Perlunya Ruang Publik yang Dialektis

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan asas demokrasi, dimana setiap masyarakat berhak dan bebas untuk menyatakan ide maupun gagasannya. Ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi tersebut. Ruang publik merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Jurgen Habemas, salah satu filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis generasi kedua Mazhab Frankfrut.

Dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere (1989), Hebermas mengatakan bahwa ruang publik dapat diciptakan oleh siapapun, dimanapun, entah itu di warkop, kafe, kampus, dan sebagainya. Sebab, pentingnya ruang publik menjadi instrumen kontrol dan membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap persoalan sosial saat ini.

Menurut Habermas, ruang publik adalah semua ruang kehidupan sosial yang di dalamnya opini publik dapat dibentuk secara terbuka, serta semua memiliki kedudukan dan jaminan akses yang sama untuk terlibat di dalamnya. Kebebasan penyampaian ide dan gagasan juga bebas dari determinasi manapun, tanpa intervensi maupun tekanan.

Ruang publik, kata Habermas, sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap situasi konkret zaman feodal pada sekitar abad 18 di Eropa. Ruang publik merupakan fenomena kaum borjuis. Meskisebenarnya,  masa-masa sebelumnya, otoritas-otoritas feodal: para raja, juga memposisikan dan merepresentasikan dirinya sebagai publik, tetapi rakyat pada waktu itu hanya menontonnya. Mereka pasif, karena komunikasi terjadi hanya satu arah.

Sedangkan jauh sebelumnya pada abad ke-17 dan 18, kedai-kedai kopi di Inggris, salon di Perancis, merupakan tempat-tempat favorit untuk mendiskusikan berbagai informasi yang tengah berkembang kala itu. Kemudian pada paruh kedua abad ke-18, bibit-bibit awal ruang publik modern mulai menunjukkan eksistensi dengan ditandai runtuhnya kekuasaan Raja Louis XVI oleh adanya Revolusi Perancis

Di era sekarang, semakin mudah ditemui warkop, cafe atau taman yang memungkinkan terciptanya ruang publik yang lebih dialektis, dibanding masa-masa dahulu sebelum reformasi.

Terciptanya ruang publik sekarang juga berimplikasi pada topik diskusi yang lebih demokratis terkait: bedah buku, fenomena sosial yang terjadi, kebijakan publik atau bahasan: teologi, kosmologi, historis dan banyak hal yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya.

Ruang publik yang ideal sebagai wadah harus mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi terpenuhinya syarat interaksi, yaitu memberi peluang bagi terjadinya kontak dan komunikasi sosial, sehingga akan tercipta masyarakat madani yaitu masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan.

Dalam konteks lingkungan akademis, ruang publik penting bagi mahasiswa yang memiliki dahaga ontologis, khususnya untuk berdiskusi. Output yang dihasilkan bisa berbagai bentuk mulai dari ide inovatif, buku, jurnal dan sebagainya. Lebih lanjut, ruang publik juga menjadi stimuli kognitif mahasiswa agar terbiasa berpikir lebih kritis, “radikal” dan kreatif.

Selain itu munculnya ruang pubik menjadi alternatif menjaga atmoster akademis ketika suasana kampus yang dirasa membosankan.

Walaupun udah banyak ruang publik bermunculan dengan berbagai fasilitasnya, namun hanya kelas sosial tertentu yang dapat mengaksesnya. Apalagi secara kuantitatif, sekarang banyak pembangunan pemukiman-pemukiman dan gedung tinggi yang malah bersifat privat.

Rino Andreas

Mahasiswailmukomunikasi UMS

Kirim Artikel

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI