Eks Koruptor Boleh “Nyaleg” Lagi?

Sebanyak 41 caleg napi kasus korupsi siap maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu tahun 2019. Tentu saja ini menjadi buah bibir yang menghangatkan dunia perpolitikan. Keputusan Mahkamah Agung yang memberikan perlindungan Konstitusi kepada para napi pada Kamis, 13 September 2018 tetap akan mencederai Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018. Hak Asasi Manusia dijadikan sebagai landasan bagi MA dianggap cukup untuk memerangi Peraturan KPU yang masih belia. Padahal, terkuak bukti bahwa keputusan ini bersifat tidak formil mengingat keterlambatan pemberian Salinan Putusan kepada KPU dan Bawaslu sehingga tidak dapat melakukan uji materi PKPU dengan cepat.

Uniknya, pada kasus ini pihak KPU dan Bawaslu cenderung saling bersitegang. KPU menyuarakan untuk menolak Putusan MA dan memegang teguh PKPU yang telah dibuat. Sedangkan kubu Bawaslu sepakat dengan MA yang mendukung penuh para caleg mantan napi untuk maju dalam Pemilu tahun 2019 mendatang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah menjadi landasan hukum bagi MA untuk menyerang KPU di mana tidak ada keterangan bahwa calon legislator tidak boleh berasal dari narapidana kasus korupsi. Undang-undang yang saling tumpang tindih ini membuktikan kurangnya sinkronisasi para penegak hukum dalam membuat peraturan.

Etiskah?
Dilihat dari berbagai sisi dan sudut padang, adalah sebuah ketidaketisan jika bangsa ini dipimpin oleh mantan narapidana kasus korupsi. Yang namanya korupsi jelas melukai hak banyak orang untuk kepentingan pribadi. Secara langsung, akan sangat tidak adil jika ‘eks koruptor’ masih diberi kesempatan untuk mencalonkan diri lagi sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Apakah Indonesia sudah kehabisan orang yang lebih ‘suci’ untuk menjabat di pemerintahan? Dampaknya adalah akan muncul paradigma sosial pada publik, yaitu ketidakpercayaan masyarakat kepada para wakil rakyatnya, juga akan menimbulkan kekacauan pemerintahan di masa yang akan datang.

Bacaan Lainnya

Bilamana pangkal pertimbangan MA dan Bawaslu yang memutuskan diperbolehkannya mantan napi korupsi untuk nyaleg lagi adalah HAM, akan menimbulkan pertanyaan besar. Apa gunanya peraturan dibuat jika segala aspek ‘kelalaian’ bisa dibela atas dasar Hak Asasi Manusia? Tentu saja, akan mengundang masalah baru dan hal yang sama akan terjadi lagi. Ditambah lagi, belum tentu mantan napi yang dibela untuk mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat akan melaksanakan kewajibannya dengan benar. Alhasil, pemerintahan masa mendatang akan sangat terguncang.

Sudahkah mantan napi jera?
Alih-alih menjadi wakil rakyat, tidak sedikit mantan koruptor yang melakukan tindak kejahatan lain saat mereka masih dalam proses hukuman. Kasus di mana BNN menemukan ruangan sel mewah milik napi kasus korupsi Haryanto Chandra di Lapas Cipinang sebagai salah satu contohnya. Jika aparat Lapas saja masih bisa ‘disogok’, napi tidak akan pernah kapok untuk melakukan tindak kejahatan. Jika dalam proses hukuman dan rehabilitasi saja napi masih bisa seenaknya sendiri, apalagi nanti ketika dipilih menjadi wakil rakyat? Tidak menutup kemungkinan korupsi yang lebih besar bisa terjadi.

Alasan psikologis juga patut dijadikan dasar pertimbangan dalam memutus perkara ini. Ibarat sebuah tulisan di atas kertas, kemudian dihapus menggunakan penghapus, tetap saja akan meninggalkan bekas. Hal ini berlaku juga bagi para mantan narapidana kasus korupsi yang mendapatkan perlindungan hukum dalam putusan MA. Faktanya, masih akan tersisa benih-benih kejahatan yang tertanam dalam nurani mereka walaupun jiwanya sudah dipulihkan. Dikhawatirkan, mereka akan melakukan hal yang sama di masa yang akan datang jika terpilih lagi menjadi wakil rakyat.

Pentingnya Edukasi Politik
Jika pada akhirnya MA tetap memutus perkara ini dengan memperbolehkan mantan napi kasus korupsi “nyaleg” lagi, maka solusi selanjutnya akan diberikan kepada partai dan tangan rakyat. Edukasi politik dirasa menjadi ‘win-win solution’ untuk perkara satu ini. Dari sisi partai politik, diharapkan agar melakukan kaderisasi anggota secara lebih selektif. Selain itu, parpol juga bisa mengedukasi bacaleg 2019 tentang bagaimana menjadi pelayan masyarakat sejati jika nanti menjabat sebagai anggota legislatif baru. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa bacaleg memang calon wakil rakyat yang siap mengabdi.

Begitu juga masyarakat, harus lebih cerdas dalam menggunakan hak suaranya. Indonesia merupakan negara demokrasi yang artinya masyarakat memiliki andil yang besar dalam perjalanan roda pemerintahan. Pemikiran dangkal masyarakat untuk menitipkan nasib kepada para politisi harus segera dimusnahkan. Masyarakat harus sadar dan tahu betul bagaimana latar belakang dari caleg-caleg yang akan mengikuti pemilu 2019. Selain itu, partisipasi dan aspirasi masyarakat tetap harus mengalir sampai masa pemerintahan legislator yang baru sebagai bentuk perwujudan dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Usaha dari pemerintah terutama KPU dan Bawaslu sangat dianjurkan yaitu berupa pengumuman secara formal kepada rakyat siapa saja calon legislator yang pernah terlibat dalam kasus korupsi. Selain itu, KPU juga bisa memberikan keterangan atau ‘warning’ di bawah foto-foto caleg mantan koruptor pada kertas suara. Transparansi dari pemerintah ini akan sangat membantu masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dengan bijak, sehingga dapat meminimalisir segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada pemerintahan di masa yang akan datang jika ‘eks koruptor’ menjadi caleg.

Adhelia Bella Kristiani

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI