemukan bahwa 94 dari 100 mengalami gejala PTSD selama dua minggu setelah peristiwa tersebut. Tapi perasaan itu bisa bertahan lebih lama dari itu bahkan ada yang bertahan seumur hidup.

Pentingnya Sex Education pada Anak Sejak Dini

Pendidikan seksual penting diajarkan pada anak karena pesatnya perkembangan teknologi dan maraknya kejahatan seksual dewasa ini serta hasrat seksual yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan dapat merugikan orang lain.

Pendidikan seks dini dimungkinkan untuk meluruskan pemahaman dan perilaku seksual anak sehingga mereka lebih positif dalam kehidupan sosial dan memanimalisir kasus tindak kekerasan seksual.

Penelitian Katharine Davies (sebagaimana dikutip dalam M. Roqib, 2012) memperkuat pentingnya pendidikan seks.  Hasil penelitian adalah 57% wanita yang menerima pendidikan seks dini dapat menikah dengan bahagia.

Pendidikan seks dini kepada anak-anak melindungi mereka dari pelecehan seksual. Diharapkan pengetahuan dan sikap yang benar terhadap organ intim di usia muda, mereka dapat melindungi diri dari bujukan orang dewasa yang akan melakukan pelecehan seksual.

Kurangnya pendidikan seks pada anak dapat menyebabkan terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa. Orang tua harus memberikan pelajaran tentang pendidikan seks sejak dini kepada anak-anak sehingga mereka memiliki pengetahuan yang benar tentang seks dan tahu cara menjaga diri dari kekerasan seksual.

Baca Juga: Maskulinitas dan Pelecehan Seksual pada Laki-Laki

Percayalah, Kamu Tidak Sendiri

Pelecehan seksual merupakan beban mental yang ekstrim bagi korbannya. Ada banyak orang di dunia ini yang bersedia untuk membantumu mengatasi hal seperti ini. Penting untuk memiliki sistem pendukung untuk membantu korban mengatasi akibat dari insiden tersebut.

Pertimbangkan untuk berbicara dengan terapis maupun konselor atau menjangkau kelompok pendukung untuk penyintas pelecehan seksual.

Setiap orang memiliki batasan yang berbeda. Apa yang dianggap lelucon oleh seseorang mungkin tidak menyenangkan atau menyakitkan bagi orang lain.

Ya. Kamulah yang menentukan apa yang menurutmu nyaman. Ingatlah jika ini bukan salahmu. Ketika seseorang membuat komentar yang memalukan atau seksis, sesuatu yang tidak pantas, atau serangan fisik, itu bukan kesalahanmu. Mari berhenti untuk menyalahkan diri sendiri.

Kamu bukanlah korban hanya karena kamu membagikan kisah pahit. Kamu adalah penyelamat dunia melalui semua kebenaranmu. Dan kamu tidak pernah tahu jika seluruh dunia membutuhkan keberanianmu hingga berterima kasih kepadamu.

Maka, jangan malu untuk menceritakan semua kisah pahitmu kepada dunia, karena melalui ceritamu, kamu dapat menginspirasi orang-orang.

Penulis: Tabitha Szalsa Adinda
Mahasiswa Psikologi Universitas Katolik Musi Charitas

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI