Maskulinitas dan Pelecehan Seksual pada Laki-Laki

Akhir-akhir ini kita selalu disuguhi berita mengenai pelecehan seksual. Korban yang menjadi incaran para pelaku kejahatan tersebut tidak hanya dialami oleh kaum perempuan saja tetapi laki-laki tidak menutup kemungkinan juga bisa menjadi korban. Lalu, kita tidak bisa menolak kerangka berfikir yang melandasi mengenai terma kekerasan seksual, apakah bisa terjadi pada laki-laki? Apakah laki-laki memungkinkan untuk menjadi korban kekerasan seksual? Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul.

Dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), korban kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh anak laki-laki daripada perempuan pada tahun 2018. Menurut Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, bahwa pada tahun 2017 kondisi tersebut lebih didominasi oleh korban perempuan. Pada  2018, KPAI mencatan ada 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. (TEMPO.CO, 2/5/2018)

November lalu, kita dihebohkan dengan kabar dimana A (12), pelajar SMP lantaran diduga telah menyodomi dua siswa sebuah Sekolah Dasar di Mojokerto, Jawa Timur. Kapolres Mojokerto AKBP Setyo Koes Heriyatno mengatakan, dari hasil pemeriksaan awal mula terjadi tindak pidana tersebut, lantaran A pernah menjadi korban pelecehan seksual. Sudah begitu, pelaku juga sering menonton video asusila. Dari pengakuan A, alasannya menyodomi dua bocah laki-laki itu karena ingin membalas kepada orang lain. (SuaraJatim.id, 6/11/2019)

Bacaan Lainnya
DONASI

Dari sekian belum termasuk kasus-kasus pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap laki-laki yang tidak dilaporkan. Hal tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh ketidakberdayaan korban sebab ketidakmiliki kuasa maupun konstruksi yang dibangun oleh masyarakat bahwa laki-laki tidak mungkin mengalami pelecehan seksual.

Budaya patriarki telah membentuk sebuah masyarakat dimana kehidupan memiliki standar atas apa yang disebut perempuan dan laki-laki. Konstruksi tersebutlah yang mengandung maskulinitas lalu lahir dan tumbuh di dalam ruang publik kita. Patriarki merupakan sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana kedudukan lelaki lebih dominan di berbagai bidang.

Maskulinitas yang terbentuk di masyarakat yaitu seseorang yang terlahir sebagai laki-laki harus memiliki sifat yang kuat, menuntut lelaki selalu tangguh dan dianggap cengeng saat menunjukkan emosinya, laki-laki harus menempatkan diri pada derajat yang tinggi. Sehingga, apabila laki-laki mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual tidak banyak yang berani bersuara lantaran khawatir  mereka akan dianggap lemah karena tidak bisa melawan. Padahal jelas, laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban

Bahaya sekali bagi korban yang tidak mampu bersuara atas kejadian yang telah ia alami. Penyintas kekerasan seksual bisa saja mengalami sebuah trauma bahkan bisa mengalami gangguan kejiwaan. Dapat diambil contoh dampak dari kasus A tersebut, yaitu dimana ia menjadi pelaku lantaran pernah menjadi korban kekerasan seksual. Hal tersebut pasti dipicu karena adanya trauma yang dialami oleh si A, lalu ada perasaan untuk membalas dendam.

Konstruksi maskulinitas yang tertanam di masyarakat membawa konsekuensi negatif bagi laki-laki, Dengan melihat dampak serius dari konstruksi maskulinitas yang diyakini luas di dalam masyarakat tersebut maka dari itu penting untuk mengubah konsep maskulinitas. Keyakinan bahwa menjadi laki-laki harus menjadi pemimpin atau superior, maupun memiliki porsi yang besar dan dominasi terhadap ruang seksual dan sebagainya. Hendakmya ditransformasi menjadi keyakinan yang memberikan ruang kepada laki-laki untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak lagi adanya tuntutan peran dan keterbatasan untuk mengekspresikan emosi. Perlu kiranya memperkaya literasi mengenai kesetaraan gender di tengah suburnya budaya patriarki. Semua harus saling mengedukasi, dari semua kalangan masyarakat, baik dari masyarakat kecil sampai pada elit politik.

Selain itu, pemerintah maupun masyarakat itu sendiri perlu kiranya bergerak untuk menyediakan ruang-ruang konseling yang aman bagi laki-laki tanpa harus takut mendapatkan stigma lemah, cengeng atau tidak laki-laki. Ruang-ruang konseling ini merupakan ruang bagi laki-laki berkonsultasi atau sharing ketika menghadapi persoalan di dalam hidup mereka. Dengan adanya ruang konseling bagi laki-laki ini diharapkan para penyintas kekerasan seksual mampu tertangani.

Sri Mulyani
Mahasiswa jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI