Demokrasi dan Masa Depan Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 telah usai. Tensi politik yang selama ini mengudara di ruang publik seyogyanya mulai ditinggalkan. Kondisi carut-marut di berbagai media sosial diharapkan bisa kembali normal. Riuh rendah Pilpres dan Pileg menyisakan begitu banyak pembelajaran yang harus kita petik sekaligus menjadi pembelajaran penting dalam mengembangkan kedewasaan kita di alam demokrasi. Persinggungan antar kedua kubu diharapkan tidak lagi memancing suatu persoalan baru, namun diharapkan bisa terjaga dengan baik. Demokrasi tentu melahirkan perbedaan. Kita telah menunjukan perbedaan itu melalui Pemilu kemarin. Tentunya ini menunjukan suatu sikap warga negara yang paham akan dinamika berpolitik. Di sisi lain konsekuensi elektoral bukan tujuan sebenarnya harus kita letakan sebagai dasar dalam berpolitik, paling penting ialah sikap dewasa dalam menerima keputusan elektoral yang ada.

Kita telah mengakhiri pesta ini dengan baik. Keputusan KPU tentang penetapan pemenang Pilpres tahun 2019-2024, ialah pasangan Jokowi-Ma’ruf dengan perolehan suara 85,617,892 (55.49%). Sedangkan pasangan Prabowo-Sandi meraup suara pemilih 68,686,573 (44.51%), selisih suara 16,931,319 suara, dari total suara sah sebanyak 154,304,500 pemilih. Sudah dipastikan bahwa yang berhak untuk memimpin roda pemerintahan negara kedepan, pasangan Jokowi-Ma’aruf. Dengan dikeluarkannya keputusan KPU, artinya proses rekapitulasi suara sekaligus riuh rendah pilpres selama ini sudah harus kita tinggalkan. Walaupun ada kubu tertentu yang menganggap ada kecurangan selama proses berlangsungnya Pemilu, tetap kita hormati dan diharapkan tidak memantik amarah publik. Ada mekanisme hukum yang sudah disiapkan bagi pihak yang tidak merasa puas dengan hasil ketetapan KPU, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Evaluasi Pemilu

Bacaan Lainnya
DONASI

Rekapitulasi suara sudah selesai. Begitu pun dengan penetapan pemenang pilpres dan pileg sudah usai. Kini ingatan publik tentang pemilu rasa-rasanya sudah mulai ditinggalkan. Memang seperti itulah dalam sebuah pesta. Biasanya selama ini ruang publik hampir-hampir selalu digenjot dengan topik tentang pemilu. Selama hampir 7 bulan masa kampanye, publik seakan dipaksa untuk terus dan tanpa henti menggeliat dengan urusan politik (pemilu). Kini di depan mata publik dan lembaga negara terpampang beberapa pertanyaan, sudahkah kita melakukan evaluasi pada pemilu kemarin? Bagaimana persiapan kita menyongsong pemilu pada periode berikutnya? Pasca pemilu ruang diskusi yang sebaiknya kita tumbuhkan di tengah masyarakat (pemilih) ialah soal evaluasi.

Di tengah mengudaranya ruang publik dengan isu-isu kecurangan, evaluasi pemilu hampir-hampir terpinggirkan. Elit-elit negara dan masyarakat seolah sibuk mempersiapkan tangkisan perlawanan yang didengungkan dari kubu tertentu. Kedua kubu sepertinya sedang menikmati pemilu sebagai suatu kemenangan dan juga klaim kecurangan. Tidak jarang pula masyarakat (pemilih) juga turut mengambil bagian pada salah satu posisi yang ada (menikmati kemenangan dan klaim kecurangan). Terlepas dari kedua posisi tersebut, seharusnya yang lebih penting ialah melakukan evaluasi pada proses pemilu. Tantangan masa depan pemilu ada ditangan kita hari ini. Namun seolah kita membiarkan itu terjadi dan bahkan hampir tidak kita bicarakan. Sepertinya ruang pembahasan itu tidak nyantol dan mengakar didalam kepala elit negara serta pemilih. Kebusukan pemilu yang paling tidak harus kita lawan pada pemilu mendatang seakan dibiarkan terus dirawat oleh kelupaan kita pada soal evaluasi.

Ada begitu banyak permasalahan yang harus dievaluasi pada pemilu mendatang. Seperti mendesain ulang soal pemilu serentak (Pileg dan Pilpres), lebih teliti dan jeli memilih anggota KPPS, meninjau kembali penetapan Presidential Threshold (ambang batas Presiden) serta mendorong lembaga KPU dan Bawaslu agar lebih maksimal dalam mendistribusikan kertas suara. Sekaligus mendorong para pemilih untuk lebih aktif dalam partisipasi pemilu. Semua itu merupakan bentuk sodoran evaluasi yang secepatnya harus diselesaikan secara tuntas. Jangan kita malah ikut tenggelam dalam kelupaan soal tanggung jawab pada soal evaluasi. Demokrasi (pemilu) akan menjadi dewasa bukan karena masyarakat secara 100% aktif memilih, namun sejauh mana proses dan mekanisme pemilu terus ditingkatkan.

Evaluasi pemilu tidak boleh dilakukan secara serampangan dan membabi-buta. Miris ketika evaluasi pada proses pemilu dilakukan tanpa keterbukaan dari masing-masing kubu, serta dilakukan atas dasar amarah pada proses pemilu. Jika hal demikian yang membuat kita lebih santai dan enak dalam melakukan evaluasi pemilu, sangat disayangkan bagaimana jadinya pemilu yang akan datang. Apakah kita membiarkan begitu saja pemilu yang sudah menguras tenaga dan mengorbankan nyawa yang kurang lebih 500 orang, lalu dievaluasi hanya dengan meraba-raba? Semua pihak tentu tidak ingin evaluasi pemilu hanya sebagai serimonial belaka, dilakukan tanpa berpikir untuk proses pemilu ke depan. Di butuhkan kejelian serta komitmen kita untuk menyumbangkan ide-ide kritis dalam memajukan demokrasi. Di sinilah kita terpanggil untuk meletakan semua ide cemerlang sembari mempersiapkan desain pemilu pada periode yang akan datang.

Patrisius. E.K. Jenila
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Merdeka Malang

Baca juga:
Pemilu Berdarah, Aliansi Mahasiswa Ummat Gedor Mapolda dan KPU NTB
Bijaksana Menyikapi Hasil Pemilu
Setelah Pemilu, Saatnya Kita Kembali Merangkul

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI